ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kisruh soal baliho Bupati Muna Barat Rajiun Tumada bertuliskan “Mai te Wuna-Amaimo Pada Ini!!!” yang dipasang di Kabupaten Muna dimediasi di Markas Komando (Mako) Satuan Brigade Mobile (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra), Senin (2/9/2019).
Dalam mediasi yang berlangsung tertutup itu, Rajiun Tumada hadir bersama Bupati Muna Rusman Emba. Komandan Satuan (Dansat) Brimob Polda Sultra Kombes Pol Joni Afrizal Syarifuddin menjadi penengah dalam pertemuan itu mewakili Kepala Polda Sultra Brigjen Pol Iriyanto.
Jurnalis dilarang meliput momen langka tersebut. Tidak diketahui pasti apa alasan pihak Brimob, sehingga belasan jurnalis hanya menunggu di lobi lantai bawah kurang lebih dua jam hingga mediasi tersebut berakhir.
Usai mediasi, Rajiun lebih dulu turun dari lantai II ruang aula pertemuan diikuti ajudan dan para kolega. Selanjutnya, Rusman Emba mengikuti dari belakang, lalu keduanya masuk ke dalam ruangan Kombes Pol Joni Afrizal Syarifuddin.
Sekitar pukul 13.00 Wita, Rusman yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) luput dari pantauan wartawan, yang meninggalkan Mako Brimob lebih awal. Selanjutnya, Rajiun Tumada pun keluar, hendak masuk ke dalam mobil, namun dicegat oleh awak media untuk dimintai keterangannya terkait mediasi.
(Baca Juga : Soal Baliho, Kapolres: Muna dan Mubar Adalah Saudara)
Rajiun mengatakan, persoalan “mai te Wuna-amaimo pada ini” merupakan hal yang sangat menarik, yang merupakan kreativitas pencinta Rajiun sebagai brand seperti “apapun makanannya, teh sosro minumannya”.
Kata Rajiun dalam pertemuan ini kedua pihak bersepakat akan melakukan pertemuan berikutnya ke tahap dua dengan mendatangkan ahli bahasa dari akademisi Universitas Halu Oleo (UHO). Menurutnya, sebelum ada pertemuan tahap kedua, tidak ada satu kegiatan pun yang dilakukan Pemda Muna tentang persoalan baliho mai te Wuna.
“Karena sudah disepakati tadi, bahwa tidak ada kegiatan tambahan baik penurunan dan sebagainya, sebelum ada pertemuan. Kami juga tidak akan melakukan silaturahim di Kabupaten Muna sebelum ada pertemuan,” ungkap Rajiun Tumada di Mako Brimob.
Pihaknya meminta dalam mediasi pertama tadi, akademisi dari UHO dapat memberi pendapat secara keilmuan yang dimiliki untuk menilai kata “mai te Wuna” itu. Hal itu jelas Rajiun, untuk menjawab apakah tagline itu adalah bagian yang tidak bisa digunakan oleh siapapun, sehingga harus disepakati dan diselesaikan bersama-sama.
“Kalau keputusannya bahwa tidak bisa, ya saya akan lakukan dengan legowo dan rasa terima kasih, kita turunkan kata mai te Wuna. Tapi kalau kemudian bahwa itu tidak ada persoalan berarti mari kita sepakati bersama, mari kita terima dengan dada yang lapang. Dan kemudian jangan bicara tentang emosional,” tegasnya.
Menurut Bupati Muna Barat ini, mediasi itu adalah langkah maju bagi kedua belah pihak untuk mencari titik terang dari persoalan tersebut untuk diselesaikan bersama, demi menjaga Muna yang damai, aman serta sejahtera untuk masyarakat kita secara keseluruhan.
(Baca Juga : Baliho Dibakar di Muna, Rajiun Center : Itu Tindakan Pengecut dan Panik)
“Olehnya itu mari kita dudukkan bersama dengan kata mai te Wuna. Saya kira ini lebih terang benderang dengan menghadirkan ahli bahasa,” pungkasnya.
Selanjutnya, Bupati Muna Rusman Emba saat disambangi di kediamannya membeberkan, ada pemahaman berbeda antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muna dengan Rajiun Tumada. Kata Rusman, mai te Wuna diasumsikan bahwa itu adalah konteks kata ke kata, semantik dan memiliki filosofi yang dalam.
Kemudian, lanjut Rusman, kata mai te Wuna sudah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Baginya, Rajiun memahami RPJMD secara kontekstual tertulis nama “mai te Wuna”, padahal di penjabaran itu sudah dijelaskan bahwa mai te Wuna itu adalah tagline dalam rangka menarik wisatawan, juga menarik investasi.
“Kemudian disimpulkan kata mai te Wuna ini dan amaimo pada itu mengandung makna yang dalam menurut versi kami. Dan itu sudah diputuskan di forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) bahwa itu bisa jadi pemicu konflik di tengah-tengah masyarakat,” ujarnya.
Mengenai permintaan Rajiun untuk menghadirkan ahli bahasa demi mencari titik temu, pihak Rusman mengapresiasi itu namun dengan satu syarat yakni semua kegiatan-kegiatan yang sifatnya politis tidak boleh dilakukan di Muna. Bahkan Silaturahmi juga tidak boleh dilakukan.
“Jadi sebetulnya kami pemerintah Kabupaten Muna menertibkan baliho-baliho yang mempunyai potensi konflik yang besar di masyarakat, jadi itu kita sepakati bersama. Balihonya no problem, tapi tulisan ‘mai te Wuna-amaimo pada’ itu yang tidak bisa. Itu memicu konflik,” tandasnya.
Lebih rinci, mantan anggota DPD RI Dapil Sultra itu memaparkan, tulisan di baliho rajiun itu sangat bernada provokatif, karena di ujungnya ada tiga tanda seru. Menurutnya, tanda seru itu tidak bisa diterjemahkan, bahwa ketika ada tanda seru, berarti ada sifat penegasan, ada sifat pemaksaan.
“Sehingga kami berasumsi seakan-akan dia ingin menunjukkan pertarungan di situ, bahasa kasarnya perkelahian, kalau itu dimaknai dalam bahasa Muna,” tegasnya.
Dia mengatakan, soal baliho yang masih terpajang, Pemkab Muna masih berinisiatif baik, karena menghargai forum dengan kesepakatan untuk menghadirkan ahli bahasa. Di ruang itu akan didiskusikan.
Walaupun sebetulnya, tutur Rusman, untuk memahami filosofi tagline itu perlu ditanyakan pada yang membuatnya, apalagi Pemkab Muna sudah launching. Kata Rusman, itu berarti sebetulnya menjadi ranahnya pemerintah daerah, tidak harus diperdebatkan.
“Tapi karena kita menghargai forum, sehingga kita menunggu waktunya. Tapi dengan syarat, semua kegiatan-kegiatan politik tidak boleh dilakukan di Muna,” tutupnya.
Dansat Brimob Polda Sultra Kombes Pol Joni Afrizal Syarifuddin saat ditemui, tidak mau berkomentar soal agenda mediasi ini. Apalagi kegiatan ini berlangsung tertutup bagi media. (B)
Hahahah kayak anak kecil ee yang lagi berantam dan dinasehati dengan bapaknya…