Dinasti Politik : Cacat Bawaan Demokrasi, Islam Solusinya

Dela Nusa
Dela Nusa

Miris, fenomena dinasti politik kembali menjadi buah bibir dalam pemberitaan media massa setelah tertangkapnya pejabat kepala daerah kota Kendari oleh KPK dalam Operasi Tangkap Tangan. Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra (ADP) dan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun diduga terjaring operasi tersebut, Rabu (28/2/2018). Ayah dan anak ini terjaring OTT di Jalan Syech Yusuf, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Maka terungkaplah dinasti politik yang dibangun di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara (kompas.com)

Bukan hal baru sebenarnya. Mengutip penelusuran Kompas tahun 2013 di kompas.com, setidaknya ada 37 kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat negara lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku.

Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.

Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.

Sebabnya, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, dalam konteks demokrasi langsung, kualitas kekuasaan terpilih adalah cermin kualitas sebagian pemilihnya. Ketika masyarakat masih sangat paternalistik, kerabat tokoh cenderung menjadi patron budaya, politik, dan ekonomi. Karena itu, kerabat kepala daerah cenderung mudah memenangi pilkada, kecuali patron memiliki rekam jejak cacat. Hal itu, kata Haryadi, adalah “cacat bawaan demokrasi” terkait kondisi sosial-ekonomi masyarakat pemilih yang masih rendah (kompas.com).

Cacat ini memperburuk potret demokrasi yang sudah buram. Di satu sisi katanya demokrasi menjamin hak setiap rakyat untuk memilih dan dipilih, namun mahalnya ongkos meraih kekuasaan justru hanya memperbesar peluang terjadinya dinasti politik. Sebab dengan kekuasaan yang dimiliki pelaku dinasti, kesempatan untuk mengisi pundi-pundi uang terbuka lebar meski harus dengan cara korupsi. Hal yang tak dimiliki oleh yang belum berkuasa. Sehingga alih-alih menguatkan citra demokrasi justru membuktikan teori Lord Acton, seorang ilmuwan hukum dan politik, “power tends to corrupts and absolute power corrupts absolutely”.

Berbeda dalam pandangan Islam. Sistem Islam mensyaratkan kepemimpinan semata untuk menjamin tegaknya syariat Allah dalam segala aspek kehidupan. Dengannya kemaslahatan manusia akan terpelihara. Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3 berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya”. Senada dengan beliau, Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang pemimpin (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti (tunduk kepada)-nya. (Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’, hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5).

Dengan demikian Imamah (kepemimpinan) bukanlah tujuan, apalagi sarana menumpuk kekayaan akan tetapi ia hanya wasilah untuk menjalankan ketaatan kapada Allah. Di sisi lain siapa saja yang memimpin akan memandangnya sebagai amanah yang kelak akan dihisab di Yaumil Akhir. Wajar bila seorang Umar bin Abdul Azis , cucu dari Umar bin Khattab ra menangis tersedu saat resmi menjadi khalifah. Tentu sebab terbayang beratnya pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.

Selanjutnya dalam Islam kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjamin tegaknya syariat. Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Hal ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw bukanlah semata baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan.

Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah. Allah Swt berfirman: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12). Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata: “Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan” (HR Muslim).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Tak sekedar karena adanya hubungan keluarga atau kekerabatan layaknya dinasti dalam sistem demokrasi. Sejak khulafa’urrasyidiin hingga kekhilafahan Utsmaniy.

 

Oleh : Dela Nusa
Penulis Merupakan Pemerhati masalah sosial politik

1 KOMENTAR

  1. kalau begitu kok negara timur tengah ngak maju2 ? mereka itu kaya karna jualan minyak, seandainya tidak ada minyak maka tidak bisa apa2. buktinya banyak imigran dari timteng justru larinya ke australia (negara non muslim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini