ZONASULTRA.COM, KENDARI – Hadirnya pabrik pengolahan kelapa sawit PT Utama Agrindo Mas (UAM) di Desa Wowalahumbuti, Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe berdampak langsung terhadap warga. Mereka harus bertahan dengan bau tak sedap dari pabrik tersebut.
Untuk sampai ke kampung ini dapat ditempuh melalui jalan poros Kendari-Konawe, lalu masuk ke jalan beton beraspal menuju pabrik dan ada pula jalan tani yang khusus digunakan warga. Perumahan warga berjarak 100 sampai 200 meter dari pabrik itu.
Terdapat sekitar 90 kepala keluarga (KK) di desa ini yang sebelum masuknya pabrik banyak bekerja sebagai petani. Namun dengan masuknya pabrik, mereka direkrut menjadi pekerja. Jadi bagi mereka, hadirnya pabrik itu bagai dua sisi mata uang, di satu sisi mereka menerima dampak polusi udara tapi di satu sisi mereka mendapatkan pekerjaan.
Seperti diceritakan oleh Masnia (45), seorang ibu rumah tangga warga asli di kampung itu. Hari-harinya yang beraktivitas di dalam rumah harus mulai mengakrabi berbagai jenis bau dari arah pabrik, berbeda dengan suasana dulu sebelum pabrik beroperasi.
Kini ia sudah mulai terbiasa dengan berbagai macam bau dari pabrik itu. Ada sekitar 5 macam bau, dari yang biasa saja seperti bau jagung rebus sampai yang paling busuk. Ia merasa tersiksa dengan bau busuk ketika awal pabrik beroperasi pada akhir tahun 2019 lalu.
“Kalau pertamanya dulu sakit kepala sampai mual-mual, tapi itu sampai 3 hari pertama saja, setelah itu tidak lagi. Kalau sekarang paling tutup hidung saja, paling lama 15 menit hilang baunya,” ujar Masnia pada suatu sore di rumahnya, 23 Mei 2021.
Bau menyengat dan busuk itu tidak setiap hari mereka rasakan. Biasanya dua sampai tiga hari, dan kadang juga tidak menentu, tergantung arah angin yang membawa bau busuk. Yang membuat Masnia kesal, bila bau busuk itu datang tengah malam, membuat dirinya dan keluarga selalu terbangun dari tidur.
Menurut Masnia, warga sekitar sudah mulai terbiasa dan tidak begitu mengeluh, apalagi banyak warga setempat yang kerja di pabrik tersebut, termasuk anak Masnia sendiri. Lain halnya bila warga luar berkunjung ke kampung itu pasti mengeluh soal bau busuk dan tak berlama-lama untuk tinggal, termasuk kerabat Masnia.
Selain soal bau, mereka juga dihadapkan dengan banyaknya lalat sejak pabrik itu beroperasi. Meningkatnya jumlah lalat di kampung itu diduga karena limbah padat dan limbah cair yang ada di kawasan pabrik.
Suami Masnia, Imran (47) yang merupakan Kepala Dusun 2 Desa Wowalahumbuti mendukung pernyataan istrinya itu. Ia menyebut kampungnya itu sudah dikenal sebagai kampung yang busuk oleh warga dari kampung lain.
Bagi Imran yang mengkhawatirkan adalah kemungkinan bau busuk yang mereka hirup mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh, termasuk meningkatnya jumlah lalat yang bisa berdampak terhadap kesehatan warga. Terkait banyaknya lalat di kampung itu, Imran menduga bukan hanya disebabkan oleh limbah pabrik tapi juga oleh peternakan ayam potong yang dekat dengan perkampungan.
Mereka simalakama dengan kondisi seperti itu. Untuk pindah dari tempat itu pun tidak memungkinkan karena sudah lama tinggal di situ dan terlanjur membangun rumah permanen. Imran mengaku tak ada pilihan selain menerima keadaan.
Sejak awal rencana pendirian pabrik itu tidak ada penolakan dari warga setempat dan sudah diketahui bahwa akan ada bau tidak sedap. Ketika pabrik beroperasi, protes bau dari limbah pabrik itu justru datang dari warga desa tetangga dengan mengadu kepada Imran, dan ada pula yang melakukan demonstrasi.
Imran tidak mengerti apakah limbah itu dapat dikelola agar tidak mengeluarkan bau busuk karena pada tahun lalu bau busuk pernah tiba-tiba saja menghilang selama sebulan lebih, padahal pabrik terus beroperasi.
Sampai saat ini manfaat yang mereka dapat dari PT UAM adalah selain lapangan kerja, warga juga mendapat bantuan beberapa sumur gali. Namun Imran berharap bisa lebih dari itu, yakni semacam kompensasi bagi warga kampung yang mungkin dapat digunakan ketika sakit.
Tetangga Imran, juga menceritakan hal serupa. Berbagai bau itu datang tidak menentu, tapi kadang-kadang saja bila arah angin ke rumah warga, begitu pula lalat yang juga kadang-kadang datang menyerbu.
“Kalau musim hujan begini woh lalat yang banyak itu bikin hitam meja. Bukan saja di meja banyak lalat. Pokoknya kalau kita makan tidak ditutup, hmm semua lalat,” ujar pria berusia 50 tahun tersebut tanpa menyebutkan nama karena beralasan telah bekerja di pabrik itu.
Warga lainnya dari desa tetangga, Desa Wawolahambuti, Saini (42) juga mengeluhkan bau busuk serupa yang kadang-kadang sampai ke rumahnya meski terletak jauh dari pabrik, berjarak sekitar 1 kilometer. Pria ini mengungkapkan keluhan tentang bau itu juga turut dirasakan tetangga-tetangganya.
“Kalau baunya, kita juga maklumilah karena kalau itu bau memang. Kalau ada angin dari sana (arah pabrik), baunya menyengat juga tapi kita juga sebagai pekebun sawit mau tidak mau kita bertahan saja karena kita berharap juga di situ,” ujar Saini, 23 Mei 2021.
Saini seperti juga beberapa warga desa lainnya yang mempunyai kebun sawit menjual hasil panen mereka ke pabrik PT UAM. Jadi, bagi Saini bau tersebut adalah hal yang mesti diterimanya.
Kepala Tata Usaha (KTU) PT UAM, Ardiansyah mengatakan pabrik beroperasi sejak November 2019. Pabrik menghasilkan crude palm oil (CPO), inti sawit (kernel), limbah tak cair, dan limbah cair. Dari luas lahan 60 hektar, sekitar 30 hektar digunakan untuk tempat limbah.
Soal keluhan warga tentang bau busuk, Ardiansyah memastikan pihaknya telah mengolah limbah cair dengan benar. Limbah cair ditampung di kolam terbuka yang jauh dari perkampungan warga. Saat ini ada dua kolam yang tersedia, tapi yang terisi baru satu kolam.
Untuk mengurangi kadar polutan mereka menggunakan bakteri yang dimasukan ke kolam limbah. Bahkan, pihaknya di bagian laboratorium pabrik khusus membudidayakan bakteri untuk pengolahan limbah cair. Namun Ardiansyah tidak dapat menjelaskan secara detail karena ada tim kimia pabrik yang lebih tahu.
“Yang jelasnya kalau dibilang pencemaran segala macam itu gak ada, tapi kalau bau itu pasti ada. Bau ini dari hasil pengolahan, namanya angin pas ke sana (warga) nda bisa dihalang,” ujar Ardiansyah di salah satu ruangan kantor pabrik itu, 23 Mei 2021.
Limbah cair dari pabrik itu akan diproses sedemikian rupa hingga menjadi pupuk cair, yang kemudian akan dialirkan ke kebun sawit milik PT UAM melalui pipa. Ardiansyah memastikan pihaknya berupaya memanfaatkan semua limbah. (*)
Artikel Selanjutnya : “Kampung Busuk” di Konawe, Warganya Hidup di Tengah Polusi Udara Pabrik Sawit (Bagian-2)