ZONASULTRA.COM, WANGGUDU -Pelaku kekerasan terhadap anak di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), hingga saat ini masih bebas berkeliaran dari jeratan hukum.
Olehnya itu, Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DPPA) Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), terus melakukan pendampingan terhadap tiga dari empat kasus kekerasan anak yang terjadi di wilayah itu sejak tahun 2017.
Pelaksana tugas (Plt) DPPA Konut Martina mengatakan, motif kekerasan ke empat anak berbeda. Kasus kekerasan anak pertama terjadi di Desa Sambasule, Kecamatan Motui, di mana anak berusia di bawah umur sekitar 13 tahun diperkosa oleh empat orang pelaku.
“Anak kelas satu tsanawiah diperkosa oleh empat orang. Kita lakukan pendampingan sampai saat ini masalahnya belum selesai. Korban kita visum di rumah sakit, dan sudah ditangani Kanit PPA Polres Konawe kita tunggu penyelesaiannya sampai sekarang ini empat pelakunya belum tertangkap,” ujarnya, Minggu (18/3/2018).
Lanjutnya, kekerasan kedua terjadi di Kecamatan Sawa, anak yang di duduk di bangku sekolah SMA kelas dua hamil. Dugaan sementara dari keterangan masyarakat setempat, pelakunya adalah sang ayah tiri korban. Namun, saat sang anak dibawa ke kepolisian anak tersebut menyebut nama orang lain.
“Kita bawa di polisi dia tunjuk nama Rendi, kenal di facebook. Kita minta nomor whatshapnya katanya sudah diblokir dan mereka cuman ketemu sekali. Masalahnya polisi apa yang dia sebut itu yang mereka tulis, walaupun firasat masyarakat yang hamili itu ayah tirinya,” katanya.
“Kemarin datang masyarakat ke sini, saya bilang sabar dulu nanti polisi yang kembangkan ini kasus. Keterangan masyarakat anak ini tertekan sama keluarganya, sampai saat ini tidak diperbolehkan keluar,” lanjutnya.
Masih kata Martina, kekerasan anak yang ketiga terjadi di Kecamatan Langgikima, di mana sang anak yang berada dalam rumah menjadi korban saat pembakaran rumah terjadi yang dilakukan oleh mantan isteri bapaknya. Pelaku pembakaran kini telah berada di balik jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dia menambahkan, kekerasan anak yang ke empat terjadi di Kecamatan Asera. Motif kekerasan anak yang ini berbeda dengan ketiga kasus di atas. Pasalnya, anak yang duduk di bangku SMA ini ditolak oleh kedua orang tuanya karena pindah agama dari agama orang tuanya.
“Anak ini masuk mualaf (Agama Islam), tiga kali minta izin sama orang tuanya untuk masuk Islam tapi tidak diizinkan terpaksa anak ini ambil keputusan sendiri masuk mualaf. Dia pintar mengaji dan rajin salah, setelah orang tuanya tau mereka datang ambil kurung di rumah dan bawa sama pamannya di Bombana, di sana anak ini tidak boleh salat dan mengaji,” tuturnya.
Bahkan, orang tua memindahkan sang anak sekolah di Bombana tanpa sepengetahuan sang anak. Sehingga anak tersebut menelpon Wakil Bupati Raup meminta perlindungan untuk segera dijemput kembali di Bombana.
“Saya dengan tiga anggota polisi ke Bombana, saat kita temui pamannya ternyata pamannya ini tidak izinkan dia masuk mualaf. Sementara anak ini tetap nekat masuk mualaf. Saya sampaikan sama pamannya jika kami tidak urus masalah dia pindah agama, tapi masalah kekerasannya ini. Tapi omnya ini masih berkeras, bahkan kalau kami nekat bawa ini anak omnya bilang kalau mau bawa ini anak bawa sepotong simpankan sepotong karena omnya ini masih pegang parang,” terangnya.
Karena mendapat ancaman dari sang paman, dirinya selaku Kepala DPPA Konut sampai saat ini terus melakukan koordinasi dengan instansi terkait di Kabupaten Bombana guna melakukan pendekatan persuasif.
“Masalah ini kita akan sampaikan ke Komnas HAM dan ini masalah sudah saya sampaikan ke kementerian. Teman-teman PPA di provinsi sudah memberikan respon untuk membantu,” tutup Martina. (A)