Asal Usul Tari Linda, Dianggap Sakral dan Bercerita tentang Bidadari

247
Asal Usul Tari Linda, Dianggap Sakral dan Bercerita tentang Bidadari
TARI LINDA – Seorang perempuan melakukan tari linda saat prosesi akhir tradisi karia di Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat pada 18 September 2023. (Foto: Istimewa)

ZONASULTRA.ID, KENDARITari Linda adalah salah satu tari tradisional dari suku Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang hingga kini masih terus lestari.

Tari Linda sendiri berasal dari bahasa Muna malinda-linda yang berarti menari sambil berkeliling. Tari Linda biasanya ditampilkan saat proses karia atau pingitan karena tarian ini dianggap sebagai tarian menuju kedewasaan.

Acara karia sendiri merupakan prosesi adat yang wajib dijalani setiap anak perempuan suku Muna sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan.

Karia adalah proses keempat yang didapatkan perempuan suku Muna setelah lahir. Mulai dari kampua atau pemotongan rambut, sunat, katoba atau diislamkan dan setelah itu di-karia sebagai tanda bahwa ia sudah menginjak dewasa.

Bagi masyarakat Muna, karia memiliki makna mendalam. Karia dianggap sebagai pintu gerbang menuju kedewasaan bagi kalambe atau gadis Muna.

Karia dijadikan sebagai sarana untuk mensucikan dan persiapan menuju kedewasaan, serta harus siap menghadapi realitas hidup yang semakin keras.

Dalam karia ini melibatkan berbagai ritual, doa, dan persembahan sebagai tanda rasa syukur kepada Tuhan atas pertumbuhan dan kematangan anak perempuan tersebut.

Selain ditampilkan saat karia, Tari Linda juga ditampilkan saat penyambutan tamu atau event-event budaya.

Makna Tari Linda

Muhammad Razab, salah satu penggiat seni di Lawa, Muna Barat, mengatakan, Tari Linda tak boleh sembarang ditampilkan karena tari ini sangat sakral.

Ini juga yang menjadi alasan Tari Linda hanya boleh dibawakan oleh remaja atau orang dewasa yang belum menikah karena menjadi simbol kesucian.

Asal Usul Tari Linda, Dianggap Sakral dan Bercerita tentang Bidadari
Masyarakat beramai-ramai menonton tari linda dalam tradisi karia di Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat pada 18 September 2023. (Foto: Istimewa).

Tarian ini biasanya dibawakan oleh enam hingga delapan orang penari perempuan. Mereka menari diiringi oleh instrumen yang berasal dari alat musik tradisional, yaitu gendang, gong, dan kasepe yang disebut rambi wuna.

Razab mengatakan, gerakan Tari Linda sangat lembut dan gemulai, tetapi instrumen yang mengiringi tarian ini dibawakan dengan irama cepat. Tentu bertolak belakang dengan gerakan Tari Linda yang lembut.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Menurut Razab, hal tersebut bermakna bahwa seorang remaja perempuan akan mendapati berbagai godaan silih berganti dan cepat dari lingkungannya. Namun, perempuan tersebut harus tetap tenang dan penuh konsentrasi untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Pada upacara adat karia, penari Tari Linda akan menghampiri penonton dan memberikan selendang mereka sebagai penghormatan.

Tamu yang mendapatkan selendang lalu mengembalikan selendang beserta uang (saweran) atau hadiah sebagai ungkapan syukur dan terima kasih.

Razab mengatakan, saat menampilkan Tari Linda, para penari harus mengenakan pakaian yang sopan dan bagian ketiak tidak boleh terlihat.

Biasanya para penari mengenakan pakaian adat suku Muna berupa atasan badhu kombo (sejenis baju) dan bawahan punto dan ndoro (sejenis rok).

Para penari juga mengenakan aksesoris berupa dali-dali manu (anting-anting berbentuk burung), simbi (gelang), dhao-dhaonga (kalung), dan panto (tusuk sanggul).

Properti yang digunakan dalam tarian ini berupa salenda (selendang) dan kapusuli (sapu tangan).

Bercerita tentang Bidadari

Tari Linda diciptakan pada abad ke-16 M oleh Wa Ode Wakelu, permaisuri raja La Ode Ngkadiri (Raja Muna ke-12). Tari ini lalu mulai dipentaskan pada abad ke-16, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Muna ke-16, La Ode Husein.

Pada masa pemerintahan La Ode Husein inilah prosesi adat karia mulai dilaksanakan, dan yang pertama kali melakukan karia adalah anak dari La Ode Husein bernama Wa Ode Mono Kamba.

Asal Usul Tari Linda, Dianggap Sakral dan Bercerita tentang Bidadari
Saat prosesi akhir tradisi karia, seorang perempuan melakukan tari linda. Acara ini berlangsung di Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat pada 18 September 2023. (Foto: Istimewa)

Awalnya karia dilaksanakan selama 40 hari, namun karena Wa Ode Mono Kamba meninggal dalam proses karia maka sekarang karia hanya dilaksanakan 3 hari 3 malam.

“Jumlah hari pelaksanaan karia itu sekarang selalu ganjil, jarang yang genap,” kata Muhammad Razab.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Konon, asal muasal Tari Linda mirip dengan legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari. Alkisah, ada seorang pemuda Muna yang mencuri selendang salah satu bidadari yang sedang mandi di sungai dan membuat bidadari tersebut tidak bisa kembali ke khayangan.

Singkat cerita, sang bidadari mau menikah dengan pemuda itu dengan syarat ketika mereka menikah nanti sang pemuda tidak boleh membuka periuk nasi.

Syarat tersebut disetujui dan keduanya menikah. Sang bidadari pun mendapat nama Wa Ode Fari. Pasangan ini dikaruniai seorang putri.

Suatu hari kekeringan melanda. Penduduk desa mulai kekurangan bahan makanan. Anehnya, beras di rumah Wa Ode Fari tidak pernah berkurang yang membuat suaminya penasaran.

Tanpa sepengetahuan Wa Ode Fari, suaminya diam-diam membuka periuk nasi. Di dalamnya hanya ada sebutir beras. Namun, setelah mendidih, periuk tersebut langsung penuh dengan nasi.

Keesokan harinya Wa Ode Fari memasak seperti biasa. Namun sebutir beras yang ia masukkan ke dalam periuk tidak berubah menjadi nasi. Ia pun sadar suaminya telah melanggar janji.

Sejak saat itu, Wa Ode Fari harus menanak nasi seperti penduduk desa lainnya. Perlahan persediaan bahan makanan mereka pun menipis.

Suatu hari ia pun menemukan selendangnya yang disimpan suaminya di tempat penyimpanan beras.

Dengan kecewa, Wa Ode Fari meninggalkan suami dan anaknya kembali ke khayangan. Sebelum kembali, diceritakan bahwa sang bidadari menarikan Tari Linda.

Sang anak yang merindukan ibunya lantas menirukan gerakan tari sang ibu. Gerakan tersebut yang akhirnya menjadi cikal bakal Tari Linda.

Muhammad Razab berharap Tari Linda akan terus lestari. Ia juga berharap generasi muda tak pernah berhenti mempelajari tarian ini.

Pada 2015, Tari Linda ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda dari Sulawesi Tenggara. (***)

 


Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini