Ketika Artis Menjadi Junkies

Simalakama Kenaikan Harga Rokok?
Hasni Tagili

Tertangkapnya Riza Shahab dan lima kawannya terkait kasus narkoba menambah daftar panjang status artis sekaligus junkies (pengguna narkoba) di Indonesia. Riza dan kawan-kawannya dibekuk di Apartemen The Wave, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (12/04/2018), karena positif mengkonsumsi narkoba jenis sabu (Kumparan.com, 15/04/2018).

Sebelumnya, polisi sudah menangkap artis Rizal Djibran pada Rabu (21/02/2018) sekitar pukul 02.30 WIB di kediamannya, kawasan Grand Wisata, Lambang Jaya, Tambun Selatan, Bekasi. Lagi-lagi sebab yang sama. Narkoba jenis sabu (Tirto.id, 23/02/2018).

Tak berhenti sampai disitu. Lebih mengejutkannya, dalam tiga hari berturut-turut di bulan Pebruari, polisi menangkap Fachri Albar, Roro Fitria, dan Dhawiya Zaida. Putra penyanyi legendaris Ahmad Albar itu diciduk di rumahnya di Serenia Hills, Jakarta Selatan, pada Rabu pagi (14/2/2018) pukul 07.00 WIB. Sedangkan Roro Fitria ditangkap di kediamannya Pattio Residence, Jakarta Selatan, pada saat akan menggunakan narkoba pada 14 Februari malam untuk merayakan Valentine. Adapun Dhawiya ditangkap di rumahnya, di daerah Cawang, Jakarta Timur, pada Jumat dini hari (16/2/2018). Ia ditangkap bersama kakak, pacar, dan iparnya. Miris!

Daftar hitam itu semakin panjang tatkala ditelisik ke tahun 2017. Beberapa artis yang juga junkies di antaranya adalah Andika Naliputra Wirahardja (personel band The Titan), Ridho Rhoma (putra raja dangdut Rhoma Irama), rapper Iwa K, Sean Azad (anak artis Ayu Azhari), artis Pretty Asmara, Axel Matthew Thomas (anak aktor Jeremy Thomas), aktor Ammar Zoni, dan aktor Tio Pakusadewo. Masih banyak lagi nama-nama artis yang tersandung kasus narkoba akibat menyandang status sebagai junkies.

Tak heran, artis merupakan salah satu profesi yang diincar para pengedar narkoba agar mereka menggunakan barang haram tersebut. Artis diincar para pengedar karena pendapatannya yang besar. Hal ini diungkapkan Devi Rachmayanti, pengamat sosial Universitas Indonesia, kepada Tempo (Jumat, 22/12/2017).

Badan Narkotika Nasional (BNN) juga mengaku tidak heran dengan fenomena artis yang lagi-lagi tersandung narkoba. BNN mengatakan konsumsi narkoba menjadi gaya hidup sejumlah artis (Metrotvnews.com, 25/03/2017). Kasubdit Lingkungan Kerja dan Masyarakat BNN, Kombes Ricky Yanuarfi, mengatakan bahwa artis menganggap narkoba menjadi gaya hidup. Hal ini sangat rentan. Artis itu banyak yang pakai.

Menurut Ricky, masyarakat kelas menengah ke atas lebih suka mengonsumsi narkoba jenis sabu. Sementara menengah ke bawah, jenis putau. Namun, umumnya yang tertinggi adalah ganja. Ricky sangat berharap semua lapisan masyarakat menjauhi barang haram tersebut. Terlebih para artis yang merupakan publik figur.

Sementara itu, juru bicara Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Besar Sulistiyandriatmoko, mengatakan bahwa peredaran narkotika di kalangan artis menyerupai fenomena gunung es. Ia menilai ada indikasi tertangkapnya sejumlah artis hanya sebagian kecil dari peredaran narkotika di kalangan publik figur (Tempo.com, 26/03/2017).

Sulis mengatakan umumnya apabila seorang artis sudah menjadi junkies, ada kecenderungan publik figur lainnya bisa tertular. Bahkan dimungkinkan mereka membentuk suatu komunitas yang di dalamnya ada artis yang berhubungan langsung dengan pengedar narkotika.

Sulis menyebutkan ada semacam kerentanan yang terjadi di kalangan artis sehingga peredaran narkotika di kalangan mereka mudah terbentuk. Kerentanan itu bisa muncul dari faktor beban kerja, pergaulan, atau gaya hidup. Sehingga kecenderungan menggunakan narkotika cukup tinggi, termasuk dengan alasan sebagai doping. Ia mencontohkan, kerentanan tertular mengkonsumsi obat terlarang itu umumnya dilakukan saat para publik figur berkumpul.

Data BNN sendiri, pada 2015, menyebutkan bahwa DKI Jakarta menjadi daerah dengan peringkat pertama prevalensi penyalahgunaan narkoba. Di tahun itu tercatat ada 392.367 jumlah penyalahgunaan dengan tingkat prevalensi 5,08 persen. Selain itu, tingkat konsumsi narkotika oleh seseorang memiliki kecenderungan meningkat. Sehingga pada tingkatan tertentu apabila orang tersebut tidak mengkonsumsi, akan terjadi sakau.

Jumlah pengguna narkoba semakin meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta, Dadan Farid. Pada tahun 2014 lalu, jumlah pengguna narkoba di Indonesia tercatat sebanyak 4,1 jiwa, sedangkan tahun 2015 meningkat menjadi 5,8 juta jiwa (Wartakota, 11/04/2016).

Peningkatan ini menerobos seluruh wilayah di Indonesia, tak terkecuali Sulawesi Tenggara. BNN Kota Kendari saat ini tengah merehabilitasi 138 pemakai narkoba. Dari data untuk kurun waktu 2016 hingga awal 2017, tiga orang yang direhabilitasi tersebut berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan 80 persen lainnya berstatus pelajar (Sultraline, 25/01/2017). Ironisnya, bahkan bayi pun di awal tahun 2017 lalu sudah menjadi pecandu narkoba.

Mashadi Ekasurya, mantan perwakilan BNN Kalimantan Barat, mengatakan bahwa berdasarkan penelitian, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, yaitu faktor internal seperti kepribadian pelaku dan lemahnya iman dan takwa, serta faktor eksternal seperti lemahnya peran keluarga dan masyarakat yang apatis. Menurutnya, Indonesia saat ini berada dalam status darurat narkoba karena narkoba sudah menyebar sampai lingkup terkecil seperti RT dan RW.

Faktor eksternal lainnya yang turut memicu tingginya kasus narkoba adalah belum maksimalnya negara dalam memberantas narkoba. Bayangkan, peredaran narkoba justru dengan leluasa dikendalikan dari Lembaga Pemasyarakatan. Kemudian, hingga saat ini, sanksi yang diberikan kepada pengedar dan pemakai narkoba masih terbilang ringan, belum sampai memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera.

Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang narkoba? Menurut Ibrahim Anis dkk, narkoba adalah segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya kesadaran pada manusia atau hewan dengan derajat berbeda-beda, seperti hasyisy (ganja), opium, dan lain-lain (Ibrahim Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, hlm. 220). Sedangkan, Syaikh Sa’aduddin Mus’id Hilali mendefisinikan narkoba sebagai segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya atau lemahnya kesadaran/penginderaan (Sa’aduddin Mus’id Hilali, At Ta`shil As Syar’i li Al Kahmr wa Al Mukhaddirat, hlm. 142).

Narkoba tergolong masalah baru yang belum ada di masa imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah (Ahmad Fathi Bahnasi, Al Khamr wa Al Mukhaddirat fi Al Islam, (Kairo : Muassasah Al Khalij Al Arabi, 1989, hlm. 155). Namun, tak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dan sebagainya.

Sebagian ulama mengharamkan narkoba dikarenakan oleh dua alsan; pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, kedua, karena menimbulkan bahaya bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177.

Nash tersebut adalah hadis dengan sanad sahih dari Ummu Salamah ra. bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir) (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). Yang dimaksud mufattir  adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 342).

Disamping nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi “hukum asal benda yang berbahaya (mudharat) adalah haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24).

Sehingga, dalam sistem pemerintahan Islam, dipandang perlu menerapkan beberapa metode guna mencegah dan memberantas peredaran narkoba. Pertama, penanaman ketaqwaan individu kepada Allah dan kontrol masyarakat. Kedua, penegakkan sistem hukum pidana Islam, termasuk menghilangkan mekanisme supply & demand (penawaran dan permintaan) terhadap narkoba. Sistem pidana Islam, selain bernuansa ruhiah karena bersumber dari Allah SWT, juga mengandung hukuman yang berat. Pengguna, pengedar, dan produsen narkoba dapat dipenjara sampai 15 tahun, bahkan hukuman mati, atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qâdhi atau hakim (al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 189). Ketiga, merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa.

Ini karena tatkala menjalankan sistem pidana Islam, aparat penegak hukum yang bertakwa sadar betul bahwa mereka sedang menegakkan hukum Allah, yang akan mendatangkan pahala jika mereka amanah dan akan mendatangkan dosa jika mereka menyimpang atau berkhianat.

Dengan demikian, ketika hukum Islam diberlakukan, maka kekhawatiran terhadap kasus narkoba, termasuk terjeratnya artis menjadi junkies tidak pelu terjadi. Pasalnya, Islam menggunakan metode pencegahan (preventif) dan pengobatan (kuratif) dalam menanggulangi persoalan narkoba. Hal tersebut hanya dapat terlaksana ketika syariah Allah SWT diterapkan secara sempurna. Wallahu ‘alam bisshawab.

 

Oleh: Hasni Tagili, S. Pd., M. Pd.
Penulis Merupakan Praktisi Pendidikan Konawe, Sulawesi Tenggara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini