ZONASULTRA.COM, KENDARI – Di suatu siang yang terik, di salah satu kebun jagung di Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna, seorang pria lanjut usia tampak begitu tekun membersihkan tanaman jagung miliknya yang sudah berumur sekitar 30 hari. Butuh waktu 60 hari lagi untuk memanen jagung-jagung itu.
Dalam posisi duduk tepat di bawah sinar matahari langsung dan rimbunnya daun jagung, dipegangnya rumput di sekitar pohon jagung lalu dicungkilnya dengan sebilah tembilang. Dalam posisi begitu, dia hanya maju ke arah mana rumput subur di sekitar pohon jagung.
Namanya La Fihi. Meski sudah berumur 80 tahun pekerjaan seperti itu sudah dilakoninya sejak masa kanak-kanak. Bahkan ayah dan ibunya juga adalah pekebun jagung, termasuk beberapa keluarganya berada dalam lingkaran pekerjaan serupa.
“Dulu waktu datangnya Nipon (pasukan bentukan Jepang) sudah ramai orang berkebun jagung. Saat itu saya masih kecil, orang-orang yang sudah besar dibawa Nipon untuk bekerja. Bekal mereka jagung,” ujar La Fihi yang begitu ramah ketika diajak bercerita di pondokannnya yang berukuran 4×5 meter, pertengan April 2018.
La Fihi, seperti kebanyakan masyarakat Muna lainnya, memiliki kelekatan yang erat dengan budidaya jagung, yang dalam bahasa Muna disebut kahitelapute. Ini tergambar dari setiap perkampungan di Muna dengan mudah dijumpai kebun-kebun jagung.Kelekatan ini juga tersirat dalam kearifan lokal masyarakat Muna sendiri yang selalu “membaca bintang” sebelum memutuskan periode penanaman jagung.
Para ahli pertanian berpendapat bahwa budidaya jagung lebih efisien dibandingkan budidaya padi (yang mulai dibudidayakan sejak zaman orde baru). Menurut mereka, produksi jagung di Muna bisa ditingkatkan untuk menunjang ketahanan lokal baik di tingkat provinsi maupun nasional karena tanah di Muna, yang disebut masyakarat Muna sebagai “Wite Barakati”, memiliki karakteristik yang cocok untuk penanaman jagung.
Dari segi geologi, tanah di Muna memiliki karakteristik yang cocok untuk menanam jagung. Menurut Asmin, Peneliti Bidang Kesuburan Tanah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sultra, tanah di Muna itu adalah hasil proses pengangkatan pada zaman kapur (Cretaceous) hingga zaman jura (Jurassic) sekitar 135 – 180 juta tahun lampau.
“Proses pengangkatan yang dimaksud itu adalah yang tadinya laut menjadi daratan. Bahan induk tanah Muna itu adalah karst atau batuan kapur sehingga dalam proses pelapukannya membentuk tanah-tanah merah terutama di daerah Kontunaga memanjang sampai Tongkuno,” tutur Asmin bersama dua peneliti lainnya, Suharno dan Rusdin di Kantor BPTP Sultra, Senin (23/4/2018).
Tanah di Muna mengandung kejenuhan basa (KB) yang pada umumnya sedang sampai tinggi. Kata Asman, basa-basa tanah yang tinggi ini kaya dengan Calcium (Ca) atau yang lebih dikenal dengan kapur. Kondisi demikian ditunjang dengan bahan organiknya yang tinggi sehingga tergolong tanah yang subur dan cocok untuk tanaman jagung.
Penjelasan tidak jauh berbeda juga datang dari seorang peneliti yang telah lama mengikuti perkembangan jagung di Muna. Suharno, seorang Peneliti Madya Bidang Sosial Ekonomi BPTP. Pria yang telah berusia 63 tahun ini mulai melakukan pengkajian tentang jagung di Muna sejak 1995.
Suharno pernah mendampingi ahli tanah Prof. Dr. Subandi dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang pada tahun 2002. Mereka mengelilingi beberapa kabupaten di Sultra. Saat tiba di pulau Muna Prof Subandi mengamati vegetasi yang tumbuh di permukaan tanah serta mengambil sampel tanah untuk diuji ilmiah.
“Dari beberapa titik yang diuji, Prof Subandi mengambil kesimpulan bahwa pulau Muna memiliki lahan kering yang sangat sesuai untuk usaha tani palawija seperti jagung, dan kacang-kacangan. Menurut dia, tekstur tanah di Muna sangat remah, serta memiliki kandungan kapur ” kenang Suharno.
Hasil kajian di beberapa lokasi di Muna saat itu, kesimpulannya bahwa Pulau Muna sangat potensial untuk pengembangan jagung jenis lokal, hibrida, dan jagung komposit. Kata Suharno, hal itulah yang mendorong beberapa program peningkatan produktivitas jagung dari Kementerian Pertanian diarahkan ke Muna.
Namun, produktivitas jagung yang dicapai petani di Muna selama ini masih relatif rendah hanya sekitar 2 sampai 3 ton per hektar. Penyebabnya adalah penerapan teknologi usaha tani belum optimal, serangan hama, dan dampak perubahan iklim (DPI). Padahal, hasil kajian BPTP Sultra, produktivitas seperti jagung hibrida bisa sampai 5 ton per hektar.
Selain jagung, masyarakat Muna juga sebenarnya sejak dulu membudidayakan padi tapi bukan melalui persawahan. Kata Suharno yang banyak dibudidayakan masyarakat dulu adalah padi ladang tapi tak sebanding dengan perkebunan jagung. Hal itu disebabkan kawasan lahan kering di Muna yang lebih banyak daripada kawasan lahan basah.
Suharno menjelaskan bahwa meningkatkan produktivitas jagung adalah hal yang penting karena jagung merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang memiliki peranan pokok sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, pakan, dan industri dalam negeri yang setiap tahunnya cenderung meningkat. Selain itu, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan, maka dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi sangat penting dan strategis.
Pangan Lokal Berbagai Generasi
Menurut La Fihi, di masa-masa awal kemerdekaan tahun 1950-an, jagung biasanya juga digunakan sebagai alat tukar. Misalnya ada orang yang bekerja seharian membabat rumput kebun atau jenis pekerjaan lainnya, maka diberi bayaran 25 buah jagung per hari.
La Fihi mengatakan bahwa dari rentang waktu 1940 sampai 1995, di Muna Jagung masih menjadi satu-satunya makanan pokok. Makanan pendamping lainnya berupa umbi-umbian seperti ubi jalar, ubi kayu, bahkan kolope (ubi hutan yang sudah dihilangkan racunnya). Tahun 2000-an ke atas jagung sudah mulai mendapat saingan dengan kehadiran beras.
“Biar ada beras, tetap dalam satu hari itu harus makan kambuse. Kalau beras kan tidak hari-hari kita makan. Malah ada teman saya yang makan terus kambuse,” tutur La Fihi.
Kini di usia senjanya, La Fihi masih setia berkebun jagung dengan dibantu istri dan mertuanya. Di lahannya yang hanya setengah hektar bisa diperoleh 5 ribu buah jagung sekali panen. Jagung itulah yang digunakan untuk makan sehari-sehari, makanan ternak ayam, dan sebagian dijual ke pasar untuk dibelikan beras.
Baginya pondok di kebun adalah tempat tinggal tetap. Sebab sepanjang waktu dihabiskannya dalam proses tanam dan panennya tanaman yang dijaganya dari babi dan monyet. Rumah di kampung hanya persinggahan sementara apabila hendak ke pasar atau ada acara keluarga yang harus dihadiri.
Kabhaleko, “Benteng” Pangan
Tepat di seberang kebun La Fihi, terdapat sepasang kakek dan nenek La Nasi dan Wa Kia, pekebun jagung yang masing-masing berumur 63 tahun. Pasangan yang telah memiliki beberapa cucu ini hanya tinggal berdua di pondokan kebunnya.
Sembari menghidangkan sepiring kambuse (makanan olahan jagung khas masyarakat Muna), La Nasi dan Wa Kia bercerita tentang penyimpanan jagung mereka. Penyimpanan itu berbentuk persegi yang disebut kapanto, tepat di dalam pondokan yang memadati hampir setengah luas tempat meraka bernaung itu.
La Nasi menjelaskan bahwa dalam menyimpan jagung ada dua cara yang dilakukan yakni dengan cara kapanto dan kabhaleko. Kapanto seperti yang ada di pondoknya saat ini untuk penyimpanan jangka pendek sedangkan kabhaleko untuk jangka panjang. Di masa sekarang ini yang biasa dilakukan masyarakat hanya kapanto sedangkan kabhaleko sudah hampir tidak ada sama sekali.
Kapanto merupakan penyusunan jagung dalam sebuah petak (biasanya 2×2 meter) di dalam pondok atau rumah. Buah jagung yang belum dikupas disusun secara vertikal (tegak lurus) hingga penuh dalam satu petak penyimpanan.
Berbeda dengan kabhaleko, yang penyimpanan jagungnya dalam sebuah petak (seperti kapanto), hanya saja petaknya ada di atas loteng. Tepat di bawah loteng ini ada tungku pembakaran atau dapur untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. Dalam petak itu, buah jagung disusun miring mengikuti kemiringan atap.
Jagung dalam kabhaleko meminimalisir dari serangan tikus, rayap, dan hama lainnya karena suhunya yang selalu hangat, tepat berada di bawah atap dan selalu diasapi tungku dapur. Selain itu susunannya yang rapi membuat tikus hanya dapat memakan yang ada di bagian luar kabhaleko.
Dengan metode penyimpanan kabhaleko, La Nasi mengatakan jagung dapat bertahan puluhan tahun. Jagung dalam kabhaleko inilah yang pada zaman dahulu membentengi para pekebun jagung dari ancaman kelaparan.
“Kalau sudah tahunan disimpan dalam kabhaleko istilahnya sudah ‘bernyawa’ tapi tidak bisa lagi jadi bibit. Dan juga sudah kebal serangan bubu (hama), karena sudah mengeras dan warna biji jagung sudah merah. Di masak pun lama bisa sampai setengah hari, beda dengan jagung biasa dimasak hanya dua jam,” tutur La Nasi.
Agar isi kabhaleko tidak kunjung habis, buah jagung diambil sedikit-sedikit untuk dimasak sekali makan. Kemudian, kabhaleko terus diisi setiap kali musim panen telah tiba. Dengan metode keluar-masuk itu, kabhaleko selalu penuh dengan buah jagung.
Namun seiring perkembangan zaman dan nilai jual jagung yang kian membaik dengan kisaran harga Rp3 ribu hingga Rp6 ribu per liter membuat pekebun tak ada lagi yang menyimpan jagungnya berlama-lama. Semua hanya disimpan sementara lewat kapanto dan sebagian lagi langsung dijual ke pasar.
Kata La Nasi, dirinya lebih memilih menjual jagungnya lalu uang hasil penjualannya dibelikan beras dan kebutuhan lainnya. Beras lebih disukai anak-anak dan keluarganya ketimbang jagung. Keunggulan beras adalah rasanya enak dan teksturnya lebih lembek dibanding jagung.
Hal itu berbeda jauh dengan tempo dulu di mana jagung adalah makanan pokok nomor satu. Sekitar tahun 1970 hingga 1975 pernah terjadi krisis makanan. Saat itu kenang La Nasi, terjadi migrasi besar-besaran. Masyarakat Tongkuno berpindah kampung. Istilahnya dari kampung lama menuju kampung baru.
“Saat itu bisa teratasi dengan sisa makanan dari kabhaleko dan makanan kolope (ubi hutan yang sudah dihilangkan racunnya). Makanya dulu itu jagung kita sebut makanan pusaka,” tutur La Nasi.
Rasi Bintang, Warisan Pengetahuan Nenek Moyang
Kabhaleko dapat selalu terisi penuh karena masyarakat juga memiliki pengetahuan tentang awal musim tanam jagung yang tepat. Dalam menanam jagung dikenal dua musim tanam, bhara (barat) dan timbu (timur).
Dalam kalender masehi, musim bhara biasanya pada bulan Oktober, November, dan Desember. Sedangkan musim timbu pada bulan Maret, April, dan Mei. Selain bulan-bulan itu, tidak ada lagi yang menanam jagung. Kedua musim ini diawali dengan datangnya hujan dan angin.
Musim bhara adalah datangnya angin kencang dari barat ke arah timur. Tanda masuknya musim ini ditandai dengan guntur di sebelah barat. Sedangkan musim timbu adalah mulai bertiupnya angin dari timur ke arah barat. Angin di musim timbu tidak sekencang angin di musim bhara.
Selain berdasarkan penanggalan kalender dan datangnya angin, La Nasi juga membaca pergantian musim berdasarkan rasi bintang di langit. Ada lima rasi bintang yang diikuti yakni lambusiowa, laeyangkululi, vele, mose, dan filemantobua.
Rasi bintang lambusiowa ada empat bintang yang bila digaris akan membentuk seperti layang-layang. Rasi ini terdapat di bagian selatan langit yang muncul pada bulan Maret atau April dan menghilang pada bulan Oktober.
“Lalu, kumpulan bintang laeyangkululi ada dua bintang, bila digaris membentuk satu garis lurus. Rasi ini terdapat di bagian selatan langit yang muncul pada bulan Mei dan menghilang pada bulan Oktober,” tutur La Nasi.
Rasi bintang vele ada enam bintang, bila digaris 3 bintang berbentuk horizontal dan tepat di bawah garis horisontal itu terdapat 3 bintang yang berbentuk garis vertikal miring. Rasi bintang ini diikuti rasi bintang mongiwa yang bentuk sama dengan vele dan jumlah bintangnya sama. Kedua rasi bintang ini biasanya muncul di bagian tengah langit pada bulan Juni dan menghilang pada bulan Oktober dan November.
Rasi bintang mose ada 7 bintang yang saling berdekatan seperti dalam sebuah lingkaran. Rasi bintang ini berdekatan dengan bintang loase yang hanya 1 bintang, berada di bagian tengah langit. Kedua rasi bintang ini muncul setelah rasi bintang vele menghilang, sekitar bulan Desember atau Januari. Kemudian menghilang pada bulan Juli.
Kemudian, rasi bintang filemantobua ada 6 bintang yang bila ditarik garis mirip dengan rasi bintang vele. Rasi bintang ini muncul di bagian langit utara pada bulan Juli atau Agustus dan menghilang pada bulan Desember atau Januari.
Berdasarkan kelima rasi bintang itu, pertanda datangnya musim timbu adalah munculnya rasi bintang lambusiowa. Kemudian ketika muncul rasi bintang laeyangkululi menandakan akhir musim timbu dalam artian sudah tidak menanam jagung.
“Vele muncul pada bulan Juni, ini merah bintangnya. Kalau merah betul bintangnya berarti kemarau panjang. Kalau tidak terlalu merah, berarti tidak terlalu kemarau. Bisa menanam dimunculnya bintang ini tapi hanya sayur-sayuran, itupun harus disiram-siram,” ucap La Nasi.
Kemudian menghilangnya rasi bintang vele dan mulai munculnya rasi bintang mose, menjadi tanda sudah dimulainya musim bhara. Begitu seterusnya pergantian muncul-hilangnya lima rasi bintang memberikan petunjuk kepada para pekebun jagung, kapan harus mulai menanam dan kapan tidak boleh menanam.
“Kalau tidak menanam sesuai jadwal musim itu yah pasti gagal panen jagungnya,” tutup La Nasi sembari menghidangkan sepiring kambuse.
Jagung di Tanah “Barakati”
Terlepas dari penentuan musim tanam yang tepat, La Fihi, La Nasi, Wa Kia, maupun masyarakat Muna pada umumnya percaya pada satu semboyan “Witeno Wuna Wite Barakati”, artinya tanah muna tanah yang diberkahi Tuhan. Sebuah keniscayaan bahwa tanah itu akan membawa kebaikan bagi kehidupan.
Peneliti lain dari bidang sosial ekonomi BPTP, Rusdin mengatakan budidaya jagung di Muna diuntungkan oleh kebiasaan masyarakat setempat yang memang sudah turun-temurun berkebun jagung. Beberapa pengetahuan tentang musim tanam dan teknologi sederhana penyimpanan jagung sudah dimiliki masyarakat.
Penyimpanan jagung dalam kabhaleko merupakan bentuk teknologi sederhana untuk mengamankan pangan hasil panen. Kata Rusdin, dulu ada kabhaleko karena pola pikir masyarakat Muna belum berorientasi diperjualbelikan tapi hanya sebagai cadangan pangan keluarga.
“Teknologi serupa kabhaleko juga dilakukan masyarakat di Pulau Jawa, hanya caranya berbeda. Di sana, buah jagung yang belum dikupas kulitnya tidak disusun seperti kabhaleko tapi digantung di bagian atas dapur,” tutur Rusdin yang sudah 9 tahun turut melakukan pengkajian jagung di Muna.
Mengenai terkikisnya budaya makan jagung dengan hadirnya beras, kata Rusdin lebih efisisien jagung tapi belum ada kajian BPTP terkait hal itu. Dari sisi konsumsi makanan pokok jagung, sagu, dan beras dari sisi pemenuhan gizi adalah setara atau sama saja. (A)