Cerita Alumni UHO, Pernah Kuliah di Inggris Berkat Beasiswa

1121
Cerita Alumni UHO, Pernah Kuliah di Inggris Berkat Beasiswa
ALUMNI UHO - Sukmawati (28), Alumni Universitas Halu Oleo (UHO) yang sukses kuliah di Univercity of Exceter Inggris pada 2016 lalu. (Istimewa)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Mewujudkan cita-cita mengenyam bangku kuliah di luar negeri ternyata lebih mudah dari kebanyakan orang pikirkan selama Ini. Hal itu dialami langsung Sukmawati (28), Alumni Universitas Halu Oleo (UHO) yang sukses kuliah di University of Exeter Inggris pada 2016 lalu.

Keinginan pergi menimba ilmu di negeri Ratu Elizabeth itu, awalnya setelah ia mendengar cerita dari teman-temannya yang berhasil kuliah di luar negeri tanpa melalui proses yang banyak kerumitan. Sukma pun memutuskan untuk mendaftar beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan pada akhir 2014.

Ia lulus di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),UHO tahun 2013. Setahun berikutnya, wanita berhijab asal Kelurahan Mandonga, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari ini mantap mempersiapkan diri mendaftar beasiswa program pemerintah pusat tersebut.

“Prosesnya selama 2 tahun untuk mempersiapkan berkas administrasi, seperti toefl harus capai standar 550. Untuk itu saya belajar 3 bulan secara mandiri dan mendapatkan sertifikat ITP toefl dari lembaga khusus,” kata Sukma, Jumat (5/4/2019).

Ia harus melengkapi berkas-berkas yang cukup banyak, seperti ijazah, transkrip, beberapa rekomendasi dan esai yang harus diisi. Bagi Sukma hal itu tidak terlalu sulit untuk dipenuhi, walaupun memang berkas itu selesai dilengkapi satu tahun lamanya.

Setelah itu, Sukma pun melakukan pendaftaran lewat online di laman resmi LPDP Kemenkeu RI. Setelah keluar pengumuman lolos berkas, ia kemudian harus ikut tes wawancara ke Kota Makassar. Setelah wawancara lulus langsung dapat beasiswanya.

Cerita Alumni UHO, Pernah Kuliah di Inggris Berkat Beasiswa
Sukmawati

“Jadi dulu seleksinya, berkas dan wawancara, intinya hanya dua kali. Kalau sekarang tiga kali, seleksi berkas dulu, tes potensi akademik (TPA) dan wawancara di Makassar, setelah itu baru dinyatakan lulus,” katanya.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Setelah Sukma berhasil lulus mendapat beasiswa tersebut pada September 2015, Ia masih mencari kampus lagi yang sesuai dengan rencana studinya, meski sudah 50 persen lulus di University of Exeter Inggris. Masalahnya pihak kampus tidak menerima sertifikat toefl.

“Tapi sertifikat IELTS (The International English Language Testing System), jadi harus pake IELTS. Itu tidak ada di Kendari harus di Makassar dan 6 bulan persiapan mendapat sertifikat IELTS. IELTS ini beda dengan toefl, universitas minta 6,5 skornya, setiap sesi harus dapat 6 kalau dapat 5 kita harus ulang lagi,” tuturnya.

Seteleh mendapat sertifikat IELTS, Sukma mengurus visa dengan memakai biaya sendiri. Setelah visa keluar baru biayanya diganti oleh pemerintah. Pada 2016, ia memulai proses perkuliahan.

Di Inggris, Sukma tinggal di dalam lingkungan kampus di Kota Exeter daerah bagian barat daya Inggris. Selama kuliah dia melihat fasilitas antara Indonesia dengan di sana sangat berbeda jauh terutama perpustakaan.

“Perpustakaan di sana semua serba online, tinggal kita mau cari buku apa yang kita mau. Penataan ruanganya juga berbeda, tidak semua isinya buku, ada kursi sofa, ada bilyarnya, playstation, kalau kita selesai membaca bisa bermain,” jelasnya.

Namun, kemampuan dengan mahasiswa asal Indonesia dengan orang-orang asing di sana tidak berbeda jauh. Metode pembelajaran sama seperti di Indonesia, seperti belajar kelompok, membuat tugas sama saja secara khusus. Yang paling menantang adalah dituntut belajar untuk berpikir kritis, berpikir mandiri dan tidak ada saling contek tugas kuliah.

“Proses sehari-hari malah tidak dihitung, jadi kalau kayak di kelas, kerapian, sopan-santun justru tidak diperhatikan di sana. bahkan ada yang tidur di kelas, kita nda mesti sopan, bahkan cara memanggil gurunya langsung sebut nama, karena memang budayanya beda kan,” ujar Sukma.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Sukma mengungkapkan, di jurusan bahasa Inggris yang ia jalani, tidak ada ujian sama sekali, bahkan ujian skripsi sekalipun. Katanya, untuk jurusan sosial hukum, politik, tidak ada ujian. Tapi kalau eksakta yang mengandalkan angka-angka ada ujian.

“Yang dinilai itu hanya hasil tulisan kita, misalnya kita diberi kasus, diolahlah topik itu sesuai dengan keadaan yang ada, misalnya saya ambil keadaan di Kendari soal contohnya kecemasan berbahasa inggris, kita telaah pustaka yang sudah ada, di situ membangun proses berpikir, bagaimana memecahkan masalah dari sebuah kasus,” ujarnya.

Menurut Sukma, soal hubungan sosial, orang Inggris bersifat tertutup untuk hal-hal pribadi. Memulai komunikasi saja, perlu lawan bicara yang harus memulai lebih dulu. Sukma berkomunikasi dengan mereka hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan perkuliahan.

Karena mengambil jurusan pendidikan bahasa asli di sana, sehingga tidak terlalu banyak ia berteman dengan warga di kota berpenduduk sekitar 100 ribu orang itu. Ia bahkan lebih banyak menjalin komunikasi dengan mahasiswa asal benua Asia dan Afrika.

“Orang Inggris itu orangnya tenang, tertutup dan menjaga perasaan, jadi kayak kita berinteraksi menjaga perasaan,” katanya.

Sukma merasa senang dan bangga bisa merasakan berkuliah di luar negeri. Terlebih itu gratis dan tidak melalui proses yang terlalu sulit. Dirinya menyelesaikan kuliah hanya menghabiskan waktu satu tahun. Kini, Sukma mengajar sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). (A/SF)

 


Kontributor : Fadli Aksar
Editor : Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini