Kesehatan Masyarakat Dipertaruhkan, Sejumlah Kalangan Ragukan New Normal

Kesehatan Masyarakat Dipertaruhkan, Sejumlah Kalangan Ragukan New Normal
Ilustrasi

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pemerintah pusat saat ini tengah mewacanakan penetapan “New Normal” atau hidup normal baru di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Namun kebijakan ini diragukan oleh sejumlah pihak baik dari kalangan pengamat ekonomi, pemerhati kesehatan, maupun pengamat sosial.

Pemberlakukan kebijakan New Normal di saat sekarang ini dianggap belum dapat memperbaiki kondisi ekonomi, bahkan kesehatan masyarakat jadi taruhannya. Kebijakan New Normal dianggap belum menjadi solusi, apalagi virus corona terus menular. Oleh karena itu, pemerintah disarankan menunda pemberlakuan kebijakan New Normal.

Pandangan Ekonomi

Alih-alih untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan daerah, Pengamat Ekonomi Universitas Haluoleo Kendari Syamsir Nur mengatakan, belum tepat untuk menerapkan New Normal dalam situasi penyebaran Covid-19 yang masih mengalami kenaikan secara kumulatif.

Pengamat Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Syamsir Nur
Syamsir Nur

Masyarakat dinilai masih memiliki kekhawatiran terhadap situasi kesehatan yang ditandai dengan minat belanja masyarakat belum mengalami peningkatan yang signifikan. Kekhawatiran itu juga menurunkan kepercayaan konsumen terutama masyarakat kelas menengah ke atas.

“Kan konsumsi rumah tangga atau masyarakat itu adalah sektor utama yang mendrive growth ekonomi secara nasional maupun growth di daerah,” ungkapnya.

Apabila kelas menengah dan atas distrust terhadap kondisi perekonomian ditambah dengan masyarakat kelas bawah (rentan dan miskin) yang saat ini sudah terpapar duluan dengan dampak penyebaran Covid-19, maka harapan New Normal justru memunculkan masalah baru. Olehnya itu, Syamsir menilai belum tepat untuk saat ini diterapkan, harus menunggu jumlah penambahan kasus baru turun secara signifikan.

Kemudian dalam teori ekonomi jika konsumsi masih lesu, efeknya ke industri tetap tidak akan optimal karena daya beli belum pulih akibat aktivitas luar rumah belum menggeliat. Belum lagi para pelaku ekonomi konsumen dan produsen masih khawatir dengan kondisi kesehatan mereka.

“Jadi sekalipun sisi supply distimulan oleh pemerintah, sisi demand belum siap merespon akibat kekhawatiran kondisi kesehatan disertai daya beli yang masih rendah maka tidak akan ada hasil maksimal,” ujarnya.

Alasan bahwa dibuka kembalinya pergeliatan perekonomian untuk menjaga kondisi penerimaan daerah menurutnya hal itu sudah menjadi permasalahan sejak lama.

Data Badan Pusat Statustik (BPS) Sultra bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 dibanding triwulan IV-2019 mengalami kontraksi (negatif) sebesar minus 8,18 persen.

Salah satu sektor yang mengalami kontraksi terjadi pada komponen pengeluaran konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (PK-LNPRT) sebesar minus 6,88 persen, dan komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) sebesar minus 1,83 persen.

Pandangan Kesehatan

Pemerhati Kesehatan Sulawesi Tenggara dr. Yusuf Hamra menjelaskan bahwa sangat penting bagi pemerintah harus memperhatikan kurva dan grafik pertambahan kasus positif baru di Indonesia sebelum benar-benar menerapkan wacana New Normal tersebut. Karena apabila pertambahan tersebut melesat akan menimbulkan masalah baru yang mana keinginan menurunkan jumlah kasus malah sebaliknya kasus baru semakin banyak.

Ketua Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Sulawesi Tenggara (Sultra) dr. Yusuf Hamra
dr. Yusuf Hamra

Sebagai contoh kasus, Yusuf menyebutkan pada tahun 1918 Spanyol pernah dilanda wabah flu. Setelah pemerintah melonggarkan pembatasan aktivitas masyarakatnya, gelombang kedua (second wave) kasus flu Spanyol kembali menulari warga setempat dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit.

Catatan sejarah menyebutkan, virus itu menginfeksi 500 juta orang di seluruh dunia dan membunuh sekitar 20 juta hingga 50 juta korban, termasuk di Indonesia. Diketahui terjadi dalam 3 gelombang sebelum berakhir masa pandemi global, dan gelombang kedua adalah yang paling mematikan.

Salah satu penyebabnya terjadi penularan yang masif karena kurang pelaksanaan karantina wilayah saat itu di samping alasan utama bahwa flu Spanyol merenggut begitu banyak nyawa adalah karena sains tidak memiliki alat untuk mengembangkan vaksin virus tersebut.

Tak jauh berbeda dengan kasus virus corona, Yusuf menilai pemerintah dalam menerapkan pembatasan aktivitas masyarakat guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19 sangat lamban dan dinilai kurang tegas.

Pasalnya, hingga akan diterapkannya New Normal pemerintah tidak pernah mengambil langkah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara menyeluruh di wilayah Indonesia.

“PSBB dilaksanakan setengah-setengah hanya beberapa daerah saja dan herd immunity juga bukan. Alasannya tetap melihat perkembangan, kan tidak ada ketegasan. Belum lagi sanksi PSBB tidak begitu efektif dilaksanakan, nah sekarang tiba-tiba mau New Normal, hal yang terkesan terburu-buru,” kata Yusuf Hamra.

Fakta lain, pelaksaanaan pemeriksaan kesehatan Covid-19 secara masif kepada seluruh masyarakat juga belum dilakukan sepenuhnya serta penelusuran tracking kontak pasien positif juga tidak begitu paripurna dilaksanakan sehingga angka pertumbuhan kasus baru masih tinggi.

Mencontoh beberapa negara yang berhasil menerapkan lockdown dan aktivitas masyarakat sudah pulih kembali rata-rata sebelumnya mereka telah menerapkan lockdown menyeluruh dalam kurun waktu dua hingga tiga bulan, seperti Vietnam lockdown sejak April dan saat ini sudah melaksanakan New Normal. Sementara di Indonesia, kata Yusuf jauh berbeda.

Kemudian harus menjadi petimbangan pemerintah sebelum menerapkan New Normal bahwa saat ini tingkat kesadaran masyarakat untuk melaksanakan protokol kesehatan Covid-19 masih kurang. Contoh kecil penggunaan masker saat sedang berada di luar rumah.

“Menurut saya apabila New Normal tetap dipaksakan kita harus bersiap dengan penambahan jumlah kasus, dan melihat kondisi tenaga medis kita saat ini cukup memprihatinkan,” ujarnya.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu menjelaskan bahwa pemerintah baiknya tetap melakukan pembatasan aktivitas masyarakat di tengah pertambahan kasus positif yang masih tinggi dan tidak perlu tergesa-gesa menerapkan New Normal, karena langkah yang setengah-setengah dampaknya terhadap kesehatan masyarakat juga hasilnya setengah.

Sehingga baiknya menurut Yusuf, pemerintah harus menerapkan PSBB atau memilih lockdown seutuhnya atau herd immunity guna menekan angka pertumbuhan kasus baru. Setelah pelaksanaannya memberikan dampak yang signifikan maka pelonggaran atau tahapan New Normal dapat dilakukan.

Apabila akan diterapkan PSBB atau lockdown harus jelas batas waktu pelaksanaannya dan sanksi yang diberikan bagi pelanggar aturan itu harus diperkuat sehingga benar-benar maksimal menekan angka penambahan jumlah kasus positif.

“Kalau grafik sudah landai, sudah bisa dikendalikan penyebarannya menurut saya tidak salah New Normal dilakukan,” katanya.

Pandangan Sosial

Pengamat Sosial Universitas Halu Oleo Darmin Tuwu menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah untuk menerapkan New Normal di tengah pademi corona saat ini belum tepat, pasalnya kondisi masyarakat saat ini masih belum stabil atau pulih sejak wabah Covid-19 masuk di 34 provinsi di Indonesia.

Pengamat Sosial Universitas Halu Oleo (UHO) Darmin Tuwu
Darmin Tuwu

Menurutnya, kebijakan New Normal merupakan desakan pemerintah saja untuk segera melakukan pemulihan ekonomi setelah tiga bulan bergelut dengan wabah corona, akan tetapi kesehatan masyarakat belum pulih secara normal dan apabila itu dipaksakan dapat menimbulkan masalah baru.

“Memang pilihannya berat, tapi alangkah baiknya tahan dulu bersabar dulu sampai benar-benar virus ini bisa dikendalikan. Sampai saat ini kan pemerintah belum bisa melakukan itu, kita masih berperang melawan corona tiba-tiba kita diminta berdamai,” katanya.

Menjadi penting dilakukan pemerintah adalah bagaimana konsisten menjalankan kebijakan PSBB. Lanjut dia, fakta di lapangan pembatasan diterapkan akan tetapi di satu sisi dilakukan pelonggaran dan itu dinilai lemah sehingga hal tersebut menimbulkan keresahan, rasa gelisah dan kehilangan kepercayaan di tengah masyarakat. Contoh kasus kebijakan untuk mendatangkan 500 tenaga kerja asing (TKA) China ke Sultra, meskipun pada akhirnya ditunda oleh pemerintah.

Oleh karena itu, selanjutnya pemerintah harus mampu mengendalikan keresahan masyarakat itu sebelum melaksanakan New Normal, agar kepercayaan mereka terhadap setiap kebijakan untuk pencegahan Covid-19 meningkat.

“Kalau sudah percaya akan timbul rasa bahagia, tenang dan aman di masyarakat serta akan berpengaruh terhadap imunitas seseorang karena rasa aman dan nyaman dijamin oleh pemerintah di tengah pandemi, hanya persoalan konsistensi saja,” ujarnya.

Sehingga ia menegaskan kebijakan untuk New Normal lebih baik ditunda dulu dan pemeritah harus tetap menjalankan PSBB dengan baik dan tidak membuka peluang untuk melemahkan aturan tersebut.

Kebijakan New Normal

Berbagai pertimbangan pemerintah terkait kebijakan tersebut sudah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD bahwa kebijakan New Normal atau normal baru yang kemungkinan akan diberlakukan tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekonomi semata. Pemerintah juga mempertimbangkan sektor lain, seperti sektor pendidikan dan kesehatan.

“Tujuan negara itu membangun kesejahteraan. Kesejahteraan itu indikatornya dalam pembangunan manusia kan ada tiga,” kata Mahfud dikutip dari IDN Times, Minggu (31/5/2020).

Selain petimbangan tersebut, pemerintah menerapkan New Normal ini tetap berpegang pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kemudian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun telah mengeluarkan aturan hukum mengenai pelaksanaan New Normal tentang bagaimana panduan standar protokol berbagai sektor kehidupan.

Selanjutnya, pemerintah telah dapat mengukur tingkat penularan Covid-19 di Indonesia. Mahfud menjelaskan, pemerintah sudah mampu mengukur tingkat penularan virus corona di setiap daerah menggunakan pendekatan keilmuan, yakni Ro dan Rt.

Ro merupakan indeks rata-rata orang yang akan ditularkan oleh satu orang yang terinfeksi virus, dengan perkiraan WHO Ro global saat ini antara 1,4 sampai 2,5. Sementara Rt merupakan indeks awal penularan virus corona sebelum pemerintah melakukan berbagai langkah intervensi untuk menekan penyebaran.

Presiden Joko Widodo sendiri telah memberikan restu kepada 102 kabupaten/kota di Indonesia untuk mulai melakukan tahapan penerapan New normal atau hidup normal kembali dengan membuka kembali aktivitas produktif. Untuk di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) ada lima kabupaten dari 17 kabupaten/kota yang ada yakni Buton, Buton Utara (Butur), Buton Selatan (Busel), Konawe Kepulauan (Konkep) dan Konawe Utara (Konut).

Kelima kabupaten tersebut saat ini masih berstatus zero Covid-19 atau zona hijau dari penyebaran corona sejak virus asal Wuhan, China itu masuk ke Indonesia.

Meski begitu, keinginan besar pemerintah ini dianggap masih terlalu terburu-buru dengan melihat saat ini grafik atau kurva pertambahan jumlah kasus secara nasional masih cukup tinggi dan belum berada pada grafik yang landai.

Berdasarkan grafik petumbuhan sejak tanggal 19 Mei hingga 31 Mei 2020 penambahan kasus positif baru Covid-19 di Indonesia masih cukup tinggi tanggal 19 Mei ada 486 kasus baru, 20 Mei 693 kasus, 21 Mei 973 kasus, 22 Mei 634 kasus, 23 Mei 949 kasus, 24 Mei 526 kasus, 25 Mei 479 kasus, 26 Mei 415 kasus, 27 Mei 686 kasus, 28 Mei 687 kasus, 29 Mei 678 kasus dan 30 Mei 557 kasus baru.

Dari data di atas selama 12 hari terakhir rata-rata pertambahan jumlah kasus positif baru di Indonesia mecapai 646 kasus. (*)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini