Problem Dibalik Pembangunan Pabrik Tebu Di Bombana

Muh.Mardhan
Muh.Mardhan

PROBLEM DIBALIK PEMBANGUNAN PABRIK TEBU DI BOMBANA : menanyakan kembali konsistensi kita terhadap jargon ekonomi kerakyatan!

Jika kita berbicara mengenai pembangunan pabrik tebuyang sedang berlangsung di kabupaten Bombana hari ini, makaada baiknya sebagai permulaan, penting untuk menjadi catatan khalayak, bahwa pembangunan pabrik tebu oleh PT. Jhonlin Batu Mandiri tersebutpada dasarnya merupakan rangkaian dari program swasembada nasional yang secara khusus diemban oleh Kementrian Pertanian RI.

Tujuan jangka panjangnyaadalahuntukmenjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia dalam  10-20 tahun ke depan, sementara target jangka pendeknya khususnya ditujukan untuk menggenjot angka produksi gula nasional agar mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri. Sehingga dengan begitu, persoalan impor gula yang telahlama melilit leher bangsa kita ini (baca:Indonesia) dapat segera berakhir.

Apa yang anda fikirkan tentang itu? Bagi sebagian besar kita yang telah mendengar kabar tersebutmungkin akan merasa gembira. Terutama kerena dengan adanya pabrik tersebut, maka itu artinya terbukanya kesempatan lapangan pekerjaan baru. Namun mengenai hal tersebut, mungkin diantara kita tak banyak yang mengetahui bahwa dalam proses pembangunan pabriktebu tersebut tlah ikuti pula dengan sejumlahmasalah baru, yang mungkin itu,patut pula untuk kita ketahui, diskusikan, pertimbangkan atau bahkan kita tanggapi secara bersama.

Akar Konflik Perusahaan vs Masyarakat

Telah banyak kasus dan penelitian yang dapat menjadi rujukan kita mengenai sisi gelap dari praktek pembangunan.Dominasi pembangunan bercorak ekonomi (kapital) di satu sisi, seringkali bertentangan dengan pembangunan dalam aspek sosial disisi lainnya. Dan apa yang terjadi di Bombana saat ini,khususnya pada pembangunan pabrik tebu, menurutpenulis telah cukup untuk memberikan kitapemahaman tentang sisi gelap dari pembangunan.

Pada dasarnya, konflik yang ada di Bombana pada kasus pembangunan pabrik gula ini dapat kita kategorikan pula sebagai konflik agraria. Dimana dalam kasus ini keberadaan perusahaan telah minggilas hak-hak masyarakat (baik petani/peternak maupun masyarakat adat). Bagi penulis, hal inipertama-tama disebabkan karena pembangunan perusahaan tebu dalam kasus ini pada dasarnya membutuhkan sumberdaya lahan (tanah)yang amat luas (kira-kira 10.000-20.000 Hektar ) untuk ditanami tebu, sementara disisi lain, sebagian dari lahan-lahan tersebut telah lebih dulu dikuasai maupun dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk usaha kecil, pertanian, dan terutama peternakan.

Kedua, tidak adanya sosialisasi yang menyeluruh antara pemerintah (baik pemerintah Kabupaten maupun Provinsi) dengan masyarakat setempat, atau komunikasi yang baik  antara pihak perusahaan dengan masyarakat. Bukannya sosialisasi, yang terjadi justru kepanikan saat mengetahui bahwa lahannya telah dipenuhi oleh alat-alat berat dan dengan penjagaan super ketat oleh Aparat Kepolisian bersenjata lengkap.Tak sampai disitu saja, kerena merasa mendapat restu dari pemerintah, perusahaan lantas masuk mengobrak-abrik dan membongkar secara paksa usaha pertanian dan peternakan milik masyarakat disana, dengan dalih bahwa lahan tersebut adalah hutan produksi (HP), pembangunan tebu untuk kepentingan nasional, dst.Sehingga disini, relasi antara perusahaan, polisi dan pemerintahnampak sangat jelas. Karena dalam proses pembangunan pabrik tebu tersebutpemerintah daerah dan juga aparat kepolisian ikut ambil bagian dalam meramaikan suasana penggusuran lahan-lahan milik masyarakat.

Hal itu dapat kita lihat misalnya, ketika di luar sana, disaat-saat masyarakat tak berdaya melihat lahan-lahannya dibongkar paksa, di media pemerintah justru masih bisa berstatmen bahwa “perusahaan akan bekerjasama dengan masyarakat, akan ikut melibatkan, memperdayakan masyarakat melalui kebun plasma, dsb”. Namun pertanyaannya adalah, kerjasama macam apakah pernah ada, yang dijalankan tanpa ada persetujuan dari kedua belak pihak?! Sebab jika yang terjadi dilapangan adalah penggusuran-penyingkiran, maka bagi penulis, pernyataan-pernyataan manis yang dilontarkan oknum pemerintah di media itu tentu tidak lebih sekedar upaya pembodohan publik! Sedangkan logika pembangunanekonomi yang mensyaratkan penyingkiran dan penggusuran sebagai maharnya tentu adalah logika yang teramat keliru dan jelas super kontradiktif dengan logika ekonomi kerakyatan.

Hal ini jelas ironis, sebab dalam UUD 1945 telah jelas disebutkan bahwa “sumber daya alam dikuasai oleh negara dan akan diwujudkan untuk kesejahteraan rakyat”, namun kenyataan dilapangan menunjukkan sistem pengolahan sumber daya alam justru lebih didominasi oleh pihak pemodal besar. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untukkesejahteraan masyarakatdi negeri ini nampanknya semakin jauh dari harapan, ini dibuktikan dengan semakin terbatasnya lahan atau tanah yang dikuasai atau digarap oleh masyarakat, sebaliknya penguasaan lahan-lahan untuk kepentingan korporasi perkebunan semakin meningkat.

Sebagai penutup dari tulisan ini, sebaiknya kita mulai bertanya: “Masihkah pemerintahkita ini konsisten pada jargon ekonomi kerakyatan?” Menurut saya sama sekali tidak!

 

Oleh : Muh.Mardhan
Penulis adalah Pemerhati Sosial

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini