Tebing Sawapudo, Wisata Climbing Konawe yang Terabaikan

Tebing Sawapudo, Wisata Climbing Konawe yang Terabaikan
TEBING SAWAPUDO - Wisata Tebing Sawapudo di Desa Sawapudo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe.  (Ilham Surahmin/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Bentang alam yang luas di Sulawesi Tenggara (Sultra) memang tidak ada habisnya. Mulai dari laut, gunung dan daratan, masing-masing memiliki keindahan yang tak kalah dengan daerah lain di Indonesia, jika dikelola dengan baik menjadi destinasi wisata.

Salah satunya wisata di Desa Sawapudo, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Namanya Tebing Sawapudo, namun masyarakat setempat menamakan lokasi ini dengan sebutan Tebing Kotani Langge. Dari kota Kendari jaraknya sekitar 28 km menuju ke arah utara dan dapat diakses oleh roda dua maupun roda empat.

Tebing Sawapudo, Wisata Climbing Konawe yang TerabaikanAda dua pilihan untuk menjangkau lokasi tersebut, pertama melewati jalur Pantai Toronipa dan satunya lagi lewat jalur Pantai Batu Gong menuju Lalunggasumeeto. Tebing ini mulai dikenal oleh kalangan mahasiswa pencinta alam Universitas Sulawesi Tenggara (UNSULTRA) beberapa tahun silam dan menjadikan lokasi ini sebagai salah satu tempat untuk menguji adrenalin dengan climbing.

Kepala Desa Sawapudo Arimin (42) mengatakan, tekstur dan jenis batu pada tebing tersebut berbeda dengan jenis batu lain yang ada di Sultra, sebab banyak yang menyukai lokasi ini karena batunya keras dan tidak mudah rapuh. Sehingga saat memanjat keamanan dan kenyamanan bisa dirasakan oleh pengunjung.

“Untuk luasnya pernah diukur 1 km persegi sementara tinggi terbing kalau tidak salah 15 sampai 20 meter,” ungkap Arimin saat ditemui di kediamannya, Sabtu (17/3/2018) oleh tim zonasultra.

Arimin menjelaskan selain wisata tebing, ditempat tersebut juga ada sebuah goa yang menjadi tempat tinggal kelelawar serta ujung dari batu goa tersebut mengeluarkan tetesan air. Keindahan lain dari lokasi ini adalah tepat didepan tebing hamparan pasir putih menambah daya tarik lokasi tersebut.
Selain itu potensi wisata mangrove juga menjadi satu keunggulan tebing Sawapudo, karena dibalik rimbunnya hutan mangrove ini sudah hamparan laut banda.

Sayangya, pemerintah kabupaten Konawe tidak menaruh perhatian khsusus terhadap potensi wisata ini. Bahkan semenjak pemerintahan 10 tahun silam, tempat ini hanya menerima janji manis dari pemerintah untuk dikembang menjadi tempat wisata yang dapat mendatangkan PAD bagi daerah.

“Pemerintah sudah pernah turun, melihat dan menjanjikan akan menjadikan lokasi ini sebagai destinasi wisata tapi sampai sekarang tak kunjung terealisasi juga,” jelas Arimin.

Bahkan dari pengakuan Arimin, akhir tahun 2017 kemarin tim dari Kementerian Pariwisata (Kemepar) sudah turun ke lokasi tersebut dan melihat potensinya. Perangkat desapun turun melakukan pengukuran luas wilayah wisata tebing Sawapudo dan data tersebut diserahkan ke pihak kementerian untuk diusulkan ke pemerintah pusat.

Setalah itu konsultan dari kabupaten pun juga pernah berkunjung ke lokasi tersebut untuk melakukan pengecekkan.

Gowa Sawapudo Konawe

“Ya, kita masyarakat desa hanya menunggu saja, tapi kalau dijanji sudah bosan, dulu itu bersih bagian mangrove kita bersihkan tapi tumbuh lagi. Karena janji tadi yang belum direalisasikan, padahal kalau rame pengujung alhamdulilah saya punya warga disana menjual laku juga mereka punya jualan,” tuturnya.

Untuk itu, karena memiliki potensi yang menjanjikan. Pemerintah Desa Sawapudo tengah mengusulkan dan merancang RAB agar tahun 2019 dana desa dapat diarahkan ke pengembangan wisata tebing Sawapudo. Mulai dari pembangunan gazebo, fasilitas MCK, fasilitas permandian, fasilitas tempat bermain anak, serta beberapa fasilitas penunjunjang lainnya.

Diharapkan, setelah seluruh fasilitas terbangun, maka pihaknya akan membuat perdes terkait retribusi bagi para pengujung sesuai dengan aturan yang berlaku. Pasalnya kata Arimin saat ini ia tidak berani memungut retribusi kalau tidak ada regulasi, takutnya jatuh pada tindakan hukum (pungli).

“Harapan kami juga pemerintah kabupaten tidak menunggu kami berhasil membangun wisata ini terus masuk begitu saja setelah sudah bagus, sebab pengalaman Pantai Toronipa pas sudah diurus baik oleh Pemdesnya, sekarang Pemkab masuk pas sudah bagus,” tukasnya.

Kendati demikian saat ini bagi masyarakat yang hobi memanjat tebing dapat merasakan sensasinya di Tebing Sawapudo. Disarankan ketika Anda berkunjung baiknya meminta izin terlebih dahulu kepada aparat desa setempat.

#Apa Itu Tebing Kota Nilangge ?

Kamaali (65), salah satu orang yang dituakan di Desa Sawapudo yang juga merupakan pengrajin kapal kayu mengatakan, lokasi tebing ini dulunya adalah hutan dan tergolong tempat keramat. Sehingga anak-anak dilarang masuk kecuali orang tua. Namun, karena lokasinya sudah dibuka serta dibuatkan jalan lingkar setapak, saat ini sudah bebas saja orang keluar masuk di Tebing Sawapudo.

“Kota Nilangge” terdiri dari dua suku kata ‘kota’ artinya kota dan ‘nilangge’ adalah batu gelang. Nama ini diambil dari perwujudan bentuk tebing yang bagian bawahnya menyerupai gelang. Sebutan ini juga dijadikan nama dusun di desa itu.

Orang-orang terdahulu juga menjadikan tempat ini sebagai lokasi berlibur ketika merayakan sebuah syukuran panen dan hari besar lainnya.

Hal lain yang menarik dari lokasi ini adalah sejumlah masyarakat saat melakukan penggalian atau masuk dalam kawasan tebing itu, mendapatkan tengkorak kepala manusia dan tulang dari manusia tertutama dalam kawasan goa yang jumlahnya tidak sedikit. Ditengarai tulang tersebut adalah tulang para pendatang dari pulau sebrang yang melakukan kejahatan merampok di Sawapudo, sehigga mendapat perlawanan dari masyarakat setempat dan dibantai dilokasi tersebut.

“Cerita orang tua dulu, banyak mereka kesini berlayar dan sandarkan kapal disini. Tapi datang mencuri dan merampok milik warga disini, ya karena marah kita melawan jadi terjadi perkelahian yang menimbulkan korban jiwa,” ungkap Kamaali.

Apalagi kalau kita tarik dari penamaan desa ini, berdasarkan istilah bahasa tolaki Sawapudo terdiri dari dua sukuy kata yakni sawa artinya diam dan Pudo artinya penggal. Dimana dikatakan Sawapudo karena pada jaman penjajahan, kampung ini memiliki karateristik penduduk yang pendiam tetapi apabila ada masalah besar maka mereka tidak takut untuk memenggal kepala. Namun seiring bekembangnya zaman kebiasaan tersebut dihilangkan dan diubah.

Kamaali mnaruh sepucuk harapan agar kedepan pemerintah dapat memberikan perhatian terhadap wisata Tebing Sawapudo ini, karena potensinya begitu besar jika dikembang menjadi destinasi wisata.

#Kesan beberapa pengunjung melalui blogger

Sejumlah pengujung sudah menuliskan kisah tebing ini dalam bolg mereka. Salah satunya blog milik mapala-unsultrablogspot.co.id yang diposting pada tahun 2013. Salah satu climber dari Mapala Tropis UHO Aphoel mengatakan, tingkat kesulitan untuk menaklukan tebing yang memiliki kemiringan sekitar 70-80 derajat ini tidak terlalu sulit.

“Sebenarnya, medannya tidak terlalu sulit dan yang paling diutamakan di sana adalah kejelian dan skil memasang pengaman serta pemilihan jalur yang tepat,” ujarnya.

Ada dua jalur pemanjatan yang tembus hingga ke puncak tebing. Satu jalur nyaris tidak tergolong pada rock climbing karena hanya mengandalkan gerakan berpindah dari point ke point. Pemanjatan dengan sistem ini, paling cocok diterapkan pada jalur big wall sekelas Sawapudo. Ditinjau dari segi konservasinya, sistem pemanjatan ini lebih ramah lingkungan karena berusaha tidak meninggalkan pengaman yang dapat mengotori tebing.

Kondisi jalurnya yang terputus tak tersambung utuh dari dasar hingga puncak tebing, menjadi teka-teki yang harus dipecahkan bagi setiap climber, dengan manajemen pemanjatan yang baik. Melihat adanya beberapa rintisan jalur pemanjatan yang terputus di bagian bawah tebing, sepertinya tak semua pemanjatan berhasil dilakukan. Kegagalan yang terjadi, kemungkinan besar akibat kesalahan memilih jalur di rekahan. Pemanjatan tak mungkin lagi diteruskan, karena tak ada tempat untuk memasang pengaman.

“Kegagalan lainnya bisa disebabkan ketidak sesuaian peralatan yang dimiliki dengan model cacat batuan. Rekahan tempat pemasangan pengaman di tebing Sawapudo cenderung khas. Di beberapa jalur, hanya bisa dipasangi beberapa jenis pengaman tertentu, sedangkan piton atau paku tebing yang umum dipakai dibanyak tebing, nyaris tak digunakan sama sekali,” imbuhnya.

Tebing Sawapudo, Wisata Climbing Konawe yang Terabaikan
Tebing Sawapudo (Sumber dagrinizar.blogspot.com)

Kemudian blog milik dagrinizar.blogspot.co.id yang diposting pada tahun 2010 mengatakan, spot goa yang ada dikawasan ini letaknya tidak jauh dari tebing, sekitar 100 meter menanjak kearah utara. Setelah aktifitas memanjat tebing, hari berikutnya ia lanjutkan dengan penelusuran goa. Peralatan yang digunakan pun hampir sama dengan yang digunakan saat memanjat tebing. Bentuk goa ini yaitu vertical sehingga untuk memasukinya harus menggunakan teknik. Dalam ilmu speleologi (Ilmu Goa) teknik menuruni goa vertical disebut potling.

Dijelaksannya, Goa ini berbentuk seperti sumur dengan beberapa tingkatan. Untuk mencapai tingkatan pertama Anda harus melakukan potling dengan kedalaman sekitar 10 meter. Kemudian penelusuran biasa dilakukan untuk menuju tingkatan kedua dengan merayap atau jongkok dan tunduk. Anda harus berhati-hati saat melakukannya, jangan sampai bagian kepala mengenai permukaan lorong goa. Itu bisa menyebabkan rusaknya ornamen goa dan demi kemanan Anda.

“Setelah tingkatan kedua, penelusur akan sampai di zona gelap, dimana tidak satupun sesuatu yang terlihat. Oleh karena itu, alat penerangan baik itu senter, headlamp ataupun lilin harus dibawa serta. Saat berada di tempat ini, suasananya berubah menjadi dingin dan lembab. Hal itu disebabkan tidak ada sinar matahari atau cahaya yang pernah menembus ruangan ini,” tulisnya pada postingan tersebut.

Di dasar goa, akan ditemukan sebuah tempat yang luas menyerupai aula. Tempat ini Anda akan lebih leluasa bergerak, puluhan orang dapat tertampung di dalamnya. Namun tidak dibenarkan untuk melakukan aktifitas berlebihan seperti berteriak, berbicara keras karena akan meyebabkan pantulan suara yang menggangu ketenagan hewan-hewan dalam goa. Merokok dan aktiftas masak-memasak sangat tidak diperbolehkan dilakukan di dalam goa. Asap yang ditimbulkan dapat merusak ekosistem dan ornament dalam goa.

“Banyak tantangan yang bisa dijumpai di dalam Goa Sawapudo ini, selain potling dan merayap, terdapat jalur yang dharus dilewati dengan melakukan rapeling. Tentunya kesiapan fisik dan mental sekali lagi akan teruji. Melakukan rapeling di tempat gelap bukan hal yang mudah. Peralatan dan perlengkapan harus benar-benar terpasang dengan sempurna untuk memuluskan penelusuran,” tukasnya. (A)

 


Penulis : Ilham Surahmin
Editor : Abdul Saban

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini