ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Memiliki luas wilayah kurang lebih 501 hektare menjadi alasan Pemerintah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) memekarkan Desa Wiau, Kecamatan Routa, sebagai desa definitif berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011.
Desa Wiau merupakan hasil pemekaran dari sebagian wilayah Desa Parudongka, Kecamatan Routa. Desa ini berbatasan dengan Desa Napooha, Kecamatan Latoma yang dimekarkan secara bersamaan dengan perda yang sama.
Baca Juga : Ini Penjelasan DPMD Terkait Penghentian Dana Desa di Konawe
Berdasarkan data penerimaan anggaran dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Konawe, sejak dikucurkannya dana desa dari pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada 2014 lalu, Desa Wiau tercatat sudah tiga kali menerima aliran dana tersebut yakni tahun 2017, 2018, dan 2019.
Tidak hanya dana desa, Desa Wiau juga menerima Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dengan rentan waktu yang sama.
Sejak munculnya isu desa siluman atau desa fiktif, ditemukan beberapa fakta yang menunjukkan bahwa pendefitifan 56 desa di Konawe termasuk Desa Wiau, diduga menggunakan perda bodong yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2011. Belakangan diketahui jika perda tersebut terbit tahun 2016 dan menggunakan tanggal mundur.
Bahkan perda tersebut diduga tidak pernah dilakukan pembahasan di DPRD Konawe.
Data Bagian Hukum Setda Konawe, Perda Nomor 7 tahun 2011 ini merupakan perda tentang laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (LPKD) dan bukan perda tentang pendefinitifan 56 desa.
“Perda ini tidak melalui mekanisme sesuai dengan aturan yang. Perda ini dibuat hanya untuk mendapatkan dana desa untuk desa-desa yang mekar di atas tahun 2014 setelah berlakunya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014,” kata Irvan Umar Tjong, Ketua LSM Projo Konawe.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa desa yang berhak menerima kucuran dana desa adalah desa yang definitif di bawah tahun 2014. Sementara desa yang definitif di atas tahun 2014 sudah tidak bisa mendapatkan aliran dana tersebut.
Fakta Desa Wiau
Sumber zonasultra.id yang meminta tidak disebutkan namanya menyebutkan, saat dimekarkan dari Desa Parudongka 2015 lalu, Desa Wiau hanya dihuni oleh 15 KK dan rata-rata bukan penduduk asli wilayah itu. Melainkan dihuni oleh penduduk dari luar Kecamatan Routa yang hanya sekedar lewat untuk bercocok tanam.
“Dana Desa muncul 2014. Nah saat itu di Konawe hanya sebagian saja yang dapat. Karena banyaknya keluhan tidak mendapat dana desa ini, akhirnya dibuatlah administrasinya seakan-akan 56 desa ini definitif tahun 2011,” ujar pria yang mengaku pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan itu.
Ironisnya, meski menjadi penerima dana desa tertinggi di Kabupaten Konawe, pembangunan di wilayah itu tidak ada.
Berdasarkan data pencairan di bendahara BPKAD Konawe, Desa Wiau pada tahun 2017 menerima kucuran dana sebesar Rp731 juta, dan 2018 kembali menerima dana desa sebesar Rp970 juta, sementara di 2019 lalu, sebesar Rp1,2 miliar. Total anggaran yang dikucurkan di desa ini sebesar Rp2,9 miliar.
Informasi dihimpun awak media ini, di wilayah itu hanya ada satu program penggunaan dana desa yang terealisasi, yaitu pengadan atap seng bagi 7 rumah yang ada di wilayah itu.
Sumber terpercaya menyebutkan jika saat ini desa tersebut sudah tidak memiliki penduduk, bahkan mantan kepala desa Wiau, Yulius sangat jarang berada di desanya.
Sejak dipersoalkannya 56 desa yang didefinitifkan menggunakan Perda Nomor 7 Tahun 2011, Pemerintah Daerah (Pemda) Konawe diminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali melakukan penataan desa.
Atas permintaan ini, Pemda Konawe langsung mengusukan penggabungan tiga desa atau dikembalikan ke desa induk, yaitu Desa Wiau dikembalikan ke Desa Parudongka, Desa Napooha dikembalikan ke Desa Anggowu, dan Desa Morehe digabungkan Desa Anggowu.
“Ada tiga desa yang kita usulkan dikembalikan ke induk, dan saat ini raperdanya sudah dibuat dan tinggal dimasukkan ke DPRD utuk dibahas dan disetujui,” kata Sekda Konawe, Ferdinan Sapan.
Sayangnya Ferdinan belum mau menjelaskan lebih jauh alasan pemerintah mengembalikan tiga desa itu ke desa induk.
Sementara Ketua Komisi I DPRD Konawe, Beny Setiyadi Burhan membenarkan jika raperda tentang penataan desa sudah masuk di DPRD dan sudah dibahas, namun raperda tersebut masih belum dilaksanakan karena masih ada telaah dari Kemendagri.
“Belum disetujui karena masih ada telaah dari Kementerian Dalam Negeri,” ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini saat dihubungi, Kamis (23/1/2020)
Baru-baru ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku telah menghentikan sementara aliran dana desa bagi 56 desa di Kabupaten Konawe yang definitif menggunakan Perda Nomor 7 tahun 2011.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, 56 desa itu tercatat sebagai desa baru yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-Desa Dalam Wilayah Kabupaten Konawe.
Baca Juga : Sekda Konawe: Penghentian DD 56 Desa untuk Perbaikan Administrasi
Sri menambahkan, tambahan itu mendapatkan nomor registrasi desa dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2016.
“Sehingga mulai 2017, desa itu mendapatkan alokasi dana desa,” ujarnya dalam rapat bersama Komite IV DPD di Gedung DPD Jakarta, Selasa (14/1), sebagaimana dikutif dari Republika.com. (A)
Kontributor: Restu Tebara
Editor: Jumriati