Asal Usul Kabaena dan Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a [Bagian 2]

makam-leluhur-di-perkampungan-tua-kotua
akam leluhur di perkampungan tua Kotu'a yaitu di La'ohama yang terdapat pada batas wilayah Desa Tangkeno dan Tirongkotua kini.
makam-leluhur-di-perkampungan-tua-kotua
Makam : Makam leluhur di perkampungan tua Kotu’a yaitu di La’ohama yang terdapat pada batas wilayah Desa Tangkeno dan Tirongkotua kini. (Jumrad Raunde/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, RUMBIA – Setelah aur itu dipotong, selanjutnya dibawa ke rumah Walu’ea. Di tempat itulah aur tersebut dibelah dan nampaklah seorang pemuda dengan wajah rupawan keluar dengan menggenggam keris yang oleh masyarakat Kabaena menyebutnya ‘Tobo Ntonki Wonua’ dan tombak bermata tiga (gala). Orang tersebut kemudian diberi nama ‘Tebota Tulanggadi’.

Beberapa saat kemudian, konon Walu’ea memerintahkan pula anggota lainnya untuk menimba air di mata air Wataroda. Di mata air tersebut ia melihat bayangan seseorang berambut panjang.

Setelah menengadah tampaklah ia seorang perempuan nun cantik jelita yang mengenakan kalung (ana enu = palonda; bahasa moronene kabaena).
Dibawalah perempuan itu menghadap Walu’ea, kemudian ia diberi nama dengan gelar ‘Wulele Waru’ (Bunga Waru) setelah memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah seorang putri kahyangan.

Dua sejoli yaitu Tebota Tulanggadi dan Wulele Waru kemudian dijodohkan oleh Walu’ea. Namun sebelum pernikahan dilangsungkan, Wulele Waru menyampaikan syarat untuk kelanggenan rumah tangganya kelak yaitu ketika ada anak mereka, maka ia berpantang mencebok tinja anaknya.

Artikel Terkait : Asal Usul Kabaena dan Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a

Syarat itu disetujui oleh Tebota Tulanggadi dan berlangsunglah pernikahan mereka. Konon orang yang menikahkan dan mendudukkan Tebota Tulanggadi dan istrinya sebagai Raja Kotu’a pertama adalah Wakakaa. Radiman dalam rekaman itu, menyebutkan bahwa Wakakaa juga adalah seorang lelaki yang juga ditemukan dari dalam bamboo halus (Tari Medili).

aliran-air-dari-mata-air-wataroda
Aliran air dari Mata Air Wataroda yang dahulu merupakan tempat mengambil sumber air minum bagi orang pertama yang tinggal di kaki gunung batu sangi.

Nama itu diambil ketika orang yang hendak menebang bamboo halus itu mendengar suara mengatakan, “O’olokaa’ (hati-hati). Ucapan itu terdengar berulang-ulang, hingga kemudian bambu itu dibawa dan dibelah di rumah Walu’ea.

Saat bambu halus itu terbelah, nampaklah seseorang yang sangat bersahaja, bertutur santun, dan sangat beradab. Konon Wakakaa inilah kemudian yang mengatur tentang prilaku, tata cara bertutur dan melantik raja, menyusun dan mengatur system adat perkawinan dan hukum adat lainnya.

Setelah Tebota Tulanggadi dan Wulele Waru dinikahkan dan dinobatkan menjadi mokole (raja) Kotu’a. Beberapa waktu kemudian lahirlah seorang anak yang diberi nama La Pati. Konon diusianya yang masih bayi, La Pati buang air besar di ayunannya.

Saat itu, ayahnya sedang rapat (tekongko) membahas perkara adat bersama Wakakaa. Sesuai kesepakatan sebelumnya, Wulele Waru menyuruh seseorang memanggil Mokole untuk mensucikan anaknya.

Hingga kali ketiga dipanggil, Tebota Tulanggadi tidak berkesempatan memenuhinya. Berkatalah Wulele Waru, “Telah datang saatnya saya pergi”.

Setelah menyucikan La Pati, menghilanglah permaisuri entah kemana. Ketika Mokole kembali ke rumah dan tidak menemukan istrinya, maka ia pun menyusulnya sembari menitip pesan kepada penjaga anak.

“Saya titip La Pati, jika kalian rawat dengan baik maka ia adalah keuntungan besar buat kampong ini, sebaliknya bila ditelantarkan maka merugilah kalian,” ucap Tebota Tulanggadi dan kemudian menghilang.

La Pati kemudian tumbuh hingga dewasa dan dilantik menjadi Mokole kedua di Kotu’a. Setelah dikukuhkan, ia pun kemudian berlayar mencari ayahnya hingga di Sulawesi Selatan tepatnya di Gowa.

Baca Juga : Cecak-Buaya di Tanah Motui

Di Gowa, La Pati tinggal di rumah salah seorang warga yang tak diketahui namanya hingga kini.

Suatu hari, La Pati mendengar akan adanya pertemuan di lingkup Kerajaan Gowa. Diikutinyalah pertemuan itu. Dalam pertemuan, semua rakyat duduk bersila, sementara Raja Gowa duduk disinggasananya.

Hal aneh pun terjadi, beberapa saat pertemuan berlangsung, hingga tak disadari bahwa tempat duduk La Pati telah sama dengan singgasana sang raja. Seusai rapat dan rakyat telah bubar, maka dipanggillah La Pati menghadap raja.

Dalam percakapan La Pati dan Raja Gowa tersebut, terungkap bahwa ia sedang mencari ayahnya Tebota Tulanggadi, yang telah lama menghilang, sembari menunjukkan tobo ntonki wonua yang dibawanya.

Berkatalah sang raja, bahwa dari keris yang ditunjukkan itu, mengindikasikan Tebota Tulanggadi adalah anaknya yang juga menghilang. Keris itupun kemudian diminta oleh raja tetapi dengan syarat sang raja menikahkan putrinya pada La Pati. Saat menikah, diberilah ia gelar dengan nama La Pati Daeng Masaro Labi.

Oleh orang Kabaena kini, tidak mengetahui siapa nama istri Raja Kotu’a itu di Gowa. Akan tetapi berdasar yang dikisahkan Radiman, menyebutkan bahwa beberapa lama setelah menikah, kemudian istrinya hamil.

Baca Juga : Upacara Adat Tahunan Suku Tolaki, Diawali Monahu Ndau dan Diakhiri Mosehe Wonua

Saat masih hamil, La Pati pulang di kampong halamannya. Sebelum pulang ia berpesan kepada istrinya bahwa ketika anak itu lahir dan berkeinginan untuk mencarinya, maka berlayarlah ia kearah timur.

Ketika melihat sebuah pulau yang berlayarkan batu, maka itulah tempatnya ia bermukim bersama rakyat. (Bersambung)

 

Reporter : Jumrad Raunde
Editor : Rustam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini