ZONASULTRA.COM, KENDARI – Matahari belum menunjukkan sinarnya. Pagi-pagi buta saat sebagian warga kota masih terlelap. Hasnati sudah mulai beraktivitas.
Ditemani kabut bersama karung dipunggung serta sarung tangan, perempuan 54 tahun itu meninggalkan rumah sederhananya di Kelurahan Puwatu, Kota Kendari, menuju “kantornya”, Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Puwatu, bersama dengan pemulung yang lain.
Tak ada meja, alat tulis atau komputer laiknya ruang kerja. Hanya tumpukan berton-ton sampah. Bagi Hasnati itu bukan sekedar sampah yang kotor dan bau.
Bagi Hasnati setiap timbunan sampah sangat berarti. Disana ada sumber penghidupan bagi dirinya dan keluarganya.
Ibu enam orang anak itu, sudah 25 tahun menggeluti pekerjaanya sebagai pemulung sampah. Setiap hari berbekal, topi lusuh, karung dan sepotong besi ditangannya.
Hasnati akan berjibaku memungut apapun yang bernilai. Botol plastik, potongan almunium, besi yang sudah berkarat, karet dan lainya dimasukan ke dalam karung. Setelah penuh, karung yang lain sudah siap untuk diisi.
Terik matahari yang membakar tubuh, serta bau busuk tidak membuat Hasnati menyerah.
Hasnati, melakukan pekerjaan yang bagi sebagian banyak orang dianggap pekerjaan kotor, pekerjaan yang hina dan pekerjaan yang berisiko tinggi karena rentan terkena penyakit dari sampah-sampah yang diangkutnya itu, demi kelangsungan hidupnya dan anak-anaknya.
“Kalau tidak bekerja seperti ini, saya dan anak-anak tidak bisa makan. Saya mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Apalagi suami lumpuh tidak bisa bekerja sejak tiga tahun yang lalu Apapun bisa dilakukan, yang penting halal,” kata Hasnati saat ditemui di TPAS Puwatu, Rabu (31/8/2016).
Kepada awak Zonasultra.com, Hasnati mengurai terpaksa melakukan memulung. Ia tak memiliki keterampilan yang cukup hingga tak bisa mencari pekerjaan yang layak karena semasa kecilnya tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
“Seingat saya saat itu usia saya 20-an tahun ketika mulai memulung. Awalnya ya terpaksa tapi sekarang saya geluti kalau rajin pendapatan lumayan dalam satu bulan untuk kebutuhan keluarga,” ujarnya.
Setelah seharian memungut sampah, sore harinya, ia baru pulang ke rumah dengan karung penuh berisi botol gelas bekas. Setibanya di rumah botol bekas tadi dibersihkan hingga siap dijual. Biasanya setelah sebulan, baru Hasnati menjual hasil mulungnya tersebut kepada pembeli yang langsung datang ke rumahnya.
Dari hasil memulung, dalam sebulan ia bisa mengumpulkan rupiah sekira Rp 1,6 juta.
“Kadang-kadang kalau bagus sebulan dapat banyak tergantung rezeki,” katanya.
Sering kali karena kelelahan bekerja tanpa kenal cuaca panas, maupun hujan, Hasnati didera rasa sakit. Terlebih saat ini ia kerap merasakan nyeri punggung akibat sering memikul karung yang berisikan sampah.
“Saya sebernanya sudah dilarang sama anak saya untuk kerja yang beginian. Tapi saya tidak mau merepotkan mereka, selagi masih bisa kerja,” ucapnya.
Ia menuturkan, sebenarnya ada anak laki-lakinya yang masih duduk dibangku SMP, yang sering diajak untuk membantu pekerjaanya. Tapi anak tersebut tidak mau. Alasannya malu sama teman-temannya kalau kerja seperti ini katanya.
Kegigihan dan ketangguhan Hasnati sebagai pemulung bukan tanpa sebab. Selain agar bisa bertahan hidup, menafkahi keluarga, perempuan paruh baya itu harus menyekolahkan dua anaknya. Dua anaknya itu ialah Ernawati, saat ini kuliah di Universitas Terbuka (UT) dan Muhammad Iqzal di SMPN 17 Kendari.
Bagi Hasnati, anak-anaknya bagaikan mutiara sehingga ia tetap berjuang mencari uang agar mereka bisa sekolah seperti anak-anak lainya. “Saya banting tulang, bekerja seperti ini agar anak-anak bisa jadi orang, paling tidak bisa sarjana seperti orang lainnya, jangan kayak ibunya yang hanya jadi pemulung. Saya rela tidak makan yang penting mereka tetap sekolah,” kata Hasnati dengan mata berkaca-kaca. (A)
Penulis: Ramadhan Hafid
Editor: Tahir Ose