Kerja Sama dan Persaudaraan dalam Permainan Tradisional Lojo di Buton

Kerja Sama dan Persaudaraan dalam Permainan Tradisional Lojo di Buton
Pria dewasa bermain lojo di Buton. (Foto: IG @ amran_sapati)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Lojo atau loji merupakan permainan tradisional yang sudah lama berkembang di wilayah Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Permainan ini hanya menggunakan bahan-bahan sederhana dari tempurung kelapa dan bambu.

Tempurung kelapa diukir dalam bermacam-macam bentuk, bisa bentuk segitiga, bundar, maupun tanda hati atau love dengan diameter lima sampai tujuh sentimeter. Tempurung kelapa yang sudah diukir ini kemudian disebut lojo.

Setiap loji harus dilubangi pada sisi depannya sebagai tempat bersandarnya alat pemukul saat melakukan aksi penembakan. Sementara alat pemukul yang digunakan untuk menembakkan loji terbuat dari bambu dengan panjang sekitar 40 sentimeter dan lebar dua sentimeter.

Permainan ini dilakukan dua tim yang saling berhadapan. Masing-masing tim bisa diperkuat dua orang atau lebih. Tak ada batasan pesertanya. Lojo biasanya dimainkan di areal tanah lapang yang datar atau di halaman rumah.

Permainan ini lebih dominan dilakukan oleh anak-anak, namun tidak jarang para orang dewasa juga turut memainkannya. Dalam permainan ini ada yang disebut loji bertahan dan ada loji menyerang.

Loji bertahan adalah tempurung yang sudah disusun dengan jarak tertentu, sementara loji menyerang adalah tempurung yang ditembakkan untuk menjatuhkan loji bertahan.

Tujuan permainan ini adalah menjatuhkan lojo tim lawan atau loji bertahan. Tim yang paling banyak menjatuhkan loji maka akan jadi pemenang. Permainan ini kelihatannya sangat mudah, namun sebenarnya membutuhkan strategi karena tak mudah untuk menumbangkan lojo.

Manfaat Permainan Lojo

Permainan tradisional tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga sarana pembelajaran bagi generasi muda untuk memahami nilai-nilai kebersamaan, kerja sama, ketekunan, dan persaudaraan. Hal ini juga yang terdapat dalam permainan loji atau lojo.

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Limbo Wolio, Kota Baubau, Maman Baluwu mengatakan untuk mengenalkan permainan ini pihaknya rutin menggelar lomba loji. Tak disangka permainan ini ternyata disambut dengan baik, tak hanya oleh anak-anak itu sendiri, tapi juga oleh para orang tua. Bahkan, masyarakat setempat meminta tak hanya loji yang dikenalkan, tetapi juga permainan tradisional lainnya.

Kerja Sama dan Persaudaraan dalam Permainan Tradisional Lojo di Buton
Anak-anak saat bermain lojo di Baubau. (Foto: IG @ dinaspariwisatabaubau)

“Waktu kita adakan lomba seru sekali, tak hanya anak-anak yang ikut, tapi orang tua juga. Mereka antusias sekali,” kata Maman.

Menurut Maman, melalui permainan loji ini, anak-anak dapat belajar tentang pentingnya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sebab, bermain lojo butuh strategi serta kerja sama tim untuk beradu dengan yang lain

Loji juga memiliki banyak manfaat untuk perkembangan anak, seperti mencegah ketergantungan anak terhadap gadget, mengajarkan anak-anak untuk bersosialisasi dengan dunia luar, berkumpul dan bermain bersama sehingga mereka tak hanya di rumah saja bermain gadget.

“Dan yang lebih penting permainan lojo ini bertujuan untuk terus melestarikan budaya masyarakat Buton yang sudah ada sejak lama,” ungkapnya.

Pemerintah Kota Baubau melalui dinas pendidikan dan kebudayaan setempat sudah beberapa kali mengadakan lomba permainan tradisional, salah satunya lojo atau loji.

Selain amanat UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kegiatan tersebut juga sebagai salah satu upaya untuk mengenalkan permainan tradisional kepada generasi muda agar tetap lestari dan tidak terlupakan.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Baubau, Masrun mengatakan pihaknya sudah beberapa kali mengadakan lomba permainan tradisional. Terkhusus untuk lomba lojo, terakhir digelar pada tahun 2022 dengan kategori tingkat SD, SMP, dan dewasa se-Kota Baubau. Para peserta dan penonton terpantau sangat antusias dengan lomba lojo tersebut.

“Dengan adanya lomba permainan itu, membudaya (lojo) sekarang di anak-anak. Walaupun sudah ada permainan game-game di HP tetapi mereka sudah menggunakan juga itu (lojo),” ujar Masrun.

Eksistensi Lojo

Menurut Muhamad Amran, Penggiat Seni di Kabupaten Buton, tak ada yang tahu pasti sejak kapan permainan loji ini mulai ada dan berkembang di wilayah Buton. Namun, diyakini permainan ini sudah sangat lama dan diwariskan turun temurun hingga saat ini.

“Kami juga pernah mencari tahu soal ini, tetapi orang tua kami bilang mereka juga dapat dari kakek-kakek mereka, yang berarti permainan ini sudah lama ada,” ungkap Amran.

Permainan ini pun memiliki nama yang berbeda. Di Buton, khususnya etnis Cia-Cia Laporo yang bermukim di Kelurahan Kombeli, permainan ini disebut loji, tapi pada masyarakat Buton lain, seperti di Desa Wabula serta di Kota Baubau, permainan ini disebut lojo.

Amran mengatakan, sebelum perkembangan zaman seperti saat ini di mana banyak game online, permainan loji dulu sangat digemari oleh anak laki-laki ataupun dewasa karena mengandung keseruan tersendiri.

Amran yang juga Ketua Sanggar Seni Sapati Buton ini mengakui permainan tradisional loji sudah mulai terkikis. Salah satu upaya yang dilakukan sanggarnya agar permainan ini tetap eksis adalah menggelar lomba loji dalam berbagai kesempatan.

“Seperti saat HUT Sanggar Seni Sapati Buton, kita inisiatif mengadakan lomba, terutama di Kelurahan Kombeli dan pesertanya itu ternyata banyak sekali. Lombanya sampai malam, kita pakai lampu sorot,” terang Amran.

Hal itu menandakan masih banyak yang meminati permainan tradisional ini. Terbukti ketika diadakan lomba maka banyak yang antusias mengikutinya. Tak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa.

Amran pun berharap pemerintah daerah terus getol mengenalkan permainan ini kepada generasi muda, seperti rutin menggelar lomba dan festival serta memasukkan dalam pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah sehingga menarik minat anak-anak untuk memainkan permainan tradisional ini.

Hal yang sama diungkapkan oleh Penggiat Wisata di Wabula, Kabupaten Buton, Yusman Tiha. Di Wabula, permainan yang mereka sebut lojo ini hanya ada pada event-event tertentu, seperti perlombaan.

Menurutnya ada beberapa hal yang menjadi penyebab anak-anak jarang bermain lojo. Salah satunya jumlah lapangan yang terus berkurang. Permainan lojo memang lebih baik dilaksanakan di tanah lapang ketimbang di jalan yang sudah beraspal. Sebab, bermain di jalanan juga rawan karena kendaraan yang lalu lalang.

Kemudian pada zaman dulu anak-anak biasanya bermain lojo di rumah-rumah warga yang memiliki halaman luas. Kini jumlah rumah dengan halaman luas juga mulai berkurang.

Meski begitu, kata Yusman Tiha, para anak-anak tetap antusias ketika ada perlombaan lojo atau loji ini. Ia pun berharap pemerintah terus melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan permainan tradisional ini. (*)

 


Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini