ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga kerap meminta sejumlah uang kepada warga yang hendak mengurus sertifikat tanah dengan dalih uang administrasi dan operasional pegawai.
Selain uang administrasi yang mencapai jutaan rupiah itu, warga juga diwajibkan membayar biaya pengukuran dan pemasangan patok batas tanah. Jika tidak maka petugas pertanahan menolak turun ke lokasi melakukan pengukuran.
Arif, warga salah satu desa di Kabupaten Konawe menuturkan, awalnya dirinya diminta menyiapkan berkas sebagai syarat mendaftarkan tanah miliknya seluas kurang lebih satu hektar untuk bisa mendapatkan sertifikat. Saat itu ia tidak diberi rincian biaya.
“Saat saya tanya berapa biayanya petugas BPN Konawe bilang, kalau untuk biaya patok dan administrasi pengukuran itu akan ditentukan oleh petugas yang akan turun mengukur, dan itu di luar dari biaya administrasi penerbitan sertifikat,” kata Arif yang enggan menyebutkan nama desanya.
Setelah berkasnya lengkap, ia diminta membayar biaya perjalanan pegawai BPN yang akan turun melakukan pengukuran sebesar Rp5 juta. Rinciannya 4 orang petugas pengukur masing-masing akan mendapatkan uang jalan sebesar Rp1.250.000.
Biaya tersebut belum termasuk dengan uang patok batas tanah sebesar Rp450 ribu, yang juga wajib dibayarkan.
Mendengar itu, Arif lantas mencoba menawar dan minta keringanan karena dirinya tidak memiliki uang sebanyak itu.
“Katanya kalau mau cepat ada sertifikatnya harus bayar segitu, supaya cepat diukur. Saya tanya lagi, bisakah kurang? Petugas BPN-nya bilang tidak bisa sambil pergi meninggalkan saya,” terangnya.
Berbeda dengan Jamal Ahmad, Kepala Desa Wawoone, Kecamatan Wonggeduku, Konawe. Kepada awak media, ia menjelaskan pada 2019 lalu pihaknya mengusulkan 200 bidang tanah untuk dibuatkan sertifikat melalui program redistribusi bidang tanah atau redis, namun sampai saat ini sertifikat tersebut belum juga keluar.
Kata Jamal, pihaknya sudah berulang kali mendatangi BPN Konawe meminta kejelasan sertifikat program redis atau yang dulunya disebut program nasional (Prona) itu. Namun kepala BPN maupun pejabat lainnya tidak pernah mau menemuinya tanpa alasan yang jelas.
“Setiap saya tanya itu sertifikat, pegawainya bilang masih ditanda tangan di kanwil provinsi, sampai sekarang alasannya begitu terus, padahal berkasnya selesai sejak tahun 2019,” ujar Jamal Ahmad
Berdasarkan informasi yang dihimpun awak zonasultra.id, untuk setiap satu bidang tanah yang diusulkan melalui program redis ini, pemilik tanah diminta membayar biaya administrasi mulai dari Rp250 ribu, hingga Rp1 juta. Dana tersebut disebut untuk biaya petugas pengukur tanah dari BPN, serta biaya patok batas tanah.
Kepala BPN Konawe Tejo Suryono belum mau memberikan keterangan terkait dugaan pungutan liar (pungli) ini. Saat awak media mendatangi kantornya, sejak Senin kemarin hingga Selasa (7/4/2020) hari ini, Tejo Suryono tetap menolak dimintai konfirmasi, padahal kendaraan dinasnya masih terparkir di depan kantornya.
“Itu yang mau tandan tangan di BPN provinsi sudah pensiun jadi kita masih tunggu siapa yang mau tanda tangan itu usulan,” kata salah satu petugas BPN yang enggan disebutkan namanya. (b)
Kontributor : Restu Tebara
Editor : Jumriati