ZONASULTRA.ID, RAHA – Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki wisata alam berupa gua-gua purba. Salah satunya Gua Liangkabori.
Destinasi wisata Gua Liangkabori ini terletak di Desa Liangkabori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.
Di dalam Gua Liangkabori terdapat banyak lukisan purba yang menegaskan gua ini sebagai peninggalan peradaban prasejarah.
Samada, Juru Pelihara Gua Liangkabori mengatakan, liangkabori memiliki arti lukisan, coretan, atau goresan. Di dalam gua ini terdapat lukisan manusia, perahu, matahari, kuda, rusa, babi hutan, anjing, kalajengking, ular, lipan, dan layang-layang.
Menurut Samada, kawasan Liangkabori memiliki luas kurang lebih satu hektare. Di dalamnya terdapat terowongan masuk sepanjang 80 meter serta tempat pengambilan air.
Selain Gua Liangkabori, terdapat gua lainnya, yaitu Gua Matanduno dan Gua Sugipatani. Di Gua Matanduno terdapat lebih banyak lukisan binatang bertanduk. Itulah alasan gua tersebut diberi nama Matanduno. Gua ini tidak memiliki terowongan.
Selanjutnya Gua Sugipatani. Tak seperti dua gua lainnya yang dipenuhi lukisan binatang, di gua ini hanya terdapat lukisan manusia dan layang-layang. Jumlahnya pun tak sebanyak lukisan di Gua Liangkabori dan Gua Matanduno.
Jarak Gua Matanduno dan Gua Liangkabori berdekatan, sedangkan Gua Sugipatani cukup jauh, sekitar 3 kilometer dari kedua gua tersebut.
Untuk mencapai kawasan gua, dari jalan poros Mabolu–Kontunaga kurang lebih 6 kilometer. Sedangkan dari Kota Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sekitar 17 kilometer. Kondisi jalan sekitar 80 persen mulus teraspal. Sisanya masih dalam kondisi kurang baik dan tidak teraspal.
Pengembangan Wisata Gua Liangkabori
Menurut Samada, Gua Liangkabori mulai dikembangkan menjadi objek wisata pada 1976 di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan Kemendikbudristek. Ia sendiri ditunjuk menjadi juru pelihara pada 1994. Tugasnya mendampingi pengunjung, membersihkan kawasan gua, dan menjaga gua.
“Pengunjung lumayan ramai, baik dari lokal, nasional hingga mancanegara. Hanya saja karena Covid-19, selama hampir dua tahun objek wisata ini minim pengunjung,” terang Samada ditemui baru-baru ini.
Ia juga menjelaskan tidak ada retribusi yang dikenakan kepada pengunjung wisata alam ini sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Pada era Ridwan Bae sebagai Bupati Muna, kata dia, pernah ada retribusi. Namun kini sudah tidak ada.
Sebelumnya juga sudah ada usulan ke pemda untuk menarik retribusi, hanya saja belum ada implementasinya. Artinya belum ada PAD yang masuk dari kawasan wisata gua tersebut.
Terkait pengembangan wisata Liangkabori ke depan, kata Samada, harus ada dukungan pemerintah kabupaten dan desa.
“Kemudian harus didesain seperti apa pengembangannya, misalnya mengadakan pembuatan layang-layang, kemudian layang-layang itu bisa disimpan di museum adat yang ada di Liangkabori, termasuk hasil tenunan kain Muna,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Desa (Sekdes) Liangkabori La Gele mengungkapkan, pada 2019 ada rencana pembuatan rumah tenun di kawasan Liangkabori, namun karena pandemi, rencana tersebut dibatalkan.
Ia juga menegaskan desa belum menganggarkan untuk peningkatan kawasan wisata. Penganggaran dana desa masih difokuskan pada penampungan air hujan dan jalan usaha tani.
Selain itu, kata dia, pihaknya kesulitan membicarakan soal pembangunan di desa. Pasalnya, di desa tersebut tiga kali kepala desa dijabat oleh penjabat (Pj).
“Semoga dengan hadirnya kades definitif bisa lebih memberikan perhatian dengan peningkatan wisata,” ujarnya. (*)
Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Muhammad Taslim Dalma