ZONASULTRA.ID – Suku Bajo merupakan etnis di Asia Tenggara yang hidup tak terpisahkan dari laut dan segala ekosistemnya. Ini terlihat dari kehidupan mereka sebagai nelayan dan rumah mereka yang selalu berada di wilayah pesisir.
Mereka tidak seperti suku bangsa lain yang banyak mengandalkan sumber penghidupan di darat. Dengan kemampuan menaklukan lautan, mereka bisa bertahan dan beradaptasi, bahkan juga menyuplai hasil laut untuk masyarakat di daratan.
Meski lautan sudah menjadi “rumah” bagi orang Bajo, tapi ternyata mereka sendiri tak bisa menjaganya dengan baik. Praktik pemboman ikan bagi nelayan Bajo menjadi hal biasa, padahal inilah yang menghancurkan ekosistem laut sumber penghidupan mereka.
Realitas tersebut menjadi potret masyarakat nelayan Bajo di Saponda, sebuah pulau yang berhadapan dengan Laut Banda. Wilayah ini masuk dalam administrasi Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Warga di pulau ini terbagi dalam dua desa yakni Desa Saponda Darat dan Desa Saponda Laut. Sebagai pulau dengan ukuran tergolong kecil seluas 7 hektare, Pulau Saponda sangat padat dengan jumlah penduduk sekitar 2 ribu jiwa yang terbagi dalam 400 KK.
Pulau Saponda mayoritas dihuni oleh Suku Bajo dengan persentase sekitar 80 persen. Penduduknya pun tidak lagi murni Bajo sebab telah ada proses asimilasi yang berlangsung puluhan tahun. Suku-suku dari berbagai wilayah Sulawesi Tenggara seperti Tolaki, Bugis, Muna, Buton, hingga suku dari Sulawesi Tengah (Banggai dan Menui) telah berkawin-mawin dengan penduduk lokal.
Denyut nadi penghidupan masyarakat pulau ini sangat bergantung pada hasil perikanan, sebab sumber daya pulau ini sangat terbatas. Daratannya yang hanya terbentuk dari pasir membuat tumbuhan terbatas pada tanaman seperti sukun, kelapa, pisang, pepaya, dan kelor.
Hal itu membuat hampir seluruh masyarakat Saponda bekerja sebagai nelayan dan yang berhubungan dengan pengolahan ikan. Ini juga membuat mereka sangat tergantung dengan cuaca dan sumber daya perikanan.
Berbagai cara penangkapan ikan mereka terapkan mulai dari memancing, memanah, budi daya dengan karamba, hingga menyelam dengan alat kompresor. Tak hanya itu, praktik menangkap ikan dengan menggunakan bom juga menyertai kebiasaan nelayan setempat.
Bom Tak Henti Menggores Lautan
Sinar matahari pagi tampak sayup-sayup di Pulau Saponda setelah malam hujan dan angin kencang di suatu hari awal Maret 2022. Sejak fajar menyingsing beberapa nelayan telah menyalakan mesin ketinting lalu berangkat dari tepi pantai.
Hanya berjarak 300 meter dari bibir pantai pulau Saponda, belasan perahu nelayan menyebar di arah barat laut. Tiba-tiba “brak” terdengar suara bom menggema dan menghamburkan air ke udara. Dentuman bom dari pelempar (sebutan untuk yang membom) memecahkan kesunyian pagi di tengah ombak yang tenang.
Suara bom diikuti suara bising mesin ketinting mendekat ke sumber ledakan. Para nelayan berperahu itu mendekati lokasi ledakan rupanya untuk memancing. Tujuan bom tadi hanya untuk mematikan kawanan ikan teri.
Kawanan ikan teri yang berserakan mengundang kawanan ikan yang lebih besar seperti ruma-ruma (nama lokal ikan kembung) untuk datang memakannya. Dengan begitu para nelayan jadi lebih mudah memancing karena mata kail mereka yang sudah dipasangi bulu mutiara warna-warni berada di antara ikan teri.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, hasil tangkapan dari metode demikian bisa meningkat berkali lipat. Jika tak menggunakan cara itu, sulit bagi nelayan pemancing menemukan kawanan ikan di antara dasar lautan yang minim karang.
Dasar laut dengan kedalaman 8 sampai 20 meter itu berpasir dan tidak ada rumpun karang, yang ada biasanya hanya lamun. Namun, bila ada karang tentu akan ikut hancur oleh bom.
Bom yang digunakan pun tergolong kecil berupa bahan peledak yang diisi dalam botol 600 militer (ml). Bahan peledak yang mereka gunakan perpaduan dari bahan pupuk yang dicampur dengan bensin, serta pentol korek api kayu.
Ledakan yang terdengar hingga ke seisi pulau ini tidak hanya pagi tapi juga terjadi pada sore hari. Dua waktu ini adalah saat di mana para nelayan keluar melaut. Mereka pun secara terang-terangan melakukan pemboman sehingga ledakannya terlihat dengan jelas dari bibir pantai.
Cukup mudah untuk mengenali adanya pemboman ini. Tandanya adalah banyak ikan teri yang berserakan dan banyak nelayan berkumpul dengan perahu masing-masing. Burung-burung pun juga banyak berkumpul mengitari para nelayan untuk memakan ikan teri yang telah berserakan di laut.
Ketika kawanan ikan ruma-ruma datang, mereka memilih hanya memancingnya. Bagi mereka ikan yang tergolong ke dalam genus Rastrelliger ini sangat sulit dibom, tidak seperti ikan jenis lain seperti ikan pogo (trigerfish), rambeng (nama lokal ikan pisang-pisang), dan ikan putih. Dari pengalaman para pelempar, ikan ruma-ruma kebal dengan ledakan dan hanya bikin kesal karena sedikit yang mati.
Bila hasil tangkapan para pemancing cukup banyak maka mereka akan memberikan jatah ke pelempar. Tak ada kesepakan soal persentase pembagian, sehingga jatah pelempar kadang tak diberikan bila hasil pancingan dianggap sedikit.
Suatu sore, awal Maret 2023, ketika penulis bersama seorang nelayan mengambil gambar dasar laut yang berjarak 250 meter dari Pulau Saponda, getaran dentuman bom sampai menggoyangkan perahu kami. Padahal titik pemboman begitu jauh, jaraknya sekitar 1 mil dari lokasi kami berada.
“Di dalam sini terasa sekali (gelombang dentuman) itu bom,” ujar nelayan tersebut yang baru saja menyelam untuk membantu penulis mengambil gambar karang.
Gelombang yang kami rasakan itu tergolong bom kecil seukuran botol. Bom yang lebih besar adalah sebesar jeriken 5 liter bersanding sebotol bom 600 ml. Bom ini gunakan untuk kawanan ikan putih atau beberapa jenis ikan air permukaan lainnya.
Karena menarget ikan dalam jumlah yang lebih besar, maka penggunaan bom jeriken ini di area tangkapan yang lebih jauh. Para pelempar ini bisa sampai ke perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan kadang juga sampai ke perairan Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Targetnya adalah 0,5 hingga 2 ton ikan atau lebih.
Biasanya mereka pergi berkelompok dengan jumlah 4 sampai 6 orang, minimal menggunakan dua perahu. Satu perahu yang cukup besar untuk memuat 1 hingga 2 ton ikan, sementara satunya lagi perahu kecil untuk muatan satu orang.
Selain bom, mereka menyertakan kompresor sebagai alat untuk menyelam. Sebab sebagian ikan yang tenggelam harus mereka ambil di dasar lautan. Dalam satu kelompok pembom, mereka berbagi tugas, ada yang berperan sebagai pelempar, pengumpul ikan di permukaan, dan ada yang menyelam.
Untuk melacak ikan, peralatan mereka sudah canggih yakni alat bernama fishfinder. Alat dengan frekuensi tinggi ini digunakan untuk melacak kumpulan ikan. Begitu kawanan ikan terlacak, seorang pelempar akan menaiki perahu kecil untuk melakukan pemboman.
Mereka akan sangat senang ketika menemukan kawanan ikan putih. Ikan berdaging putih ini salah satu jenis yang bernilai jual tinggi. Di pengepul, ikan ini dapat berharga Rp50 ribu per kilogram (kg). Jadi bila hasil bom mencapai 1 ton, pendapatan mereka bisa mencapai Rp50 juta.
Namun hal itu menurut mereka sangat jarang karena lebih sering bertemu dengan kawanan ikan jenis lain yang dihargai di bawah Rp30 ribu per kg seperti ikan rambeng, dan berbagai ikan berwarna lainnya. Bahkan ikan pogo hanya Rp5 ribu per kg. Dengan begitu, dalam sekali menggunakan bom jeriken, mereka bisa meraup Rp2 juta hingga Rp10 juta.
Kadang pula mereka pulang tanpa hasil sebab sepanjang jangkauan perahu, fishfinder tak menemukan kawanan ikan yang layak dibom. Jeriken-jeriken berisi bahan peledak pun kembali diangkut ke darat untuk digunakan pada hari berikutnya.
Pengakuan seorang pria (usia 50 tahunan), dirinya sejak berusia muda sudah melakukan pemboman ikan. Dia tidak jera meski pernah dua kali menjalani hukuman penjara karena kedapatan melakukan pemboman ikan.
Kebiasaan itu sulit dilepaskannya, meski kini lebih memilih memancing ikan tapi sesekali melakukan pemboman ikan dengan bom botol. Untuk pemboman itu dilanjutkan oleh salah satu putranya yang dibantu beberapa anggota keluarga.
Meski potensi pendapatan dengan bom menjanjikan rupiah besar, namun perekonomian keluarganya tetap sama saja dengan nelayan lain yang tidak menggunakan peledak. Menurutnya, bom hanya efisien saat mendapat kawanan ikan yang berharga tapi keunggulannya waktu untuk melaut tergolong tidak lama yakni hanya tiga sampai empat jam.
Penggunaan bom ikan hanyalah salah satu metode penangkapan ikan yang tidak terlepas dari risiko besar, misalnya apabila tertangkap oleh petugas. Risiko lainnya adalah kecelakaan di mana bom meledak di tangan hingga membuat anggota tubuh diamputasi, bahkan risiko terburuk adalah tewas.
Tak jarang di pulau itu, ditemui orang yang jarinya putus dan tangannya terpotong. Yang terparah ada salah satu warga yang kedua tangannya putus hingga tidak bisa melaut lagi. Pada akhirnya ada yang bertobat, ada yang tetap membom, sementara yang putus kedua tangannya membuka usaha kecil-kecilan berupa kios.
Pemboman Ikan Sejak Zaman Jepang
Dahulu, Pulau Saponda hanyalah tempat persinggahan nelayan Bajo yang berasal dari Pulau Dua dan Pulau Tiga, Sulawesi Tengah. Setelah tinggal beberapa hari, mereka lalu kembali lagi ke Sulawesi Tengah.
Antropolog Universitas Halu Oleo (UHO) Danial menceritakan pada zaman masuknya Jepang tahun 1942, sebagian Suku Bajo terlibat dalam laskar pejuang kemerdekaan Indonesia yang memerangi Jepang. Jepang kemudian melakukan operasi-operasi dengan masuk ke desa-desa termasuk memburu laskar pejuang.
Karena tidak tahu mana yang menjadi sasaran, maka Jepang secara sporadis melakukan penyerangan, tak terkecuali terhadap Suku Bajo di Sulawesi Tengah. Masyarakat Bajo pun takut anak-anak gadis mereka diambil secara paksa lalu dibawa oleh pasukan Jepang.
Pulau Saponda pun jadi salah satu pilihan bagi Suku Bajo untuk pelarian atau pengungsian. Sebagian lagi pergi ke wilayah pesisir Kota Kendari di Kampung Langi Bajo, yang kini masuk administrasi Kelurahan Kendari Caddi dan Kasilampe. Di dua kelurahan ini, nama Langi Bajo terabadikan jadi nama jalan dan nama masjid.
“Jadi ketika Jepang hengkang, orang-orang Bajo ini ada yang menetap dan ada yang kembali ke Pulau Dua dan Pulau Tiga di Sulawesi Tengah. Di situ mungkin awal-awal mulanya mereka mulai bermukim di Pulau Saponda,” tutur Danial di kampus UHO, 13 Maret 2022.
Kebiasaan Membom Ikan Terus Eksis
Terkait penggunaan bom oleh nelayan, Danial menemukan ada dua versi yang sama-sama bermula sejak masuknya Jepang ke Indonesia. Ada versi, bahwa awalnya nelayan Bajo disuruh membom ikan oleh Jepang untuk konsumsi pasukan mereka. Versi lainnya, suku Bajo yang tergabung dalam laskar pejuang membom ikan untuk kebutuhan konsumsi juga.
Setelah kemerdekaan, kebiasaan itu tetap terbawa. Jenis peledaknya kini pun sudah lebih bervariasi dibanding dahulu yang hanya mengandalkan bahan peledak dari amunisi. Kini peledak yang digunakan dari ukuran botol 150 ml hingga jeriken 5 liter.
Kebiasaan pemboman ikan ini terus eksis karena ada beberapa faktor pendukung. Magister Antropologi Lulusan Universitas Gajah Mada ini menjelaskan faktor pertama adalah nelayan yang dapat memperoleh pupuk dalam jumlah besar, padahal ini peruntukannya buat para petani.
Nelayan juga memiliki akses terhadap bubuk mesiu sebagai pelengkap dalam peledak. Dahulu nelayan mendapatkan mesiu dari sisa bom yang tidak meledak saat perang dunia II. Mereka mengambilnya di dasar laut lalu mengeluarkan bubuk mesiunya secara manual.
Faktor lain, Danial menyebut kemungkinan ada keterlibatan oknum aparat petugas dalam menyuplai bubuk mesiu ke para nelayan. Hanya saja soal ini masih perlu pembuktian kebenarannya.
Kemudian, hasil tangkapan ikan dengan bom dapat dengan mudah dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kendari. Ikan hasil bom terserap oleh pasar sebagai kebutuhan pangan sama seperti ikan bukan hasil bom.
Jika tak menggunakan bom juga nelayan lokal Saponda akan sulit bersaing dengan nelayan modern yang sudah menggunakan alat tangkap dengan volume besar. Misalnya nelayan bagan dari Kota Kendari yang ukuran kapalnya bisa mencapai 25 grosston (GT) dengan jaring lebih besar.
Faktor lainnya menurut Danial adalah persoalan ekonomi, di mana kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer. Misal salah satunya adalah kebutuhan akan pakaian yang bagus berubah jadi kebutuhan utama yang harus terpenuhi.
Tingginya kebutuhan primer itu berdampak pada naiknya kebutuhan ekonomi yang membuat masyarakat nelayan terpacu untuk meningkatkan pendapatannya. Pilihannya adalah menggunakan alat tangkap bom ikan yang potensi pendapatannya tinggi meski berbagai risiko menyertai.
Nelayan Semakin Terdampak Kerusakan Lingkungan
Akademisi Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan (FHIL) UHO Prof. Aminuddin Mane mengatakan penggunaan bom untuk menangkap ikan bukan hanya terjadi di wilayah Soropia dan bukan hanya oleh masyarakat Bajo.
Guru Besar Bidang Agroklimatologi ini mencontohkan di kampungnya sendiri, Binongko, Kabupaten Wakatobi. Masyarakat lokal (bukan Bajo) di Binongko melakukan pemboman ikan secara turun-temurun, yang pelakunya bukan saja masyarakat biasa tapi juka oleh tokoh di kampung itu.
“Saat masih SMP biasa saya ikut-ikut itu teman-teman pergi karena ada yang bom ikan. Setelah bom meledak, ikan-ikan itu mati lalu kita menyelam, nah di situ kita dapat. Jadi pulang itu, ful-ful (penuh) kita punya sampan,” ujar Aminuddin di Perumahan Dosen UHO, 15 Maret 2023.
Menurut dia, praktik bom ikan oleh masyarakat ini karena ketidaktahuan betapa berbahayanya terhadap ekosistem laut. Dalam sekali bom dapat membongkar terumbu karang yang begitu banyak. Padahal terumbu karang ini adalah rumah bagi ikan, yang bila rusak maka ikan akan menjauh ke rumah baru.
Berita Terkait :
Ironi Nelayan Bajo di Pulau Saponda: Lautan Jadi Tempat Bergantung Tapi Terus Dibom (Bagian II)
Dampaknya terhadap nelayan adalah makin lama ikan sasaran akan tambah jauh lokasinya sehingga berimplikasi pada pengeluaran nelayan untuk bahan bakar. Jauhnya wilayah tangkapan ini menambah risiko bagi nelayan berhadapan dengan cuaca ekstrem akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
Dia menjelaskan suhu di lautan semakin meningkat dan pola iklim sudah tidak menentu. Misalnya, tiba-tiba angin kencang memacu gelombang laut yang tidak normal sehingga berbahaya bagi nelayan. Selain itu, masih banyak dampak-dampak lain di mana salah satu yang paling merasakannya adalah nelayan, khususnya Bajo. (*)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma