ZONASULTRA.COM– Usia 74 tentu bukanlah usia produktif untuk bekerja keras bagi seorang manusia untuk mencari nafkah. Namun tidak demikian dengan kakek penjual sapu keliling ini. Namanya Wajib. Pria kelahiran 1942 di Salatiga, Jawa Tengah, ini tetap tegar dan bugar menjalani pekerjaan hari-harinya sebagai penjual sapu keliling di kota Kendari.
Dengan beralaskan kaki sandal jepit, pakaian lusung dan memakai kopiah di kepala, Wajib yang tanpa kendaraan apalagi tongkat, sehari-hari Wajib berjalan kaki berpuluh bahkan beratus kilo meter, menyisir jalanan Kota Kendari dengan pikulan sapu di pundaknya. Biasanya 10 sapu lidi dan 10 sapu lawa-lawa (ijuk) dipikulnya untuk dijual.
Wajib berjalan dalam diam, tidak ada teriakan menawarkan sapu dari mulutnya seperti penjual keliling pada umumnya. Dia hanya berjalan dan singgah jika ada warga yang memanggilnya. Puluhan tahun menjual sapu membuatnya sudah dikenal oleh warga Kendari dan beberapa menjadi langganan tetapnya.
Wajib memulai aktivitasnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore selama 6 kali dalam seminggu. Khusus pada hari Jumat dia tidak berjualan karena waktu itu digunakan untuk fokus beribadah dan menjadi masa istrahatnya. Tak bisa dibayangkan berapa kilo yang ditempuhnya setiap hari untuk menjual sapu jika berjalan selama sekitar 12 jam dan hanya berhenti pada saat makan siang.
“Kadang istirahat sebentar, terus jalan lagi. Paling lama berhenti hanya untuk makan siang di warung,” kata Wajib pada suatu siang yang terik di tepi jalan Mayjen S. Parman, Kemaraya, Kendari, Senin (12/4/2016).
Satu ikat sapu lidi dijualnya dengan harga Rp.10 ribu dan sapu ijuk yang terbuat dari dari pohon aren dijual Rp.25 ribu. Sapu-sapu tersebut dibelinya di sebuah tempat pemasok sapu di Kelurahan Wua-Wua, Kendari dengan harga Rp.5 ribu untuk sapu lidi dan Rp 10 ribu untuk sapu ijuk.
Dalam sehari, Wajib biasanya mampu menjual semua sapu yang dipikulnya. Keuntungan bersih yang didapatnya perhari paling sedikit Rp.50 ribu. Uang itu lebih dari cukup untuk hidup berdua dengan istrinya Sulastri yang berdiam diri di rumah menjalani masa tua.
Wajib mengaku tidak ada kiat khusus dalam menjaga kebugarannya, paling hanya karena rajin Shalat. Selain itu, di pagi hari dia juga hanya sarapan bubur kacang ijo dari penjual yang lewat depan rumahnya.
Kakek bercucu 4 itu datang di Kendari 1978 sebagai warga transmigrasi. Sejumlah pekerjaan pernah ditekuninya mulai dari bertani hingga berjualan ayam kampung.
“Pernah dagang ayam kampung tapi bangkrut,” ujar Wajib.
Pada tahun 1981, Wajib pun akhir memutuskan berjualan sapu di dalam Kota Kendari. Sehari-hari rute yang ditempuhnya yakni berangkat dari kediamannya di Kelurahan Wua-Wua menuju kampus lama pasca sarjana Universitas Halu Oleo (UHO), kemudian menyusuri jalan ke kampus baru UHO.
“Dulu jalanan belum teraspal, masih hutan-hutan sebagian,” kenangnya.
Selama 35 tahun berjualan sapu selalu aman-aman saja, tanpa gangguan orang yang mau berbuat jahat ataupun menjahilinya. Hari-harinya dilaluinya biasa-biasa saja walaupun telah banyak yang berubah wajah kota ini.
Pingin Naik Haji
Perkawinan Wajib dengan Sulastri (72) melahirkan 2 orang putra yakni Nurgiono dan Agus Gunawan. Kedua anaknya itu menetap di Kecamatan Konda, Konawe Selatan. Nurgiono kini menjadi guru SD pegawai negeri dan Agus gunawan menjadi buruh di pembuatan Batako.
Dari dua anaknya itu Wajib memiki 4 cucu, 2 dari Nurgiono dan 2 dari Agus. Untuk berkumpul dengan anak dan cucunya hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Di rumahnya, dia lebih banyak menghabiskan waktu berdua dengan sang istri.
Kerja kerasnya menjual sapu terbayar karena sudah berhasil menyekolahkan salah satu putranya. Nurgiono berhasil di sekolahkannya hingga menjadi guru.
“Saat itu Nurgiono masih SMA, terus lanjut sekolah, semua dari hasil jual sapu. Saat itu masih Rp.500 rupiah harga sapu,” kata Wajib.
Meskipun anak-anaknya sudah memiliki pekerjaan tetap, Wajib tidak mau menggantungkan diri pada anak-anaknya. Menurutnya, selama masih bisa berjalan maka ia bisa menghidupi dirinya sendiri dan Sulastri istrinya.
Selama 35 tahun menjual sapu, Wajib sedikit demi sedikit menyisihkan uang di celengan tabungannya. Hal itu tidak lain agar dia bersama istri bisa naik haji sebagai rukun Islam kelima. Hingga saat ini sudah Rp.41 juta berhasil dikumpulkannya. Namun dia belum tahu bagaimana menggunakan uang itu. Pendaftaran haji pun belum dilakukan.
“Hanya dikumpul-kumpul saja untuk naik haji tapi belum tahu bagaimana caranya,” ujarnya.
Niat itu pernah diutarakan kepada anak-anaknya hanya saja belum ada lagi waktu untuk membicarakannya kembali. Mungkin karena kesibukan masing-masing.
Penulis : Muhamad Taslim Dalma
Editor : Rustam