ZONASULTRA.ID – Pulau Saponda, sebuah pulau kecil seluas hanya sekitar 7 hektare, dihuni oleh sekitar 1.700 jiwa. Dengan mayoritas penduduk berasal dari suku Bajo, sekitar 80 persen dari populasi, masyarakat di sini sangat bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan. Tidak heran, mayoritas warga Saponda adalah nelayan.
Namun, di balik kehidupan yang tampak tenang, tersembunyi sebuah tantangan besar. Krisis listrik melanda Pulau Saponda, membawa dampak serius terutama pada pelayanan kesehatan hingga memukul kelompok rentan.
Di pulau ini hanya terdapat satu Pos Pelayanan Desa (Polindes) yang melayani dua desa, yakni Saponda Darat dan Saponda Laut. Gedung Polindes yang berada di Desa Saponda Laut kini harus beroperasi tanpa suplai listrik yang memadai, terutama di malam hari.
Syamsul, satu-satunya perawat yang rutin bertugas di Polindes Saponda, merasakan langsung dampak dari krisis ini. Sejak PLTS tak berfungsi 2023 lalu, dia terpaksa mengandalkan penerangan seadanya, seperti lampu senter, untuk menangani pasien di malam hari. Situasi ini tidaklah mudah.
“Untuk memasang infus dengan pencahayaan yang minim, itu benar-benar menantang. Kadang saya harus menusuk pembuluh darah pasien berkali-kali karena tidak bisa melihat dengan jelas,” ungkap Syamsul.
Kisahnya menjadi lebih nyata pada suatu malam di pertengahan Desember 2024. Seorang warga datang dengan keluhan kolik abdomen (serangan nyeri perut hebat) sekitar pukul 11 malam. Dalam kondisi penerangan minim, Syamsul berjuang memasang infus.
“Rasanya setengah mati. Saya harus ekstra hati-hati agar tidak membahayakan pasien,” kenangnya.
November sebelumnya, tantangan serupa terjadi. Seorang nelayan datang dengan luka di betis akibat serpihan benda tajam. Syamsul harus menjahit luka tersebut di malam hari, hanya dengan bantuan cahaya dari senter kecil.
“Menjahit luka di kegelapan itu seperti mengukir dengan mata tertutup. Satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal,” ujar Syamsul.
Situasi ini sangat berbeda dibandingkan ketika PLTS di Desa Saponda Laut masih berfungsi normal, di mana Syamsul dapat optimal melakukan pelayanan kesehatan secara optimal pada malam hari.
Setelah PLTS tak berfungsi, pada Februari 2024 yang lalu Polindes mendapat bantuan bantuan dari tokoh politik berupa panel surya berkekuatan 100 watt dengan aki 100 ampere. Namun itu hanya bertahan beberapa bulan saja.
Aki tersebut mulai soak setelah digunakan warga untuk mengisi baterai ponsel di siang hari. Akibatnya, daya listrik semakin terbatas, terutama saat cuaca mendung yang kerap melanda beberapa bulan terakhir di tahun 2024.
Meski kondisi serba terbatas, Syamsul tetap bertahan. Dalam sebulan, dia menangani pasien dengan jumlah bervariasi, mulai dari satu hingga tujuh orang per hari. Dalam setahun, dia menghabiskan tiga dus infus, masing-masing berisi 24 kantong. Semua itu dilakukan dengan dedikasi tinggi, meski sering kali harus berjibaku dengan kegelapan.
Masyarakat Pulau Saponda kini berharap ada solusi nyata dari pemerintah atau pihak terkait. Krisis listrik ini bukan sekadar soal penerangan, tetapi juga menyangkut keselamatan dan kesehatan mereka.
Dampak Krisis Listrik pada Kelompok Rentan
Krisis listrik tidak hanya mengganggu aktivitas pelayanan kesehatan, tetapi juga merampas kenyamanan kelompok rentan seperti lansia dan ibu rumah tangga. Di Pulau Saponda, mereka harus berjuang keras menjalani kehidupan dengan keterbatasan daya listrik.
Kisah ibu Nung, seorang janda lansia berusia 70 tahun, adalah salah satu potret nyata dari dampak krisis ini. Sejak PLTS di Desa Saponda Laut tak lagi berfungsi, ibu Nung hanya mengandalkan sebuah lampu 3 watt.
Lampu itu mendapatkan daya dari panel surya milik anaknya, yang mengaliri listrik untuk tiga rumah, termasuk rumah Nung. Namun, ketika cuaca mendung, lampu di rumah Nung tidak menyala karena daya yang terbatas. Dalam kondisi seperti itu, ia terpaksa kembali menggunakan pelita berbahan bakar minyak tanah.
“Kalau ada minyak tanah, kita nyalakan lampu itu (pelita). Tapi kalau tidak ada, kita biarkan saja. Penerangan di sini hanya dari cahaya bulan, atau kadang cahaya lampu dari rumah tetangga,” ungkap Nung.
Ia membeli minyak tanah seharga Rp12 ribu per liter, yang hanya cukup untuk 3 sampai 4 hari. Untuk membeli perangkat tenaga surya sendiri, ia belum mampu karena penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Krisis ini juga dirasakan oleh Asmawati, seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari menghidupi keluarganya dengan menjadi.pedagang roti keliling. Suaminya dalam beberapa tahun terakhir terduduk sakit-sakitan, sehingga ibu dua anak inilah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Bebannya bertambah berat sejak PLTS berhenti beroperasi pada tahun 2023, ia harus bekerja lebih keras. Tanpa listrik, ia tidak lagi bisa menggunakan mixer untuk mencampur adonan roti. Penerangan di rumahnya pun terbatas, membuatnya hanya bisa membuat roti pada pagi hari, waktu yang tidak ideal bagi seorang penjual roti.
Rumah Asmawati bergantung pada panel surya 100 watt dengan aki 50 ampere, bantuan dari pemerintah. Namun, perangkat itu digunakan bersama oleh enam rumah, dengan masing-masing rumah hanya memiliki tiga lampu 5 watt. Selain cahayanya yang tidak terlalu terang, lampu ini hanya menyala selama 2 hingga 3 jam setiap malam karena aki yang mulai lemah.
“Kalau anak-anak mau belajar malam, harus pakai lampu senter. Tapi saya lebih baik melarang mereka belajar malam. Lebih baik mereka belajar atau mengerjakan PR di siang hari,” ujar Asmawati.
Selain itu, ia dan keluarganya enggan menggunakan genset. Harga genset mencapai Rp2 juta per unit, dan biaya bahan bakarnya pun tinggi. Satu liter bensin di Pulau Saponda seharga Rp15 ribu, yang berarti biaya operasional genset bisa mencapai Rp450 ribu hingga Rp900 ribu per bulan. Biaya ini jauh lebih mahal dibandingkan ketika PLTS masih berfungsi, di mana mereka hanya membayar iuran Rp10 ribu per bulan.
Asmawati pun harus menghadapi perubahan signifikan dalam kesehariannya. Penerangan yang minim memengaruhi aktivitas keluarga, termasuk pendidikan anak-anaknya. “Kalau ada yang mau bertemu malam, jangan. Lebih baik datang siang saja,” katanya, menggambarkan keterbatasan yang harus ia hadapi.
Krisis listrik di Pulau Saponda telah menjadi pengingat akan pentingnya infrastruktur energi yang andal, terutama bagi kelompok rentan yang paling terdampak. Mereka terus berharap agar solusi nyata dapat segera diwujudkan demi keadilan sumber daya listrik seperti di daerah-daerah perkotaan.
Menjaga Asa PLTS Kembali Mengalirkan Listrik
Di Desa Saponda Laut tempat bermukim ibu Nung dan Asmawati terdapat satu unit PLTS yang masih terawat dengan baik. Kompanen di PLTS yang resmi beroperasi pada Januari 2016 itu tetap dijaga bersama oleh masyarakat setempat meski sudah tak mengalirkan listrik.
Tampak pada 4 Desember 2024, modul-modul panel surya dan perangkat pendukungnya sebagai penangkap energi surya masih mulus tersusun rapi di halaman unit PLTS. Di dalam bangunan sistem kontrol terdapat inverter dan puluhan baterai yang masih terjaga dengan baik.
Kendala dari PLTS dengan kekuatan 20 kilowatt-peak (kWp) itu hanya baterai yang soak. Bila berfungsi normal, PLTS ini mengalirkan listrik ke 149 sambungan Desa Saponda Laut dengan konsumsi masing-masing dibatasi hingga 240 watt-jam per hari.
Saat ini PLTS tersebut masih bisa dihidupkan hanya untuk ruang sistem kontrol, itu pun hanya beberapa menit karena kekuatan aki yang sudah tidak bisa menampung energi listrik lagi.
Selain dijaga bersama, kondisi PLTS yang masih baik itu juga dirawat oleh para pengurus berasal dari warga yang membentuk kelompok. Kelompok yang terdiri dari enam orang ini bertanggung jawab datang mengecek PLTS hingga penagihan iuran ke warga.
Salah satu pengurus, Sulhan bercerita sebagian dari kelompok itu termasuk dirinya bekerja tanpa digaji. Adapun iuran warga yang berjumlah Rp2 juta lebih per bulan digunakan untuk perawatan, pergantian suku cadang, dan honor anggota kelompok yang menjadi teknisi.
Sulhan mau menjadi relawan karena bentuk rasa syukur bisa menikmati listrik. Sebagai nelayan, ia menggunakan listrik untuk penerangan pada malam hari ketika merakit mata pancing, menjahit pukat, dan lain sebagainya. Termasuk, membantu menerangi anak-anaknya belajar pada malam hari.
“Dengan kesadaran sendiri ikut andil menjaga PLTS, terus ikut belajar cara memasang, cara menangani kerusakan,” ujar Sulhan.
Sulhan memastikan pengelolaan PLTS mereka melebihi ekspektasi karena bisa dipakai selama 7 tahun lebih. Padahal informasi yang mereka dapat dari Dinasi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra ketika penyerahan PLTS itu ke kelompok, usia pakai PLTS hanya 3 sampai 5 tahun.
Menurut Sulhan selama ini tantangan dalam pengelolaan PLTS boleh dibilang tidak ada. Persoalan yang ada hanya soal warga yang menunggak iuran sampai tiga sampai empat bulan. Namun untuk ini kelompok pengurus bertindak tegas dengan memutuskan aliran listrik.
Namun, di balik ketegasan dan upaya mandiri para pengurus, Sulhan mengungkapkan bahwa tidak ada perhatian dari pemerintah sejak PLTS berdiri. Kewenangan penuh pengelolaan PLTS sepenuhnya berada di tangan kelompok pengurus dan kepala desa.
Pemerintah hanya sekali mengirim salah satu anggota kelompok untuk dilatih menjadi teknisi di Jakarta dengan biaya dari kelompok sendiri. Setelah itu, tak ada lagi dukungan yang datang.
“Kami betul-betul dilepas untuk menangani PLTS ini secara penuh,” ujarnya.
Sulhan berharap pemerintah dapat memberikan solusi untuk memperbaiki PLTS yang rusak atau merancang kebijakan baru terkait pemenuhan kebutuhan listrik warga. Menurutnya, warga berhak atas keadilan energi, tidak hanya untuk warga perkotaan yang dapat menikmati listrik sepanjang waktu.
“Harapan kami, generasi muda Saponda di masa depan tidak lagi mengalami krisis listrik seperti yang kami rasakan saat ini,” pungkas Sulhan.
Kendala Pemerintah Desa dalam Penganggaran
Kepala Desa Saponda Laut, Taris mengatakan memang ada dana desa yang bisa digunakan untuk mengganti 98 baterai PLTS. Namun dengan harga Rp15 juta per baterai (termasuk ongkos kirim), alokasi anggaran dalam satu tahun yang dimungkinkan hanya untuk empat sampai lima biji baterai.
Cara pergantian yang demikian menurut Taris percuma karena secara teknis tidak efisien, masih sangat kurang, dan dapat memicu kerusakan baru. Sementara dana desa mereka yang berjumlah Rp600 juta sudah ada persentase penggunaannya, misal 20 persen ke pembangunan, 20 persen ke penguatan pangan, 15 persen bantuan langsung tunai, dan porsi-porsi lainnya.
“Kita sudah koordinasi dengan pendamping desa untuk gunakan semua dana pada porsi pembangunan beli baterai, tapi ini juga masih kurang atau tidak cukup,” ujar Taris.
Oleh karena itu, maka dalam Musyawarah Desa (Musdes) diputuskan porsi anggaran dana desa tahun 2025 mendatang yang sudah naik jadi Rp700 juta akan sebagian akan digunakan untuk bantuan panel surya mandiri kepada setiap rumah tangga. Perkiraannya Rp2 juta per unit untuk 167 rumah.
Dibandingkan dengan pengadaan genset berbahan bakar bensin, menurut Taris, warga lebih memilih sumber energi panel surya karena lebih hemat dalam jangka panjang. Meskipun tenaga listrik dari panel surya lebih terbatas tapi sudah cukup untuk penerangan dalam rumah.
Masih di pulau yang sama, tepat di sebelah Desa Saponda Laut, terdapat Desa Saponda Darat yang juga mendapat bantuan PLTS dari pemerintah dengan kekuatan daya 30 kWp. PLTS dengan jumlah sambungan 166 itu mulai beroperasi tahun 2018 juga memiliki masalah yang sama, mulai kekurangan daya baterai setelah lebih dari 5 tahun pemakaian.
Kepala Desa Saponda Darat Baharuddin menjelaskan PLTS di desa mereka masih merupakan aset Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Sultra. Sehingga mereka tidak menganggarkannya melalui dana desa saat ada komponen yang rusak.
“Dana desa ada aturannya selain itu harus melalui Musyawarah Desa untuk penggunaannya. Pada tahun 2025 nanti peruntukannya untuk yang lain,” ujar Baharuddin.
Sementara iuran yang disetorkan warga pengguna aliran listrik senilai Rp15 ribu per sambungan terbagi dalam sejumlah pemakaian. Iuran tersebut untuk honor tiga orang pengurus PLTS (masing-masing Rp150 ribu per bulan).
Selain itu digunakan untuk menutupi utang pembelian lahan tempat pembangun PLTS dan ganti rugi tanaman warga yang menghalangi panel surya. Beberapa kerusakan kecil juga diperbaiki dengan menggunakan iuran masyarakat.
Namun sejak satu tahun belakangan warga enggan membayar penuh Rp15 ribu per bulan karena lampu hanya menyala 3 jam per malam. Dia menyebut ada yang membayar hanya Rp5 ribu hingga Rp10 ribu per rumah. Ini membuat iuran yang terkumpuk tak bisa begitu diandalkan untuk membiayai komponen seperti baterai.
Dukungan Pemerintah Provinsi yang Terbatas
Berdasarkan data di Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat dua unit PLTS yang dibangun pemerintah. PLTS di Desa Saponda Laut dibangun dengan menggunakan anggaran pendapatan belanja negara dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), sementara PLTS di Desa Saponda Darat menggunakan APBD dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pemerintah pusat.
PLTS di Desa Saponda Laut tercatat sebagai aset Kabupaten Konawe dan bukan lagi aset Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM. Namun informasi dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Konawe menyatakan unit PLTS di Desa Saponda Laut belum masuk dalam Kartu Inventaris Barang (KIB).
KIB merupakan dokumen resmi yang digunakan untuk mencatat aset tetap milik BPKAD Konawe. KIB berfungsi untuk mendokumentasikan aset dengan jelas, memantau kondisi dan status aset secara berkala, hingga meminimalisir risiko kerugian akibat hilangnya aset.
“Belum masuk dalam KIB Kabupaten Konawe kalau ada BAP penyerahan aset,” ujar Kepala BPKAD Konawe Santoso tanpa penjelasan lebih lanjut, melalui WhatsApp, 12 Desember 2024.
Sementara itu, Kepala Bidang Energi Terbarukan Dinas ESDM Provinsi Sultra, Dewi Rosaria Amin menyatakan bahwa PLTS di Desa Saponda Darat masih menjadi tanggung jawab pihaknya. Sedangkan PLTS di Desa Saponda Laut tercatat sebagai aset Pemerintah Kabupaten Konawe sehingga pemerintah provinsi tidak punya kewenangan untuk melakukan pemeliharaan maupun revitalisasi.
Sejak beroperasi pada tahun 2018, Dinas ESDM Provinsi Sultra sudah satu kali melakukan revitalisasi PLTS Desa Saponda Darat. PLTS ini masih beroperasi tetapi dayanya sudah mulai berkurang, selain karena usia baterai yang spesifikasi penggunaannya 5 tahun juga karena ulah beberapa warga yang melakukan loss stroom.
Untuk melakukan pemeliharaan lanjutan menurut Dewi masih terkendala penganggaran. Pada tahun 2025, Pemprov Sultra hanya menganggarkan sekitar Rp400 juta untuk pemeliharaan PLTS terpusat di Desa Taduasa, Buton Selatan. Ini menurut Dewi hanya cukup untuk desa tersebut, sedangkan aset Pemprov di desa lainnya harus menunggu penganggaran tahun berikutnya.
“Sementara ini kami sekali-sekali pergi melakukan monitoring dan evaluasi ke sana. Mereka juga kalau ada masalah menghubungi kami lewat operator mereka,” ujar Dewi.
Terkait iuran untuk pemeliharaan PLTS, lanjut Dewi, memang belum bisa diandalkan untuk mengganti komponen-komponen PLTS yang biayanya tergolong mahal. Besaran iuran sendiri ditentukan bersama oleh warga yang kemudian digunakan untuk honor pengurus PLTS, dan lain sebagainya.
Ke depan untuk keberlanjutan PLTS, yang sedang diupayakan adalah agar PLTS dapat dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Caranya, Pemprov menyerahkan aset kepada Pemerintah Desa melalui BUMDes.
“Nantinya itu akan menjadi usaha desa lewat BUMDesnya, mereka akan mengelola itu, termasuk yang menarik iuran kepada masyarakatnya untuk penggantian (komponen yang rusak). Kalau tidak cukup uang BUMDes-nya, mereka kan punya dana desa yang sekarang sudah bisa dipakai untuk energi. Konsep seperti itu yang ingin kami coba,” ujar Dewi.
Rencana itu belum terealisasi karena perlu ada kepastian apakan desa siap atau bersedia melakukan pengelolaan melalui BUMDes. Jika desa bersedia maka, Pemprov melalui Dinas ESDM dapat melakukan serah terima aset.
Senada dengan itu, Analis Kebijakan (Staf Fungsional), Kementerian ESDM, Harun Al Rasyid mengatakan pengelolaan pasca pembangunan PLTS oleh BUMdes merupakan sedang disinkronkan dengan Kementerian Desa.
“Kalau bisa memang kita mendorong kebijakannya bahwa pengelolaan PLTS ini dilakukan oleh BUMDesa,” ujar Harun ketika mengecek sekolah yang akan menerima bantuan PLTS rooftop di Pulau Saponda, 5 Desember 2024.
Pengelolaan oleh BUMdes sudah ada beberapa daerah di Indonesia yang pengelolaannya sudah maksimal dan ada juga yang tidak. Kendalanya masih sama adalah soal pengelolaan pasca pembangunan yaitu operasi dan pemeliharaan.
Dalam pengembangan energi terbarukan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (RUED-P) Sulawesi Tenggara.
Dewi menjelaskan di tingkat nasional ada kebijakan transisi energi, beralih dari energi fosil ke energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan melalui kebijakan energi nasional (KEN), yang lalu diturunkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), lalu turun lagi jadi RUED-P di tingkat provinsi.
“RUED tersebut hanya sampai provinsi, daerah kabupaten itu tidak memiliki RUED karena itu urusan konkuren (pembagian kewenangan). Kalaupun sampai di sana tidak ada yang akan melaksanakan itu karena tidak ada dinas ESDM di sana, jadi urusan energi cuma sampai provinsi di seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang 23 tahun 2014,” ucap Dewi.
Namun apa yang sudah diperdakan itu tak berjalan mulus. Misal dalam perda tersebut, pada pasal 12 bagian 6 tentang kebijakan harga, subsidi dan insentif energi, dilaksanak an strategi antara lain pada poin b adalah insentif penggunaan energi baru terbarukan.
Kendala awalnya, RUED-P tersebut belum mencantumkan rincian kegiatan seperti apa terkait insentif energi baru terbarukan. Selain itu Dinas ESDM juga terkendala kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah sehingga belum bisa membuat kegiatan terkait insentif tersebut.
Setelah adanya Peraturan Presiden tentang penambahan kewenangan sub bidang EBT, barulah kegiatan pemberian insentif dapat dilakukan. Namun demikian, Bidang Energi Terbarukan Dinas ESDM Provinsi Sultra masih terkendala ketersediaan anggaran.
“Kami masih coba untuk cari-cari informasi terkait jenis-jenis insentif yang bisa digunakan karena ini hal baru juga bagi kami,” ujar Dewi.
Berdasarkan realisasi bauran energi di Sulawesi Tenggara tahun 2023 masih diidominasi oleh batu bara sebanyak 76 persen, minyak bumi 19 persen, gas bumi 0 persen.
Sementara energi baru terbarukan (EBT) hanya 5 persen yang mencakup PLTS, pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH),hingga sumber energi listrik biomassa. Ini menurut Dewi sudah sangat mendekati target 5 persen lebih.
“PR” Pemerintah Pusat
Kebijakan transisi energi di Indonesia, dari sumber energi fosil ke energi terbarukan, termasuk sekaligus penyediaan listrik ke daerah pelosok untuk keadilan energi, masih perlu dievaluasi. Apa yang terjadi di Saponda merupakan contoh kecil dari tantangan yang dihadapi dalam implementasi program transisi energi, terutama dalam hal memastikan keberlanjutan PLTS.
Kebijakan transisi energi di Indonesia berangkat dari kesepakatan negara-negara dunia termasuk Indonesia menandatangani Perjanjian Paris (Paris Agreement), yang bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah 2°C, dengan usaha mencapai 1,5°C. Salah satu komitmen penting dalam perjanjian ini adalah mencapai Net Zero Emission (NZE) atau emisi karbon nol bersih.
Sebagai bagian dari komitmen global, Indonesia menyatakan akan mencapai NZE pada tahun 2060, atau lebih cepat dengan dukungan internasional. Langkah ini merupakan bagian dari upaya global untuk memitigasi dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan penurunan keanekaragaman hayati.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan ketergantungan tinggi pada energi fosil (batubara, minyak, dan gas), menghadapi tantangan besar dalam transisi menuju energi bersih. Maka salah satu kebijakan utama dalam mendukung transisi energi adalah pengembangan energi terbarukan, termasuk di dalamnya pembangunan PLTS.
Analis Kebijakan (Staf Fungsional), Kementerian ESDM, Harun Al Rasyid menjelaskan PLTS merupakan salah satu pembakit listrik energi baru terbarukan yang dapat mendukung program net zero emisi. Kemudian sesuai juga dengan undang-undang Dasar (UUD) 1945 bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan listrik warganya, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri ESDM tahun 2015 yang mengamanatkan pembangunan PLTS tetapi bukan menjadi suatu kewajiban. Sebab kewajibannya ada pada PLN sebagai pengelola dan penyedia energi listrik.
“Tetapi karena ada keterbatasan dari PLN tidak semua wilayah bisa dialiri listrik maka Kementerian ESDM masuk untuk membantu. Berdasarkan Kepmen tahun 2015 kami sudah mulai membangun PLTS, tujuannya energi listrik untuk penerangan,” ujar Harun ketika mengecek sekolah yang akan menerima bantuan PLTS rooftop di Pulau Saponda, 5 Desember 2024.
Sejak tahun 2015 PLTS dibangun oleh Kementerian ESDM dengan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) lalu dihibahkan ke pemerintah daerah. Termasuk PLTS yang ada di pulau Saponda, tidak lagi dalam pengelolaan Kementerian ESDM.
Dari Kementerian ESDM sendiri, lanjut dia, dari aspek aturan memang tidak diperbolehkan menganggarkan biaya operasi dan pemeliharaan PLTS yang sudah dibangun. Sebab Kementerian ESDM bukan sebagai pengelola ketenagalistrikan di Indonesia seperti PLN.
Nah yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) saat ini adalah pengelolaan pasca pembangunan yang akan menentukan masa depan PLTS. Dalam pengelolaan pasca pembangunan PLTS ini yang patut diperhatikan adalah biaya operator hingga penggantian komponen yang rusak.
“Ini yang coba kita sinkronkan dengan teman-teman ESDM Provinsi bersama dengan Kementerian Desa kalau bisa memang kita mendorong kebijakannya bahwa pengelolaan PLTS ini dilakukan oleh BUMDesa (Badan Usaha Milik Desa). Pelaksanaannya sudah ada beberapa yang maksimal,” ujar Harun.
Selain itu, soal keberlanjutan ini memang butuh komitmen pemerintah daerah untuk menganggarkan pemeliharaan PLTS dan pengelolaan yang baik dari masyarakat. Bila dua hal ini terpenuhi, Harun memastikan PLTS akan bertahan lama.
Selain itu, untuk keberlanjutan maka pengelolaan pasca pembangunan PLTS akan didorong untuk dilakukan oleh BUMdes. Saat ini kebijakan lintas kementerian sedang disinkronkan dengan Kementerian Desa.
“Kalau bisa memang kita mendorong kebijakannya bahwa pengelolaan PLTS ini dilakukan oleh BUMDesa,” ujar Harun ketika mengecek sekolah yang akan menerima bantuan PLTS rooftop di Pulau Saponda, 5 Desember 2024.
Pengelolaan oleh BUMdes sudah ada beberapa daerah di Indonesia yang pengelolaannya sudah maksimal dan ada juga yang tidak. Kendalanya masih sama adalah soal pengelolaan pasca pembangunan yaitu operasi dan pemeliharaan.
Program Transisi Energi Belum Demokratis dan Berkeadilan
Program transisi energi yang dicanangkan pemerintah Indonesia dianggap belum mencerminkan prinsip demokrasi dan keadilan. Trend Asia, sebuah organisasi yang fokus pada isu energi terbarukan, menilai bahwa salah satu solusi yang perlu ditekankan adalah desentralisasi energi di berbagai wilayah Indonesia.
Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengungkapkan bahwa transisi energi saat ini masih didominasi oleh kelompok elit. Menurutnya, hanya pihak tertentu yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan terkait transisi energi.
“Desentralisasi energi sebenarnya sudah ada, tetapi implementasinya masih perlu didorong. Fokus pemerintah selama ini, termasuk dalam mendukung Perjanjian Paris yang mendorong transisi energi terbarukan untuk mengurangi emisi tapi nyatanya yang dilakukan fokusnya pada energi yang masih ekstraktif,” ujar Beyrra.
Ia menjelaskan bahwa energi harus dikelola sebagai komoditas publik, dan desentralisasi memberikan peluang bagi kelompok masyarakat maupun pemerintah daerah/desa untuk mengelola energi secara mandiri, termasuk dalam distribusi dan pemanfaatannya.
Beyrra mencontohkan keberhasilan desentralisasi energi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Ciptagelar, Jawa Barat. PLTMH tersebut mampu memenuhi kebutuhan listrik warga sekaligus mendorong kemandirian energi.
“Energi yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk penerangan, tetapi juga mendukung aktivitas ekonomi seperti usaha laundry dan lainnya. Ini bukti nyata bahwa akses energi yang merata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Beyrra.
Ia juga menyebut PLTMH di Desa Gunung Halu, Jawa Barat, yang mendukung operasional pabrik pengolahan kopi oleh koperasi warga setempat. Menurutnya, konsep energi terbarukan yang berbasis demokrasi seperti ini telah terbukti meningkatkan kesejahteraan kolektif masyarakat.
“Energi terbarukan seharusnya mendorong ekonomi kolektif, bukan hanya menguntungkan satu atau dua pihak, apalagi sekadar untuk kepentingan bisnis,” tambahnya.
Meski pemerintah terus mendorong penggunaan energi terbarukan, Beyrra menilai bahwa implementasinya masih jauh dari prinsip keadilan. Ia menyebutkan bahwa tekanan internasional untuk bertransisi ke energi terbarukan kerap menjadi alasan utama dimasukkannya proyek energi terbarukan ke dalam program strategis nasional (PSN).
Namun, pelaksanaan PSN ini sering kali memanfaatkan lahan masyarakat tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Akibatnya, pembangunan energi terbarukan justru menimbulkan masalah baru bagi masyarakat yang terdampak langsung.
“Pemanfaatan energi terbarukan memang untuk mengurangi emisi dan mencapai target netral karbon. Namun, jika lahan masyarakat dirampas atau mereka dirugikan secara sosial dan ekonomi, itu bukan solusi yang berkeadilan,” tegasnya.
Beyrra juga mengingatkan bahwa tidak semua energi terbarukan benar-benar menjadi solusi atas krisis iklim. Menurutnya, solusi yang hanya mengganti sumber energi tanpa memperhatikan kesejahteraan manusia dapat menciptakan krisis baru.
“Kita menyelesaikan krisis iklim, tapi masyarakat malah dirugikan. Ini hanya akan menjadi bumerang,” pungkasnya. (**)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma