Ironi Nelayan Bajo di Pulau Saponda: Lautan Jadi Tempat Bergantung Tapi Terus Dibom (Bagian II)

Ironi Nelayan Bajo di Pulau Saponda: Lautan Jadi Tempat Bergantung Tapi Terus Dibom (Bagian II)
NELAYAN SAPONDA - Para nelayan asal Pulau Saponda sedang menjalankan aktivitas melaut, 7 Maret 2023. Lokasinya sekitar 400 meter arah barat laut dari Pulau Saponda.  (Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.ID)

ZONASULTRA.ID – Hujan sehari menghapus kemarau setahun. Peribahasa ini kiranya cukup tepat untuk menggambarkan kondisi karang di perairan Pulau Saponda pada zona rehabilitasi. Bom ikan menghancurleburkan terumbu karang yang telah berhasil berkembang 10 tahun lebih.

Mulanya rehabilitasi karang sebelah selatan Pulau Saponda diinisiasi oleh Yayasan Bahari bekerja sama dengan nelayan setempat yang terhimpun dalam Kelompok Saponda Lestari Lingkungan. Upaya rehabilitasi dari yayasan itu mulai 2005 hingga 2007. Total sekitar 30 hektare kawasan perairan disepakati menjadi Daerah Perlindun

Upaya itu terus berlanjut karena beberapa kali turun program rehabilitasi terumbu karang dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Kadang DKP melakukannya sendiri dan pernah juga memakai jasa pihak ketiga untuk menjalankan program rehabilitasi karang itu.

Upaya bersama itu berhasil membangun ekosistem terumbu karang yang tak hanya bermanfaat bagi lingkungan laut tapi juga bagi ekonomi nelayan. Seiring berkembangnya terumbu karang, banyak ikan yang datang berseliweran dan berkembang biak. Para nelayan pun banyak membuat karamba di kawasan DPL tersebut.

Seorang nelayan Pulau Saponda berusia 80 tahun bernama Mboyo mengaku senang ada kawasan seperti itu karena dengan memancing atau memasang pukat saja dirinya sudah bisa dapat banyak ikan. Dia termasuk salah satu nelayan yang rajin menangkap ikan di sekitar area rehabilitasi dengan alat tangkap pancing dan pukat.

Dirinya bisa mendapatkan Rp200 ribu sampai Rp300 ribu hanya dengan sekali melaut di area rehabilitasi. Usaha masyarakat berupa karamba juga berkembang dengan adanya puluhan kotak karamba warga Pulau Saponda yang berisi lobster, kerapu, hingga ikan putih.

Namun sejak kawasan rehabilitasi itu dilepas oleh Kelompok Saponda Lestari Lingkungan pada awal 2022 lalu maka kerusakan mulai masif terjadi. Para nelayan melakukan pemboman karena melihat ikan yang banyak ditopang oleh terumbu karang.

Ironi Nelayan Bajo di Pulau Saponda: Lautan Jadi Tempat Bergantung Tapi Terus Dibom (Bagian II)
Seorang nelayan Pulau Saponda berusia 80 tahun bernama Mboyo di perahu miliknya, 28 Februari 2023. Meski sudah berusia lanjut, dia masih aktif melaut. (Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.ID)

“Sekalinya dilepas, hancurme (rusak), bom dibuang terus karena di situ memang banyak ikannya. Bahkan karang-karangnya mati karena bom. Ikannya tinggal sedikit,” ujar Mboyo dengan nada menyesalkan apa yang terjadi saat ditemui di kediamannya, 28 Februari 2023.

Apa yang dikatakan Mboyo tentang kerusakan terumbu karang di kawasan DPL itu memang benar adanya. Dari penelusuran penulis di lokasi, terdapat sisa-sisa beton wadah rehabilitasi karang yang hancur, tapi adapula hasil transplantasi yang masih tegak berdiri setinggi 40 sentimeter hingga 1 meter.

Ironi Nelayan Bajo di Pulau Saponda: Lautan Jadi Tempat Bergantung Tapi Terus Dibom (Bagian II)
Dasar laut dengan kedalaman sekitar 5 meter di kawasan rehabilitasi perairan Pulau Saponda, 6 Maret 2023. Tampak ada karang yang masih bagus (kiri) dan karang yang telah hancur (kanan).

Ikan-ikan besar juga sudah tidak tampak, yang ada hanya ubur-ubur dan ikan seukuran kelingking atau lebih kecil tapi jarang terlihat. Karamba yang ada tersisa empat, ini pun ada yang kosong dibiarkan begitu saja.

Kelompok Lepas Tangan, Karang Hancur

Salah satu penyebab rusaknya kawasan rehabilitasi karang itu adalah Kelompok Saponda Lentari Lingkungan yang mulai lepas tangan dalam penanganannya. Kelompok yang terdiri dari 30 orang masyarakat Saponda inilah yang dulunya terlibat dalam pembuatan wadah transplantasi dan penanaman terumbu karang.

Kelompok ini menyerahkan penanganan kawasan itu ke pihak Pemerintah Desa Saponda Darat dan Desa Saponda Laut pada 2022 yang lalu. Namun pemerintah desa tidak aktif mengawasi sehingga terjadi pengrusakan, apalagi mereka belum menemukan landasan untuk penganggarannya melalui dana desa.

Ketua Saponda Lestari Lingkungan Habrin (46) mengungkapkan alasan kelompoknya lepas tangan karena tak ada lagi dukungan program rehabilitasi. Program biasanya dari pihak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan dari pemerintah yang selalu melibatkan masyarakat.

Padahal, menurut dia, hasil rehabilitasi karang itu membuat ikan berkembang dengan baik. Hasil itu terlihat setelah 6 tahun berjalannya program. Manfaatnya pun dapat dirasakan oleh masyarakat yang menggunakan alat tangkap pancing dan pukat.

Dengan begitu, dari yang awalnya hanya 10 orang aktif di kelompok, kemudian bertambah banyak hingga mencakup sebagian besar masyarakat Pulau Saponda. Kawasan juga dapat dijaga bersama karena banyak para nelayan yang membudidayakan ikan melalui karamba di lokasi rehabilitasi.

“Hasilnya memang bukan ikan banyak tapi lebih lagi. Tapi masyarakat tidak ada kepuasannya, ibarat kebun kan ini sudah kelihatan buahnya jadi mereka tidak ada kesabarannya mau petik itu buah (dengan bom). Jadi tidak ada lagi artinya itu,” ujar Habrin di kediamannya, 1 Maret 2023.

Apa yang dikatakan Habrin juga senada dengan Kepala Desa Saponda Laut, Taris. Sebelum dilantik manjadi kepala desa pada Desember 2022 lalu, Taris juga aktif dalam kepengurusan Saponda Lestari Lingkungan.

“Dulu waktu kita jaga, kita lihat itu bagaimanakah, perkembangan ikan luar biasa. Lebih 10 tahun tidak dikorek-korek toh. Bahkan orang berlabuh pun kita kunjungi karena ada terumbu karang yang kita jaga di situ,” ujar Taris di kediamannya, 4 Maret 2023.

Namun karena tak diawasi lagi oleh kelompok dan bertepatan dengan momen politik jelang pemilihan kepala desa pada pertengahan 2022 lalu maka warga dengan leluasa masuk membom kawasan. Hanya kurang lebih selama satu pekan, kawasan rehabilitasi itu dibombardir yang membuat usaha selama 10 tahun sia-sia.

Kawasan perairan Pulau Saponda itu sebenarnya sudah masuk dalam Kawasan Konservasi Teluk Moramo berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (RI) Nomor 22 Tahun 2021. Dalam Kepmen itu ditetapkan perairan Teluk Moramo dan pulau-pulau kecil sekitarnya (salah satunya Saponda) sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD).

Dalam keputusan itu selain menetapkan Pemerintah Provinsi Sultra sebagai pengelola kawasan juga ada penetapan zona inti dan zona pemanfaatan terbatas. Perairan Pulau Saponda masuk dalam zona pemanfaatan terbatas yang di dalamnya ada zona rehabilitasi dan zona daerah perlindungan laut.

Ironi Nelayan Bajo di Pulau Saponda: Lautan Jadi Tempat Bergantung Tapi Terus Dibom (Bagian II)
Peta Penetapan Kawasan Konservasi di Perairan Teluk Moramo dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan RI Nomor 22 Tahun 2021. Perairan sebelah selatan Pulau Saponda masuk dalam kawasan Zona Rehabilitasi (ZL.01) dan Zona Daerah Perlindungan Laut (ZL.06.1).

Pejabat Fungsional Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sultra, Ishaq Warsandi mengakui bahwa Pemerintah melalui DKP belum efektif melakukan pembinaan, pengawasan, monitoring, dan lain sebagainya karena Satuan Pengelola Kawasan Konservasi masih melekat di DKP pada bagian Seksi Konservasi. Padahal, seharusnya satu kawasan konservasi dikelola oleh satu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).

Ishaq menjelaskan saat ini DKP menangani seluruh kawasan laut Sultra, apalagi ada 10 KKPD di provinsi ini. Masalah yang ada adalah terbatasnya anggaran dan personel. Misalnya di Seksi Konservasi hanya ada 7 orang, ini jumlah yang sangat kecil.

“Kalau misalnya ada satu UPTD untuk Teluk Moramo pasti khusus dan lebih fokus untuk mengawasi, monitoring, dan pembinaan. Pasti lebih terjaga kawasannya, kalau sudah begitu pasti sumber dayanya aman sehingga alam akan memberbaiki dirinya sendiri, yang pada akhirnya ikan akan melimpah,” ujar Ishaq di ruang kerjanya, 14 Maret 2023.

Terkait problem penggunaan bom ikan di Saponda, Ishaq mengakui DKP kesulitan menanganinya. Pembinaan sudah dilakukan tapi tidak ada perubahan. Dari informasi yang diterima DKP, tidak semua masyarakat Saponda melakukan pemboman ikan tapi hanya sekitar 20 pelaku yang aktif membom.

Menurut Ishaq masalah illegal fishing di Saponda ini memang kompleks, mulai dari tersedianya bahan peledak yang tak terdeteksi petugas. Selain itu, masyarakat setempat juga enggan melarang penggunaan bom.

Butuh Pendampingan Terus-menerus

Antropolog Universitas Halu Oleo (UHO) Danial memastikan penghentian penggunaan bom ikan pada masyarakat Saponda bukanlah hal yang mustahil. Sebab salah satu kawasan di Perairan Laonti, Konawe Selatan pernah bersih dari bom.

Masyarakat pesisir yang aktif melakukan pemboman ikan didampingi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Para pelaku bom diedukasi dan alat bom diganti dengan alat tangkap lain.

Hasilnya, kawasan perairan bersih dari praktik bom. Namun karena pendampingan LSM itu berhenti maka sebagian yang sudah dibina kembali melakukan pemboman ikan.

“Karena kurang atau putus perhatian jadinya begitu. Akhirnya semangat untuk berubah lemah lagi dan kembali lagi membom,” ungkap Danial di Kampus UHO, 14 Maret 2023.

Oleh karena itu kata Danial, program berkelanjutan dan intens jadi solusi untuk penghentian penggunaan bom. Selain itu, pihak pemerintah, institusi pendidikan, para peneliti, non-governmental organization (NGO), pemerintah desa, sampai kelompok terkecil di masyarakat perlu bekerja sama menangani masalah ini. (*)

Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini