ZONASULTRA.COM, RUMBIA – Puluhan orang yang terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa hingga nenek-nenek terkumpul di rumah milik Hema, warga Desa Pangkuri, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Kamis 17 November 2016. Mereka berkumpul untuk bersama-sama mendaki ke Bukit (Tangkeno) Wawolesea.
Pendakian ke Tangkeno Wawolesea itu direncanakan dilakukan pada malam hari usai sholat Isya atau sekitar pukul 20.05 Wita. Saat waktu yang ditentukan telah tiba, kemudian serombongan meninggalkan rumah dan mendaki dengan membawa sejumlah perbekalan yang akan dipergunakan semalam.
Menurut Hadasyiah Binti Nuali (70-an tahun), di Tangkeno Wawolesea diyakini terdapat jejak kaki dan bendera Tongki Mpu’u Wonua saat pertama menapakkan kakinya di bumi Moronene.
Sekitar 15 menit kemudian tibalah kami di puncak bukit Wawolesea, sebab jarak antara rumah dan puncak bukit itu hanya berkisar 150 meter. Setibanya di puncak, semua perbekalan segera disimpan di bawah tenda berukuran enam kali empat yang telah dibangun pada siang harinya.
Di bawah sorot lampu charger yang dibawa oleh Amirullah (38 Tahun), semua perbekalan itu digelar seperti tikar, karpet dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk melakukan ritual.
Tidak terlupa, selembar kelambu yang telah dipersiapkan dari rumah, juga segera diikat untuk tempat khusus bagi Hadasyiah yang akan menuturkan Kada.
Kada adalah sebuah sastra lisan etnis Moronene yang menceritakan tentang sejarah masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Tak lama berselang, sekitar pukul 21.45 Wita lamat-lamat terdengar seolah menggumam nan merintih, tetapi sangat jelas bahwa tuturan Kada telah dimulai.
“Na pedawaa safe ho’olo, hoo’oko tokaa bindari, iiy co’o bindari pole’e le, iko hulu po’oo’afa, Aku bindari mpe’aba, Aku hulu mpekuai, Iy coo bindari potuluno hulu pontutuulura”.
“Tersebutlah ini sebuah lampu, lilin yang dinyalakan, kamu adalah lilin pengantar, lampu pemberitahuan. Saya lampu pertanda memohon izin, saya lampu penerang dan kamulah lilin penghantar untuk bercerita”.
Syair-syair itu seketika terdengar membelah membahana di belantara puncak Bukit Wawolesea. Suara merdu milik Hadasyah itu, tiba-tiba saja menggema beberapa saat setelah melakukan ritual.
Dilanjutkan pula pada bait selanjutnya, masih dengan suara halus seolah merintih Hadasyiah melontarkan kalimat “Ano arii mpumainaako’ Oomo I ira ndonia eleo bawangi te’o daa to’o , Peka ombo membulaamo molinya laro, O’oo denaa roronge iiy ntaa moodedeaho, unggo olono po’ita tontono pompena, wuu’u rambisako amala nantano pe’ala kai osie kawa keba hai apua.
Yang terjemahannya adalah “baru saja mereka datang dari bawah langit, terjaga dan terbuka mata hati, yang akan menyimak dan mendengarkan yang diantarai oleh permintaan berupa persyaratan ritual yang telah ditentukan sehingga tertolak segala bala yang datangnya dari Yang Maha Kuasa”.
Kalimat di atas menunjukkan bahwa sebelum penutur Kada mengucapkan syair-syair yang hendak disampaikan kepada pendengar, maka terlebih dahulu dilakukan sebuah ritual yaitu menyalakan tujuh buah mata lampu, berbahan sobekan kain putih berbungkus ‘taru’ yaitu lelehan sarang lebah yang telah dikukus dan menghasilkan bekuan berunsur gas, serupa dengan lilin.
Selain itu terdapat pula bahan lainnya yang disebut ‘pinanga’ yaitu buah pinang yang dibelah empat, buah sirih hutan, daun sirih hutan, satu sisir pisang dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Pinanga itu digelar di balik kelambu di dekat tempat sang penutur berbaring.
Setelah semua prosesi ritual itu dilakukan, maka berbaringlah Hadasyiah dan mulai menuturkan Kada yang diawali dengan sejumlah kalimat pembuka sebagaimana sebahagian telah dikemukakan di atas.
Sekira 45 menit kemudian, si penutur yang membelakangi 15 orang pendengarnya, terdengar meminta air untuk minum sebab tenggorokannya serasa gatal. Tidak lama berselang, ia menggumam seperti seorang yang merintih, pertanda ia akan melanjutkan lagi tuturannya untuk masuk ditahapan selanjutnya yaitu sesi pengantar cerita.
Pada sesi ini, irama penutur dipercepat dan seolah tiada bernafas. Konon, komunikasi antara penutur dengan pemilik cerita yaitu roh leluhur Etnis Moronene telah diterima untuk diperdengarkan kepada para pendengarnya.
“Iyu lincu dungku kokarama, sombako Baraka ati, diee nta mogau, nta mobitara, daa homokutikano nta faktuuno kako tompa’o sara fuatako safu-safuatako lima kaku tompa o wumbu. (A) (Bersambung)
Penulis: Jumrad Raunde
Editor: Jumriati