Pergerakan mahasiswa mencatatkan sejumlah heroisme dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Semuanya tumpah dalam sebuah titik akhir bernama demonstrasi. Dua gerakan mahasiswa berakhir dengan tumbangnya rezim.
Peristiwa Tritura tahun 1966 yang diakhiri dengan kejatuhan Presiden Soekarno sekaligus tumbangnya rezim orde lama.
Lalu insiden 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari. Merespon kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta. Menjadi puncak kemarahan mahasiswa yang kala itu menentang derasnya investasi Jepang masuk ke Indonesia.
Terakhir, Reformasi 1998 yang menurunkan Presiden Soeharto dan menjadi simbol berakhirnya rezim orde baru.
Lebih dari 22 tahun sejak reformasi hadir, mahasiswa seperti terninabobokan oleh romantisme masa lalu. Mahasiswa merespon dinamika kebangsaan secara parsial dan bersifat kedaerahan. Nyaris tidak ada lagi pertautan isu antara apa yang terjadi di Jakarta (pemerintah pusat) dengan dampaknya di daerah.
Sebagaimana efek samping otonomi daerah yang melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, gerakan kemahasiswaan juga menjadi remah-remah yang gampang terjerumus pada terma “kanda-dinda”.
Gerakan mahasiswa seperti pemadam kebakaran, yang organ-organ pergerakannya berusia sangat temporer. Tiba-tiba muncul organisasi kemahasiswaan ekstra kampus untuk merespon sebuah isu kontemporer, lantas hilang tak berbekas. Pada kesempatan lain, muncul lagi organisasi berbeda, merespon isu yang berbeda. Dengan aktivis yang sama.
Pada titik paling memprihatinkan, mahasiswa terseret pada polarisasi kampret dan cebong, sebagai imbas dari pilpres. Padahal, para kontestan sudah lama bergandengan tangan dalam pemerintahan.
Kondisi pergerakan kemahasiswaan seperti inilah yang kemudian merespon dinamika investasi Tiongkok di Indonesia, termasuk industri tambang di Sulawesi. Ketika mahasiswa Sulawesi Tengah sedang menyorot industri tambang di Morowali, mahasiswa di Sulawesi Tenggara diam. Ketika Morosi sudah berdenyut, giliran mahasiswa di Palu diam.
Padahal jika menariknya lebih jauh, Morowali dan Morosi adalah implikasi dari peningkatan kerjasama ekonomi Indonesia-Tiongkok. Keduanya mendatangkan TKA gelombang demi gelombang.
Jika itu kemudian dikritisi, seharusnya pergerakannya diawali dari mahasiswa di Jakarta (sebagai sentrum isu) dan terkoordinir hingga daerah. Atau jika menimbang konteks kekinian, dimana saluran informasi begitu rimbun dan mudah, persoalan daerah dapat saja dengan cepat digulirkan menjadi isu nasional yang disuarakan para mahasiswa.
Latar belakang Peristiwa Malari sesungguhnya mirip dengan situasi saat ini. Penolakan atas derasnya investasi asing. Jika di tahun 1974, mahasiswa menolak Jepang. Saat ini, mahasiswa menolak Tiongkok.
Bedanya, isu investasi Tiongkok tidak dipandang sebagai isu nasional sehingga mahasiswa tidak terikat dalam satu emosi intelektual yang sama. Kajian-kajian menjadi tidak dalam dan inklusif.
Implikasinya di tataran aksi hanya berupa letupan-letupan kecil yang parsial. Bukan menjadi sebuah kewajiban moral bersama sebagai agent of change. Bahkan, dalam banyak hal terlihat sebagai tim hore dari para politisi.
Skenario aksi pun terlihat tidak adil dengan memandang gubernur sebagai “the one and only” pihak paling bertanggungjawab atas kebijakan datangnya 500 TKA.
Lalu kemudian mempertontonkan aksi yang menabrak etika kepantasan dengan menginjak-injak replika pocong gubernur. Dalam budaya kita, tindakan menginjak-injak kurang diterima sebagai sebuah sikap yang memenuhi pranata kepantasan.
Yah, pada akhirnya ada kesimpulan yang kurang enak untuk ditarik bahwa titik klimaks pada setiap aksi mahasiswa hanya sekadar robek, bakar, lempar, dan injak.
Tidak memberikan inspirasi yang pada gilirannya melahirkan keinsyafan kolektif publik bahwa pergerakan mereka adalah sikap politik yang perlu didukung. Sebab mereka –meminjam dan sedikit memodifikasi kalimat terkenal Pramoedya Ananta Toer– telah bertindak tidak adil sejak dalam pikirannya.
Akhirnya, teriakan mahasiswa hanya seperti peluru hampa yang menembak pikiran penguasa. Tak mempan. Suara mereka hanya menggetarkan tenggorokan mereka sendiri. Lalu hilang tertiup angin peradaban.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UNHAS – UHO