Jejak Sejarah Benteng Latugho dan Penyebaran Agama Islam di Muna

Jejak Sejarah Benteng Latugho dan Penyebaran Agama Islam di Muna
MAKAM - Makam Sangia Wadulao dan ibunya Sangia Rimbi yang terletak didesa Wadolao kecamatan Marobo. (Nasrudin/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, RAHA Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) menyimpan kekayaan sejarah yang tak kalah eksotis dengan daerah lain di Tanah Air. Jejak sejarah daerah penghasil jagung ini membekas tersebar di beberapa pelosok wilayah.

Bahkan jejak sejarah itu menjadi cerita yang tetap lestari hingga turun temurun. Salah satunya benteng Latugho sebagai bukti peradaban Kerajaan Muna yang terletak di Desa Wadolao, Kecamatan Marobo.

Berada di tepi barat Pulau Muna, dengan jarak puluhan kilometer dari Kota Raha, benteng ini merupakan jejak sejarah peradaban Kerajaan Muna pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1671 hingga 1716 silam.

Memiliki panjang sekitar 270 meter, benteng ini membentuk huruf U menjulur ke laut. Nampak kokoh berada di atas tebing yang didominasi bebatuan cadas membentang hampir memenuhi wilayah tersebut.

Benteng yang diperkirakan memiliki luas 5 hektare itu terbentuk dari susunan bongkahan batu memiliki lebar 3 meter dengan ketinggian mencapai 4 meter. Namun susunan batu itu kini tak utuh lagi, nampak semua sisi sudah roboh.

Saat berkeliling dalam benteng yang disakralkan masyarakat sekitar, kondisinya nyaris tak nampak karena di area benteng dipenuhi berbagai jenis tanaman seperti jagung dan jati, serta tanaman lainnya yang kini dijadikan kebun oleh masyakat sekitar.

Bahkan pagar benteng sudah ditutupi tanaman liar karena memang tak terawat. Kondisi benteng nyaris tak berbentuk lagi, hampir semua sisinya runtuh. Hanya beberapa bagian saja yang masih berdiri.

Penjaga situs makam Kerajaan Muna di Wadolao, Laode Alimin saat ditemui awak zonasultra.id pun menceritakan kondisi benteng Latugho dan keberadaan makam terpanjang di Muna. Makam itu milik Wa Sope, istri dari Sangia Latugho dan anaknya Laode Hasani atau Sangia Wadolao yang kini dijadikan sebagai nama desa setempat.

Kata Alimin, benteng Latugho dibangun sekitar abad ke-17 silam, di masa Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Laode Abdul Rahman atau dikenal Omputo Sangia Latugho. Omputo memiliki istri bernama Wa Sope dan anaknya Laode Hasani Omputo Sangia Wadolao.

Tak ada tanda signifikan peninggalan kerajaan seperti gapura, hanya ada susunan batu. Benteng ini nyaris punah ditelan waktu. Tak terawat dan seperti dilupakan. “Benteng ini bertahan karena di dalamnya ada makam Raja Muna yang juga merupakan leluhur kami,” terang Laode Alimin ditemui Senin (25/2/2019).

Baca Juga : Balai Cagar Budaya Tinjau Benteng di Butur

Dalam kawasan benteng terdapat gua sepanjang 70 meter menjulur hingga ke laut. Mulut gua cukup sempit hanya bisa dilalui satu orang. Dalam gua itu, hidup seekor buaya kuning. Kata Alimin, sesekali buaya itu muncul dan menampakan diri di area benteng. Keberadaannya disakralkan.

Makam Wa Sope Diklaim Terpanjang di Muna

Keberadaan benteng Wadoalo hingga kini masih dikenang karena di area benteng terdapat makam Raja Sangia Wadolao atau Laode Hasani dan ibunya Wa Sope atau Omputo Rimbi yang diklaim makam tertua dan terpanjang di Muna.

Makam Omputo Rimbi memiliki panjang 3,3 meter. Hal ini menjadi bukti jika peradaban manusia saat itu memiliki tinggi badan di atas tiga meter. Makam ini juga diklaim merupakan terpanjang di Muna. Sementara makam Sangia Wadolao memiliki panjang sekitar 3 meter. Kedua makam disakralkan karena merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di tanah Muna.

Jejak Sejarah Benteng Latugho dan Penyebaran Agama Islam di Muna

Ada pemandangan menakjubkan saat mengujungi makam Omputo Sangia Wadolao. Berada di atas endapan bebatuan cadas, sekilas tak ada yang istimewa. Namun berdasarkan penjelasan dari Alimin, makam raja itu tetap bersih sejak beberapa tahun terakhir, padahal di sekitar makam dikelilingi pepohonan. Bahkan rumput liar pun enggan tumbuh.

“Ini sudah beberapa tahun belum dibersihkan. Saya juga heran, kalaupun ada rumput yang tumbuh, itu tak sampai 10 cm dan langsung mati. Ini sudah terjadi sejak masyarakat mendiami tempat ini,” kisahnya.

Tak jarang kondisi itu pun membuat takjub para peneliti saat menjejakkan kakinya di tanah Wadolao. Dia mengurai sejak tahun 2005 banyak peneliti dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari mancanegara seperti Australia yang meneliti soal usia makam Sangia Wadolao.

Sama halnya dengan makam istri Omputo Latugho, Omputo Rimbi yang diklaim merupakan makam tertua dan terpanjang capai 3,3 meter. Makam ini dibangunkan fondasi dengan luas 9×7 meter persegi. Di atas makam nampak bersih namun di sekelilingnya ditumbuhi rumput liar.

Berbau Mistis

Benteng tua itu pun tak lepas dari cerita mistis. Mulai dari cerita keberadaan puluhan guci gaib berisi emas yang ditemukan melalui semedi salah satu warga setempat. Hingga bau wewangian ketika berada di lingkungan benteng. “Kalau kita berada di lokasi malam hari pasti mencium bau wangi yang bisa membuat bulu kuduk berdiri,” ucap Alimin.

Kalau soal cerita guci yang dipenuhi emas, hal itu dialami saudaranya almarhum Laode Fahidi. Sebelum meninggal dunia Fahidi mengaku mendapat harta karun kerajaan berupa 40 guci berisi emas.

Namun karena dia melanggar perjanjian dengan mahluk astral yang diduga penghuni benteng, maka nyawanya pun menjadi taruhan. “Saya lihat sendiri kakakku, sebelum meninggal dia kesurupan. Katanya dipukuli penjaga benteng. Dia seperti ditampar namun tak nampak,” kisahnya.

Sehari setelah kejadian itu, nyawa saudaranya itu tak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia. Peristiwa itu sontak menghebohkan warga sekitar karena dinilai di luar nalar manusia.

Kejadian sama juga dialaminya. Dia didatangi sesosok mahluk astral dalam tidur dan itu terjadi setiap malam Jumat. “Bahkan pada menjelang magrib saya pernah melihat sesosok masuk ke area benteng. Saya perhatikan dia bukan warga setempat, lalu beberapa saat dia hilang dari pandanganku,” ceritanya.

Penyebaran Agama Islam di Muna

Kisah penyebaran agama Islam di Muna juga pernah tercatat di benteng Latugho yang diprakarsai oleh Syekh dari Arab bernama Saidi Raba.

Bermula dari kecemasan sang raja Sangia Latugho yang belum juga dikaruniai seorang anak untuk meneruskan kepemimpinannya. Dia gundah karena sang istri sudah memasuki usia uzur 90 tahun dan raja berusia 63 tahun. Dia yakin istrinya itu tak mungkin bisa hamil.

Lalu tersiar kabar soal kemampuan Syekh dari Arab itu yang memiliki karomah. Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk meminta pertolongan Saidi Raba agar membantunya memiliki keturunan.

Usai bertemu raja Saidi Raba pun mengajukan beberapa permintaan. Yakni omputo mesti menjalankan ajaran Islam secara kaffa dengan menunaikan salat tahajud setiap malam serta berpuasa selama 40 hari penuh.

Selain itu, memerintahkan semua warga kerajaan untuk melaksanakan salat Jumat di masjid serta diberi kebebasan mengajarkan Islam di lingkungan Katano Wuna.

Sang raja menyanggupi permintaan tersebut. Saidi Raba pun beriktiar seraya memanjatkan doa kepada Allah SWT. Tak lama kemudian Omputo Rimbi akhirnya dimandikan oleh Saidi Raba. Keajaiban pun terjadi. Omputo Rimbi yang awalnya sudah berpenampilan tua tiba-tiba berubah menjadi gadis cantik.

Selanjutnya Saidi Raba meminta Rimbi untuk memperhatikan matanya. Jika air matanya menetes di bagian kanan pertanda raja akan dikarunia seorang anak laki-laki. Bila di sebelah kiri berarti perempuan namun jika menetes dua kali berarti kembar.

Tak berapa lama Saidi Raba melakukan ritual, Omputo Rimbi pun hamil dan melahirkan anak laki-laki kembar yang diberi nama Laode Hasani dan Laode Husain. Mendengar kabar itu, raja merasa bahagia dan memberikan kebebasan penuh kepada Saidi Raba untuk menyebarkan agama islam di lingkungan kerajaan. (*)

 


Kontributor: Nasrudin
Editor: Jumriati

3 KOMENTAR

  1. Waktu SMA pernah juga meneliti tntg masuknya islam di Muna. Tapi agak beda ceritanya.. dan lokasinya di masjid kediri Lohia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini