ZONASULTRA.COM, RAHA – Suku Bajo dikenal sebagai penjelajah lautan yang memiliki keterampilan membaca navigasi lewat rasi bintang. Ketangguhan mereka mengarungi samudera jelas tak terbantahkan.
Suku yang pernah ikut dalam Festival Budaya Pasar Hamburg Jerman 2017 lalu ini aktif mencari komoditi laut seperti mutiara, teripang, kerang, dan lobster.
Di Pulau Muna, keberadaan suku Bajo tersebar di beberapa kecamatan yakni di Towea, Maligano, Duruka, dan Maginti.
Seperti halnya komunitas orang Bajo yang bermukim di Desa Lagasa, Kecamatan Duruka, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka merupakan salah satu pemasok ikan dan komoditi hasil laut lainnya di Kabupaten Muna.
Tak jarang profesi unik seperti penyelam sering dijumpai di kampung Bajo. Salah satunya Tiwang (35), seorang nelayan dari Desa Lagasa yang juga berprofesi sebagai penyelam.
Kemampuannya menyelam tak diragukan lagi. Jam terbangnya sebagai penyelam sudah sangat tinggi, dengan capaian tertinggi menyelam di kedalaman 40 meter di dasar laut.
Ia dan beberapa warga setempat menggeluti profesi itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mencari teripang, mutiara, dan lobster. Bahkan mereka pernah ditugasi mencari baling-baling kapal hingga mayat yang tenggelam.
Saat ditemui awak zonasultra.id, Selasa (14/7/2020), Tiwang tengah sibuk menambal perahu miliknya. Beberapa minggu ini, ia dan nelayan lainnya enggan melaut karena cuaca buruk dan gelombang tinggi.
Mahir Menyelam Sejak Usia 4 Tahun
Tiwang sudah terbiasa menyelam sejak usianya 4 tahun. Wajar saja, pemukiman tempat tinggalnya berada di atas air laut.
Sejak kecil ia bahkan sudah sering diajak ayahnya mencari teripang, mutiara, dan lobster. Mereka terbiasa dengan laut, dan kurang berminat dengan dunia pendidikan. Ia hanya mampu menyelesaikan sekolah di bangku SD saja.
Di usia 15 tahun, Tiwang memutuskan menjadi penyelam pencari teripang, mutiara, dan lobster. Permintaan pasar yang cukup tinggi sehingga ia menjelajahi perairan Muna hingga Buton.
“Kita memang di sini sudah terbiasa menyelam sejak kecil. Saya sudah menyelam di kedalaman 40 meter di perairan Kecamatan Pasikolaga, mencari teripang,” cerita Tiwang.
Sasaran mereka teripang putih karena memiliki harga yang tinggi mencapai Rp1 juta per kilo, teripang hitam sekitar Rp500 ribu per kilo, dan lobster per kilonya mencapai Rp550 ribu.
Bersama rekannya, Atung (47), Ndonang (50), mereka menyelam menangkap ikan menggunakan panah, mencari teripang, mutiara, dan lobster.
“Kalau ikan kita gunakan panah. Kadang dapat 30 kilo biasanya harganya mencapai Rp1 juta. Teripang kami bisa kumpulkan hingga 25 kilo harganya capai Rp6,5 juta,” tuturnya.
Sementara mutiara biasanya hanya bisa dua biji karena populasinya terbatas. Mereka juga mencari lobster yang ukurannya biasa mencapai 2,5 kilo per ekor.
Selain itu, Tiwang pernah ditugasi mencari orang hilang di Desa Pola, Kecamatan Pasirputih. Saat itu, ada orang minta bantuan untuk mencari orang yang hilang di laut.
“Katanya sudah tiga hari hilang. Pencarian kita sisir di pinggir pantai menggunakan perahu. Alhamdulillah tidak butuh satu jam mayat langsung kita temukan di kedalaman empat meter di pinggir karang,” ceritanya dengan semangat.
Selain mencari orang hilang, mereka juga pernah ditugasi mencari baling-baling kapal. “Kita dapat baling-baling kapal superjet. Beratnya itu ratusan kilo,” tuturnya.
Penyelam Profesi Menantang Maut
Selain unik, jadi seorang penyelam itu menantang maut karena memiliki risiko kematian sangat tinggi.
Banyak bahaya mengintai. Kehabisan oksigen bahkan mengalami keram saat berada di dalam laut atau bahkan ancaman hewan laut. “Ikan hiu yang kita takutkan tapi selama menyelam belum pernah ketemu. Kalau ikan paus sepanjang 10 meter pernah kita lihat,” kisahnya.
Bahkan ayahnya meninggal dunia akibat menyelam. Sang ayah mengalami keram saat berada di dalam laut.
Tiwang mengurai jadi penyelam sangat berisiko karena menggantungkan nyawa hanya di ujung selang yang tersambung mesin kompresor.
Jika berangkat menyelam, mereka butuh waktu seminggu untuk pulang dengan harapan membawa hasil yang memuaskan.
Mereka bertiga. Dua penyelam, satu operator mesin kompresor sekaligus nahkoda. Mesin itu terhubung dengan selang sepanjang 60 meter.
Kata Tiwang, jadi penyelam itu pendapatannya tidak menentu. Jika rezeki, kadang dapat banyak namun tak jarang pula pulang kosong.
“Kalau saya hitung-hitung, dalam sebulan bisa menghasilkan Rp8 juta dan paling rendah Rp4 juta,” ucapnya.
Ia pun menceritakan pengalamannya selama menyelam di tempat wisata Bakealu. Di sana, ia menyelam selama hampir satu jam.
“Saya pernah lihat sosok mirip pohon kelapa. Saya langsung naik ke permukaan,” kisahnya. (*/SF)