Pesan dan Pencerahan Saya Selaku Penyelenggara Pemilu (KPU) di Daerah Kepada
Presiden sekaligus pembawa acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Karni Ilyas men-tweet kutipan dari Pemimpin Uni Soviet (saat ini Rusia) Joseph Stalin melalui akun Twitter pribadinya, @karniilyas, Sabtu (29/4).
Tweet Bang Karni Ilyas diatas telah menyesatkan publik terhadap publik yang awam atas perkembangan kepemiluan dan pilkada kita saat ini. saya selaku penyelenggara Pemilu di daerah terngganggu dan tercengang dengan kicauan bang Karni ini. Hari gini masih ada yang mengatakan KPU bisa memainkan suara ? Untuk itu saya akan menakar tweet bang Karni dengan ulasan teknis dan sistem pemungutan dan penghitungan suara mulai dari Pemilu 2014 sampai dengan Pilkada Serentak 2015 dan 2017, sebagai berikut.
Pemberian suara oleh pemilih merupakan pernyataan kedaulatan rakyat yang paling hakiki dalam rangka mendelegasikan kedaulatan yang dimilikinya kepada kandidat yang dinilai kredibel, kompeten, dan berintegritas. Karena itu, penting bagi penyelenggara pemilu untuk menjaga integritas pemungutan dan penghitungan suara.
Penyelenggara harus mampu menjaga autentisitas suara rakyat dan mencegah segala bentuk distorsi yang dapat merusak konversi suara rakyat menjadi kursi kekuasaan eksekutif. Untuk menjaga integritas pemungutan dan penghitungan suara, maka KPU memberi pengaman pada surat suara dengan tanda khusus berupa micotext. Begitu juga formulir penghitungan perolehan suara diberi tanda khusus berupa hologram. Ini bertujuan untuk mencegah terjadi manipulasi suara dengan menggunakan surat suara dan formulir yang palsu.
Integritas pemungutan dan penghitungan suara juga diperkuat dengan adanya form tanda tangan ketua dan anggota KPPS serta saksi pasangan calon dalam setiap lembar formulir penghitungan suara. Pada formulir model C1 Plano, penulisan rincian perolehan suara masing-masing Parpol dan deretan daftar caleg untuk Pemilu, pasangan calon untuk pilkada, jumlah seluruh suara sah, suara tidak sah, serta data jumlah suara sah dan tidak sah ditulis dalam bentuk angka dan huruf.
Pada pemungutan suara, ketua dan anggota KPPS, sanksi pasangan calon, pengawas TPS, dan masyarakat umum penting memahami bahwa hanya ada tiga kategori pemilih yang dapat menggunakan hak pilih di TPS, yaitu pemilih yang terdaftar dalam DPT, pemilih yang pindah memilih menggunakan formulir A5 dan dicatat dalam kolom daftar pemilih pindahan (DPPh) pada formulir C7 atau daftar hadir pemilih di TPS, dan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT tetapi memiliki KTP elektronik atau surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat.
Khusus pemilih tambahan (DPTb) diberi kesempatan menggunakan hak pilihnya satu jam terakhir sebelum TPS ditutup, yaitu pukul 12.00 sampai pukul 13.00 dan sepanjang surat suara di TPS masih tersedia. Dalam hal surat suara di TPS tersebut habis, petugas mengupayakan surat suara dari TPS terdekat.
Dalam melayani hak pilih warga, petugas KPPS diminta tetap meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah adanya pemilih siluman atau pemilih yang tidak berhak masuk ke TPS dan menggunakan hak pilih. Karena itu, petugas KPPS berhak meminta pemilih menunjukkan KTP ketika registrasi pemilih di TPS meskipun pemilih tersebut telah membawa formulir C6 atau surat pemberitahuan memilih di TPS.
Pengecekan formulir C6 dengan KTP diperlukan untuk meyakinkan petugas bahwa orang yang membawa formulir C6 itu benar merupakan pemilih yang namanya tercantum dalam formulir C6. Begitu juga dengan pemilih yang datang ke TPS tanpa membawa formulir C6. Petugas dapat meminta pemilih menunjukkan KTP/paspor atau identitas lain yang memuat nama, alamat, dan pas foto untuk selanjutnya dilakukan pengecekan ke dalam DPT. Jika namanya tercatat dalam DPT, diberikan hak untuk memilih di TPS tersebut. Petugas juga diminta meningkatkan kualitas administrasi kepemiluan, terutama administrasi pemilih yang pindah memilih dan pemilih pengguna KTP elektronik dan surat keterangan dari Disdukcapil setempat. Agar administrasi pindah memilih lebih tertib dan tertata dengan baik, pemilih yang akan pindah memilih di luar TPS yang bersangkutan terdaftar, maka pemilih tersebut wajib mengurus formulir A5 dari Panitia Pemungutan Suara (PPS) asal dan selanjutnya melapor ke PPS tujuan paling lambat tiga hari sebelum pemungutan suara.
Namun, dalam hal pemilih tersebut tidak sempat melapor ke PPS tujuan paling lambat tiga hari sebelum pemungutan suara tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara sepanjang telah memiliki formulir A5. Keberadaan saksi dari masing-masing Parpol untuk Pemilu, pasangan calon untuk Pilada dan pengawas TPS juga sangat penting dalam menjaga integritas pemungutan dan penghitungan suara. Karena itu, Parpol Pada Pemilu, dan pasangan calon pada Pilada diharapkan menugaskan saksi yang betul-betul memahami mekanisme pemungutan dan penghitungan suara.
Jumlah saksi di setiap TPS maksimal dua orang dengan catatan saksi yang dapat masuk ke-TPS hanya satu orang dalam satu waktu. Saksi mesti memahami hak dan kewajibannya. Saksi berhak atas salinan DPT dan Salinan berita acara dan salinan sertifikat serta lampiran hasil penghitungan suara. Saksi, pengawas TPS, dan pemantau pemilih dapat mendokumentasikan catatan hasil penghitungan perolehan suara di TPS atau formulir C1 Plano dalam bentuk foto atau video. Dokumentasi yang dimiliki para pihak diharapkan menjadi alat kontrol terhadap proses penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara secara berjenjang.
Petugas KPPS juga penting memastikan bahwa pemilih yang menggunakan hak pilihnya di bilik suara tidak membawa telepon genggam dan alat perekam gambar. Ini bertujuan untuk mencegah adanya pemilih yang mendokumentasikan pilihannya dalam surat suara. Dokumentasi pilihan dalam surat suara mesti dicegah karena melanggar asas kerahasiaan dan dapat menjadi alat bagi pemilih untuk melakukan transaksi politik dengan kandidat tertentu. Kita menginginkan pemilih menggunakan hak pilihnya atas pertimbangan- pertimbangan rasional.
Kampanye selama lebih kurang empat bulan sudah lebih dari cukup untuk mengukur dan membanding kredibilitas, kompetensi, dan integritas masingmasing pasangan calon. Salah satu ciri penting pemilih rasional adalah menerapkan prinsip empirisme rasional dalam menentukan pilihan politik. Tindakan politiknya tidak berdasarkan pada emosi dan transaksi, tetapi mengacu pada akal sehat dan akal budi sebagai alat untuk mengolah semua informasi yang diterimanya, termasuk visi, misi, dan program kandidat yang telah didengar selama masa kampanye.
Mencari informasi sebanyak-banyaknya dan menguji konsistensi serta kesesuaian antara informasi yang satu dengan informasi lain merupakan bentuk sikap dari seorang pemilih rasional. Inilah yang kita harapkan muncul dalam Pemilu 2014 dan pemilihan serentak 2015 dan 2017 yang telah berlalu dan sekarang menuju Pilkada serentak 2018. Partisipasi pemilih yang tinggi dan berkualitas sangat diperlukan sebagai penyangga utama demokrasi. Untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil penghitungan perolehan suara di TPS, KPU tetap menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas melalui sistem informasi penghitungan suara (situng).
Sejak Pemilu 2014 s.d Pilkada Serentak 2015 dan 2017 dimana untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil penghitungan perolehan suara di TPS, KPU tetap menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas melalui sistem informasi penghitungan suara (situng).
KPU berupaya dalam waktu 1×24 jam, scan C1 atau sertifikat hasil penghitungan perolehan suara di TPS, dan hasil hitung C1 sudah dapat ditampilkan di portal situng untuk diakses oleh masyarakat. KPU dalam Pemilu 2014, pilkada serentak 2015 dan 2017 tidak saja menerapkan prinsip transparansi, tetapi juga prinsip open data atau data terbuka. Data hasil scan C1 dan hasil hitung C1 disediakan tidak dalam format terkunci, tetapi dalam bentuk format yang dapat ditarik atau diambil oleh publik dengan mudah. Inilah demokrasi kita.Demokrasi yang berdasarkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
Saya kira semua pelaku sejarah pada Pemilu 2014, Pilkada serentak 2015 dan 2017 baik Bawaslu dan jajaran paling bawah pengawas TPS maupun KPU sendiri sampai jajaran KPPS, DPP Parpol sampai saksi di TPS, Paslon Kada sampai Saksi TPS, para pemantau dan penggiat pemilu, Polri dan TNI, Pemerintah dan Pemda, Media massa, Semua mengetahui prinsip open data atau data terbuka KPU. Mengetahuo Data hasil scan C1 dan hasil hitung C1 disediakan tidak dalam format terkunci, tetapi dalam bentuk format yang dapat ditarik atau diambil oleh publik dengan mudah.
Demikian pesan dan pencerahan kepada Presiden sekaligus pembawa acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Karni Ilyas, semoga bang karni bisa membacanya dan menjadi sadar atas kekeliruan dalam tweet tersebut. Atas hal ini saya menitip pesan kepada bang Karni agar bisa membuka forum bersama kami penyelenggara untuk mengulas teknis dan sistem pemungutan dna penghitungan suara Pemilu maupun Pemilihan. Semoga.