Kabhanti Gambusu, Berpantun Diiringi Petikan Gambus

Kabhanti Gambusu, Berpantun Diiringi Petikan Gambus
Kolase foto pementasan kabhanti gambusu sebagai seni bernyanyi dan bermusik yang berkembang dalam masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra). Kesenian ini dapat dijumpai di wilayah seperti Buton, Baubau, Buton Tengah, Buton Selatan, Buton Utara, Wakatobi, dan Muna. (Foto: Istimewa)

ZONASULTRA.ID – Kabhanti Gambusu merupakan seni bernyanyi dan bermusik yang berkembang dalam masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra). Kesenian ini dapat dijumpai di wilayah seperti Buton, Baubau, Buton Tengah, Buton Selatan, Buton Utara, Wakatobi, dan Muna.

Khusus pada masyarakat Muna terdapat ragam tradisi lisan dalam bentuk kabhanti yang sering dipentaskan. Salah satunya kabhanti gambusu ini.

Kabhanti terdiri atas dua kata yaitu “ka” dan “bhanti”. Ka berarti keadaan, sedangkan bhanti berarti menyindir atau memantun. Sehingga kabhanti kerap diartikan sebagai syair, nyanyian atau pantun.

Sementara “gambusu” merujuk pada alat musik petik yakni gambus. Alat musik ini mirip kecapi yang berasal dari Arab.

Selain kabhanti gambusu, khabanti lainnya yang juga berkembang di dalam masyarakat Muna ada kabhanti kantola, kabhanti watulea, dan kabhanti modero.

Keempat kabhanti ini merupakan bagian dari kabhanti wuna. Disebut demikian karena bahasa yang digunakan saat ber-kabhanti adalah bahasa Muna.

Muhammad Razab, penggiat seni di Lawa, Muna Barat, mengatakan, kabhanti gambusu adalah salah satu tradisi lisan di mana pelakunya berpantun dengan diiringi petikan gambus yang diharmonisasikan dengan suara botol kaca kosong yang dipukul menggunakan sendok.

Tradisi kabhanti gambusu ini kerap ditampilkan dalam berbagai acara seperti pernikahan, khitanan, pingitan, akikah, dan acara lainnya.

Menurut Razab, tak ada larangan pasti untuk melakukan kabhanti gambusu ini. Siapa saja bisa asal betul-betul mengetahui pantun yang dilantunkan dan bisa memainkan alat musik gambus tersebut.

Razab melanjutkan, pelaku kabhanti memang semakin berkurang. Bahkan kabhanti kantola dan kabhanti watulea sudah jarang terdengar lagi. Hanya kabhanti gambusu dan kabhanti modero yang masih ada sampai sekarang, walaupun juga sudah tidak seramai dulu.

Salah satu maestro kabhanti gambusu, Zainuddin, mengaku pelantun kabhanti gambusu memang sudah berkurang. Apalagi, banyak anak muda sekarang yang enggan mempelajari tradisi ini.

Meski begitu, menurutnya kabhanti gambusu masih akan tetap punya tempat di hati masyarakat. Terbukti ketika dirinya tampil melakukan kabhanti gambusu, masih banyak penonton yang tertarik menyaksikannya.

“Saya rasa ini (kabhanti gambusu) masih akan berkembang, saya juga masih sering dipanggil di acara-acara, seperti acara pernikahan untuk tampil,” ujarnya, Kamis (16/11/2023).

Ia mengakui untuk melantunkan kabhanti gambusu ini memang tidak mudah. Harus ada formula tersendiri agar pantun yang dilantunkan itu bisa mengundang ketertarikan penonton.

Ia pun mencontohkan beberapa formula pantun yang dilantunkannya dalam bahasa Indonesia:

“Darimana asal pangkalan jikalau bukan dari bangunan.

Darimana asal kenalan jikalau bukan dari senyuman.”

“Bagaimana ku tidak dingin, pagi-pagi mandi di kali.

Bagaimana ku tidak ingin, kulihat Nona cantik sekali.”

Mengikuti perkembangan zaman, Zainuddin punya cara tersendiri untuk membuat kabhanti gambusu tetap berkembang. Ia memadukan gambus dengan musik organ atau yang lebih dikenal dengan sebutan elekton.

Ia bertugas memetik gambus, sedangkan kedua anaknya masing-masing bertindak sebagai penyanyi atau yang ber-kabhanti dan satunya lagi memainkan elekton.

Sejarah dan Nilai-Nilai dalam Kabhanti Gambusu

Tak ada yang tahu pasti sejarah masuknya kabhanti gambusu ke daerah Muna. Namun, diyakini tradisi ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka atau sejak zaman penjajahan Belanda.

Dalam penelitian yang dilakukan La Sudu (2012), saat menyelesaikan program magister di Program Studi Ilmu Susastra Peminatan Budaya Pertunjukan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, mendapati kabhanti gambusu dimulai sejak zaman pemerintahan Raja Muna, La Ode Dika (1928-1942).

Pada masa pemerintahan La Ode Dika ini diyakini lahirlah nyanyian/kabhanti yang menceritakan tentang Kota Muna. Nyanyian rakyat itu sampai sekarang menjadi ingatan kolektif para tetua suku Muna.

Budayawan Sultra Syahrun mengatakan, seperti kabhanti modero, kabhanti gambusu juga harus perlu ada campur tangan pemerintah daerah agar tradisi ini tetap lestari. Salah satunya dengan rutin menggelar event lomba atau pertunjukan kabhanti

Masih dalam penelitian La Sudu, ada beberapa nilai yang terkandung di dalam kabhanti gambusu.

Pertama nilai kebersamaan. Hal ini terlihat bahwa dalam kabhanti gambusu tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja, tetapi mencakup beberapa orang bahkan sekelompok masyarakat.

Dengan keahliannya masing-masing mereka mampu menghasilkan nyanyian musik gambus yang enak didengar oleh para pendengar yang berada di tempat terlaksananya tradisi tersebut.

Kedua nilai estetika dari keindahan pelaksanaan tradisi kabhanti gambusu. Hal ini terlihat dari segi botol kaca yang dijadikan alat musik dengan bantuan sendok dapur dapat menghasilkan irama yang sejalan dengan musik gambus yang dimainkan.

Nilai berikutnya adalah nilai etika. Dari isi pantun yang dinyanyikan ada nilai etika yang disampaikan untuk para pendengar pantun. Dari sisi tersebutlah kita dapat mengambil etika-etika yang patut diikuti atau diteladani oleh para masyarakat, terutama generasi muda.

Berikutnya nilai percintaan. Khabanti gambusu diketahui digunakan juga sebagai sarana pengungkapan perasaan cinta muda-mudi.

Terakhir nilai nasehat. Kahbanti gambusu digunakan sebagai alat untuk mendidik atau memberi nasehat.

Kabhanti Gambusu Tak Hanya di Muna
Kabhanti Gambusu, Berpantun Diiringi Petikan Gambus
Mestro kabhanti gambusu, Sarfin Smada saat tampil di Berlin Jerman pada 17 Desember 2022. (Foto: Istimewa).

Kabhanti gambusu pada masyarakat Muna identik dengan kabhanti gambusu yang ada di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah. Selain memiliki bahasa yang mirip, irama yang dimainkan juga sama.

Hal ini diakui oleh penggiat seni kabhanti gambusu di Mawasangka, Sarfin Smada. Muna dan Buton Tengah memiliki kesamaan tempo ketukan yakni birama 4 per 4 dan rata-rata memiliki tempo cepat.

“Isinya biasanya berupa pantun, dan bisa sajak-sajak saja. Kalau pantun sampiran a-b-a-b tapi kalau sajak-sajak, itu penyanyinya menciptakan saat dia menyanyi, bukan dikonsepkan di buku,” ujar Sarfin.

Sarfin sendiri pernah mementaskan kabhanti gambusu di Berlin Jerman pada 17 Desember 2022 dalam acara Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia (IASI). Pada saat itu Gubernur Sultra Ali Mazi membawa misi promosi kebudayaan Sultra di Jerman.

“Performa di sana dekitar 10 menit lebih karena saya disuruh tambah dari yang direncanakan satu lagu. Ketika diminta tambah lagi, yang sudah saya menyanyikan tanah Wolio,” ujar Sarfin yang juga guru di SMAN 1 Mawasangka.

Agar seni Kabhanti Gambusu terus eksis, Sarfin saat ini banyak mengajari siswa-siswanya melalui ekstrakurikuler. Baginya, seni musik ini tidak boleh hilang dan harus terus hidup di tengah masyarakat. (***)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini