Melestarikan Adat Muna “Karia” di Tanah Rantau

445
Melestarikan Adat Muna “Karia” di Tanah Rantau
Proses kafo sampu atau keluarnya perempuan muna dari kaghombo untuk melaksanakan tari linda atau tarian bidadari dalam rangkaian acara adat Muna 'Karia' di Jalan Mekar 1, Kadia, Kota Kendari pada Senin (6/11/2023).(Ismu/Zonasultra.id)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Di tengah laju modernisasi, dibutuhkan upaya gigih untuk melestarikan tradisi adat nenek moyang yang telah ada berabad-abad lamanya agar tidak hanya menjadi cerita dongeng pengantar tidur atau hilang ditindih perkembangan teknologi.

Mewujudkan sikap sadar dari mana seseorang berasal dengan keanekaragaman budaya turun temurun yang memiliki makna mendalam perlu dilakukan meski di tanah rantau sekalipun. Hal tersebut guna menanamkan tradisi budaya kepada generasi penerus untuk senantiasa dilestarikan.

Seperti yang dilakukan oleh keluarga besar Almarhum (Alm) La Ode Marambeti yang berada di Kota Kendari. Keluarga tersebut melangsungkan acara adat Muna “karia”.

Acara adat karia yang berlangsung di Jalan Mekar 1, Kelurahan Kadia, Kecamatan Kadia, Kota Kendari pada Senin malam (6/11/2023) tersebut digelar untuk para cicit Alm La Ode Marambeti yang saat ini tinggal di Kota Kendari dan di Muna.

Karia adalah upacara tradisional yang dilakukan untuk merayakan kedewasaan anak perempuan. Upacara ini melibatkan berbagai ritual, doa, dan persembahan sebagai tanda rasa syukur kepada Tuhan atas pertumbuhan dan kematangan anak perempuan tersebut.

La Ode Riago
La Ode Riago

Perwakilan keluarga besar, La Ode Riago mengatakan bahwa dalam acara adat yang digelar tersebut, pihak keluarga memingit 12 orang cicit Alm La Ode Marambeti yaitu Wa Ode Yati anak ke-6 dari pasangan La Ode Hamdia dan Wa Daharia, Jeni Ode Ernawati anak ke-3 dan Nuriani Ode anak ke-4 dari pasangan Andi Pata dan Filaria.

Selanjutnya, Wa Ode Rezky Meyuliana anak pertama dan Wa Ode Siti Amelia anak kedua serta Wa Ode Putri Ayu Bintang anak ketiga dari pasangan La Halima dan Wa Ode Emi Suharnita. Amira Nazelda Ode anak kedua dari Zainuddin dan Wa Baeda, Della Nurwiyansyah Ode anak pertama dari pasangan Arwin dan Wa Saida.

Berikutnya, Nurul Aulia Ode anak pertama dari pasangan La Ode Tomuna dan Wa Ode Marlina, Wa Ode Airin Rahmaini anak kedua dari pasangan La Ode Sandara dan Ritawati, Wa Ode Yuni Sara anak dari pasangan La Ode Asara dan Puji Rahayu, serta Lista Putri Andini anak keempat dari pasangan Andi Aco dan Rosmiati.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

La Ode Riago juga menyampaikan bahwa semua prosesi rangkaian acara adat karia tersebut dilakukan oleh pihak keluarga termasuk silat Muna yang diajarkan turun temurun oleh kakeknya, La Ode Marambeti sebagai guru silat Muna pada zamannya.

Melestarikan Adat Muna “Karia” di Tanah Rantau
12 Cicit Alm La Ode Marambeti yang di Karia di jalan Mekar 1, Kadia, Kota Kendari pada Senin (6/11/2023).(Ismu/Zonasultra.id)

Ia menjelaskan bahwa karia adalah proses ke-empat yang didapatkan perempuan suku Muna setelah lahir. Mulai dari kampua atau pemotongan rambut, sunat, katoba atau diislamkan dan setelah itu di-karia sebagai tanda bahwa ia sudah menginjak dewasa.

La Ode Riago berharap acara adat karia ataupun acara adat Muna lainnya bisa terus dilaksanakan sebagai upaya melestarikan adat tersebut di mana pun masyarakat Muna berada. Sehingga, anak cucu keturunan suku Muna bisa mengetahui, mempelajari dan ikut serta dalam memelihara tradisi para leluhur.

Rangkaian Karia

Perempuan yang ingin di-karia atau dipingit, terlebih dahulu akan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang dinamai kaghombo selama 1 minggu atau 3 hari. Perempuan tersebut tidak diizinkan untuk menginjak tanah, olehnya itu untuk sampai ke sana, perempuan Muna akan digendong oleh dua orang laki-laki baik saudara atau keluarganya.

Di dalam ruangan tersebut tidak diperbolehkan ada cahaya dan harus gelap gulita. Masyarakat Muna percaya bahwa ruangan yang gelap itu artinya perempuan tersebut sedang masuk kembali ke dalam rahim seorang ibu. Di dalam ruangan tersebut terdapat satu orang pomantoto yaitu orang tua yang menjaga para perempuan Muna saat berada di dalam kaghombo.

Di ruangan itu, perempuan Muna harus mematuhi peraturan yang ada seperti tidur yang harus diatur yaitu dua jam menghadap kiri untuk membuang semua hal yang buruk, dan dua jam berikutnya menghadap ke kanan yang dimaknai sebagai kebaikan.

Peraturan selanjutnya yaitu makan dan minum harus mengikuti suara gong yang ada di luar ruangan kaghombo. Para perempuan yang dipingit tidak diperbolehkan untuk buang air besar, jika terjadi maka dipercayai dia akan dapat kesialan.

Setelah melewati proses kaghombo, perempuan Muna akan disuruh memakan sirih terlebih dahulu sebelum keluar sebagai representasi kehidupan di luar yang lebih pahit dan lebih keras daripada sirih yang mereka makan.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih
Melestarikan Adat Muna “Karia” di Tanah Rantau
Tarian Linda atau tarian Bidadari pada acara adat Muna ‘karia’.(Ismu/Zonasultra.id)

Setelah melewati proses makan sirih, para perempuan yang dipingit akan dimandikan dengan mayang. Mitosnya apabila saat dimandikan mayang itu berhamburan, maka itu pertanda bahwa jodohnya sudah dekat. Selanjutnya, mereka akan didandani dan dipakaikan dengan pakaian adat Muna untuk persiapan menarikan tarian linda atau tarian bidadari.

Proses selanjutnya yaitu kafosampu berarti keluarnya para perempuan yang dipingit dari dalam kaghombo dengan cara digendong oleh keluarga laki-laki dan akan didudukan ke kursi yang sudah disediakan. Setelah itu, perempuan yang dipingit akan melewati beberapa proses di antaranya proses injak tanah dan menyalakan lilin.

Lilin dimaknai dengan penerangan dalam ruangan yang gelap dan lilin ini tidak boleh mati sampai proses menari selesai. Olehnya itu lilin tersebut dijaga beberapa perempuan Muna yang tidak mengikuti karia.

Selanjutnya, para perempuan yang telah dipingit maju akan menarikan tarian linda satu per satu. Saat perempuan itu menari biasanya para tamu akan melemparkan uang kepada para perempuan tersebut.

Setelah itu akan dilakukan proses tebang pisang menggunakan parang dengan silat Wuna mengikuti alunan irama gong. Silat dilakukan oleh dua kelompok yang mempertahankan dan yang akan menebang baik sesama laki-laki ataupun laki-laki dan perempuan.

Setelah pisangnya telah tertebas maka para perempuan yang mengikuti tradisi karia atau bisa diwakilkan salah satu orang tua akan didudukan di atas tebasan batang pisang tersebut. Ini dimaksudkan untuk membahagiakan orang tua bahwa segala perkataan dan perbuatan buruk anaknya sudah hilang bersamaan dengan ditebasnya batang pisang tadi.

Tahapan terakhir pada proses tradisi karia atau pingitan biasanya dilakukan pada pagi hari ini yaitu buang bansa. Pada proses ini orang orang tua dan pomantoto akan membuat perahu kecil dari batang pinang bekas para perempuan Muna mandi, di dalamnya berisikan beras dan telur rebus.

Sebelum dibuang, perahu itu akan diberi mantra di hadapan perempuan yang mengikuti tradisi karia lalu dilepas ke laut ataupun sungai. Mitos masyarakat Muna percaya bahwa perahu itu akan menentukan masa depan para perempuan yang dipingit tersebut. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini