ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sudah 14 tahun, Fitri (38), melakoni pekerjaannya sebagai guru honorer. Saat ini, Fitri merupakan guru honorer di SD 1 Ranomeeto Barat, Kabupaten Konawe Selatan.
Awalnya, ia menjadi seorang guru honorer sejak 2005 silam, di Kabupaten Kolaka. Dan sekitar tahun 2012 hingga sekarang, ia memilih menjadi honorer di SDN 1 Ranomeeto Barat.
Demi mencerdaskan putra putri penerus bangsa, Fitri ikhlas melakoni pekerjaan mulia tersebut, meski upah yang diperolehnya belum dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Selama menggeluti profesi sebagai guru honorer di SDN 1 Ranomeeto Barat saat ini, Fitri tinggal di Desa Ambaipua, Kecamatan Ranomeeto, bersama saudara sepupunya. Jarak yang harus ditempuhnya untuk bisa sampai ke sekolahnya kurang lebih sejauh 7 kilometer.
(Baca Juga : Kisah Guru Honorer di Konut, 15 Tahun Mengabdi, Pernah Tak Digaji)
Untuk bisa sampai ke sekolahnya, biasanya Fitri naik ojek. Namun, tak jarang juga untuk lebih berhemat, ia tak malu menumpang truk-truk pengangkut pasir yang akan menuju ke Boro-Boro agar bisa sampai di sekolah.
“Tiap pagi kalau mau ke sekolah biasa naik motor. Tapi biasa juga tahan truk yang lewat depan rumah yang mau ke arah kali Boro-boro,” tutur Fitri di rumahnya, Senin (25/11/2019).
Soal honor yang diterimanya, diakuinya masih belum begitu memadai. Sehari mengajar, ia dibayar sebesar Rp15.000. Artinya, dalam sebulan gaji yang didapatkannya kurang lebih Rp400.000. Belum lagi, gaji tersebut baru bisa diambil per tiga bulan, kalau tidak terlambat.
“Kalau gajian itu biasa lewat dari 3 bulan baru bisa diambil. Kita kan ini dibayar dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah),” kata dia.
Menurutnya, gaji yang didapatkan selama ini tidak sebanding dengan apa yang dikerjakannya. Harus mengajar siwa-siswa tiap hari dan tidak boleh absen, belum lagi jika ada panggilan dadakan dari Kepala Sekolah yang tidak bisa tak diindahkannya.
(Baca Juga : Kisah Guru Honorer di Koltim, Berjalan Kaki 14 Kilometer untuk Bisa Mengajar)
Namun, bermodalkan keihklasan dan hati yang tulus ia rela menekuni pekerjaan yang kerap dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa” itu demi mendidik, dan memberi pengetahuan-pengetahuan baru kepada anak-anak yang telah dipercayakan oleh orang tuanya masing-masing, menuntut ilmu ditempatnya mengabdikan diri.
Spesial di hari guru yang jatuh tiap 25 November ini, ia tak berharap banyak. Ia hanya menginginkan agar pemerintah bisa memperhatikan sekolah-sekolah yang terletak di desa terpencil serta memperhatikan nasib-nasib honorer sepertinya.
“Harapannya ya semoga gaji para honorer bisa dinaikan,” pintanya.
Harapan sederhana itu digantungkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang belum lama dilantik. Sebab, ingin berharap pada pendaftaran K2, usianya sudah melewati batas maksimum, yakni 35 tahun.
Fitri mengaku pernah mengikuti seleksi CPNS, namun peruntungan belum berpihak kepadanya. Akhirnya, ia harus menjalani profesi ini dengan ikhlas, dan dengan gaji secukupnya.(a/SF)
Tlong di ralat beritanya Desa Ambaipua itu masuk kec. Ranomeeto bukan Ranoneeto Barat. Makasih
Baik, komentar anda akan sy teruskan di redaksi kami
Terima kasih