ZONASULTRA.COM, KENDARI – Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi Tenggara (Sultra) dan dijadikan sebagai simbol dari daerah ini. Lantas, seperti apakah kehidupan satwa dilindungi ini di Bumi Anoa? Kali ini zonasultra.id akan membahas tentang kehidupan anoa daratan yang hidup di Taman Nasional (TN) Rawa Aopa Watumohai.
Selepas melewati gerbang TN Rawa Aopa Watumohai dan memasuki poros Tinanggea, Konawe Selatan (Konsel) – Lantari Jaya, Bombana, pemandangan pertama yang akan ditemui pengunjung adalah hamparan savana luas di sisi kiri kanan jalan. Di salah satu sisi jalan, hamparan ini berpadu dengan panorama hutan mangrove yang tampak menghijau. Nah, di ekosistem inilah anoa dataran rendah (Anoa depressicornis) hidup. Satwa ini memerlukan perhatian berbagai pihak agar dapat bertahan hidup dan tetap lestari.
Anoa dataran rendah atau dalam bahasa lokal Tolaki dikenal sebagai Kadue merupakan satwa endemik Sulawesi. Di Sultra, Anoa tidak hanya menjadi simbol dan logo daerah, tetapi juga menjadi kebanggaan daerah. Bumi Anoa merupakan penyebutan lain untuk provinsi di bagian tenggara Pulau Sulawesi ini.
Gambar kepala anoa menghiasi hampir setiap perkantoran instansi pemerintah daerah. Sayang, di habitat alaminya kondisi anoa tak seperti harapan. Wilayah penyebaran utamanya saat ini tersisa di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengu dan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Di banyak kawasan lainnya, satwa ini dilaporkan telah menghilang.
Kepala Balai TN Rawa Aopa Watumohai Ali Bahri menjelaskan, anoa dataran rendah dengan mudah dapat dibedakan dari anoa pegunungan berdasarkan ciri fisiknya. Anoa pegunungan warna kulitnya mirip sapi bali, sedangkan penampilan luar anoa dataran rendah menyerupai anak kerbau. Warna bulunya agak gelap dan tanduknya runcing.
Arah tanduk lurus terhadap garis muka. Ini memungkinkan gerakan menusuk sekaligus mengungkit obyek di depannya. Efek tandukannya jauh lebih berbahaya dibanding sapi atau kerbau yang bertanduk lengkung karena tanduk lengkung lebih berfungsi sebagai alat pendorong dibanding penusuk atau pengungkit.
Untuk kategori mamalia, satwa yang menempati posisi paling diprioritaskan menurut Permenhut No. P.57/Menhut-II/2008 ini masuk dalam Apendiks I CITES. Satwa ini menempati posisi puncak untuk 5 kriteria, mencakup endemisitas, status populasi, kondisi habitat, keterancaman, dan status pengelolaan spesies.
Karakteristik Habitat
Survei anoa dataran rendah di TNRAW secara intensif telah dilakukan sejak tahun 2011 silam. Kegiatan ini pun kembali dilakukan pada tahun 2018 untuk mengetahui perkembangan terkini. Pendataan satwa anoa masih mengandalkan pengenalan terhadap jejak kaki, kotoran, kubangan, dan pagutan. Hampir seluruh blok hutan yang teridentifikasi sebagai daerah jelajah anoa dikunjungi.
Satwa bermarga Bubalus ini memiliki penyebaran utama pada hutan mangrove dengan luasan kurang lebih 2.098 hektare atau sekitar sepertiga dari luas total ekosistem Mangrove TNRAW sekitar 6.123 hektare.
Kekayaan vegetasi mangrove TNRAW yang dihuni anoa dataran rendah adalah yang terbaik di Pulau Sulawesi. Ketebalan mangrove dari bibir laut berkisar 2-7 km, sedangkan panjang garis pantainya lebih dari 23 km.
Salah satu dosen Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Analuddin dalam penelitiannya tahun 2013 menyatakan bahwa hutan mangrove TNRAW didominasi oleh 4 jenis mangrove sejati, yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Lumnitzera littoria dan Ceriops tagal. Jenis seperti Rhizophora apiculata, Lumnitzera littoria dan Ceriops tagal mendominasi vegetasi dekat daratan. Di bagian tengah, jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata. Untuk daerah pantai jenisnya lebih bervariasi.
Kawasan mangrove yang menjadi habitat anoa cukup mudah dikenali. Mereka menyukai area terbuka atau hutan mangrove dengan sedikit vegetasi. Area dengan lapisan lumpur yang dalam tidak disukai anoa. Mereka lebih memilih tanah berpasir yang kering atau sedikit berlumpur. Lumpur yang tebal menyulitkan anoa berjalan atau mencari makan. Dengan karakteristik ini, anoa lebih banyak dijumpai pada kawasan yang ditumbuhi tangir (Ceriops tagal).
Tidak seperti kepercayaan banyak orang yang melihat anoa sebagai binatang berbahaya, tim survey Balai TNRAW membuktikan hal sebaliknya. Jangankan untuk menanduk, sebelum terjadi perjumpaan langsung dengan manusia, anoa cenderung untuk menghindar. Daya penciuman anoa cukup kuat. Mereka mudah mengenali kehadiran manusia. Perjumpaan langsung yang selama ini terjadi lebih bersifat tak disengaja, berlangsung sangat cepat, dan anoa yang merasa kaget akan segera melarikan diri.
Perilaku Anoa
Anoa memiliki preferensi makanan pada rumput muda dan pucuk daun tumbuhan penghuni mangrove. Pada musim penghujan, mereka mengunjungi savana mencari makanan. Anoa juga memakan rumput-rumputan di tanah kering hutan mangrove. Mereka menyukai rumput teki dan alang-alang.
Pucuk-pucuk daun muda tangir (Ceriops sp), Lumnitzera littoria dan bakau (Rhizophora sp) juga disukai anoa. Tumbuhan yang dimakan biasanya masih muda atau berupa semai. Daun muda selain masih segar juga tidak terlalu tinggi sehingga mudah dijangkau.
Anoa biasa mencari tempat berkubang pada tanah-tanah kering di sekitar rawa. Tempat yang paling disukai adalah tanah berpasir berdekatan dengan semak atau pepohonan. Bentuk lubang mendekati elips. Ini berbeda dengan kebanyakan kubangan babi di mana mereka senang memilih tanah berlumpur dan menyisakan tanah terhambur.
Ukuran tempat berkubang berkisar 1-2 m dengan lebar 30-100 cm. Kedalamannya berkisar 10-30 cm. Tempat berkubang dijumpai tunggal, meskipun terkadang berkelompok. Ini bisa menjadi tanda preferensi memilih tempat berkubang. Lubang bekas anoa juga dijumpai pada daerah berpasir.
Terkadang letaknya agak jauh dari rawa. Kemungkinan lubang ini dimanfaatkan sebagai tempat beristirahat atau berbaring. Mereka memilih tanah yang kondisinya kering, berpasir, vegetasi lebih mirip ekosistem hutan, struktur hutan pendek, dan kondisi kerapatan vegetasi rendah.
Anoa dataran rendah umumnya dijumpai soliter, namun terkadang juga berjalan berkelompok. Perilaku soliter terutama terjadi pada anoa kelas umur remaja. Pada bulan September 2014, petugas mengidentifikasi perilaku berkelompok 3 ekor, terdiri atas 1 induk jantan, 1 induk betina dan 1 ekor anak. Bulan sebelumnya, nelayan setempat juga melaporkan adanya perjumpaan langsung dengan jumlah anggota kelompok 5 ekor. Mereka melihat koloni anoa tersebut ketika sedang mencari ikan dan kepiting.
Perilaku unik koloni terlihat dari cara jalannya. Anak anoa biasa berjalan beriringan dengan induk betina. Posisi anak berada di sebelah kiri/kanan dengan pola yang konsisten. Anoa pejantan memiliki pola pergerakan yang tidak teratur. Bentuk lintasan jalannya berupa garis zig-zag. Terkadang posisi jantan di sebelah kanan dan terkadang di sebelah kiri induk betina.
Anoa menyukai daerah-daerah yang berdekatan dengan genangan air, namun enggan untuk menyeberangi sungai. Mereka baru menyeberang kalau jalur jelajahnya melewati sungai kecil atau genangan air. Pola ini teridentifikasi pada survei bulan Oktober 2014 di mana jejak-jejak anoa terlihat menyusuri pinggiran genangan air, padahal perairan tersebut cukup dangkal.
Perilaku unik lainnya terlihat ketika mereka memilih jalan berangkat dan kembali. Pola jejak anoa arahnya berlawanan. Pada jalur yang sama jejaknya saling tumpang tindih, sehingga dari jauh jalur ini akan terlihat hanya satu. Apabila diamati dengan seksama, jalur itu ternyata telah dilintasi berkali-kali.
Pemilihan lintasan yang sama ini juga terjadi pada jalur-jalur yang berbentuk menikung, elips, zig-zag dan patah-patah (persegi). Anoa juga kurang tertarik untuk berjalan potong kompas untuk jalur-jalur menikung. Faktor behavior mendorong anoa memilih jalur jelajah yang sama dalam area tertentu.
Populasi
Keberadaan satwa yang sangat bernilai ini ternyata belum berbanding lurus dengan status populasinya di alam. Pada tahun 2017, 5 blok hutan yang ditempati jalur sitemonitoring anoa dataran rendah teridentifikasi dihuni anoa 10 sampai dengan 14 ekor. Site tersebut idealnya dapat menampung lebih dari 30 ekor anoa. Ada kemungkinan sebagian anoa belum melintasi sitemonitoring saat pengamatan dilakukan. Populasi yang rendah dan keberadaan yang mulai terdesak oleh aktivitas manusia memerlukan upaya konservasi secara simultan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ali Bahri menambahkan, TN Rawa Aopa Watumohai menargetkan peningkatan populasi anoa dataran rendah selama 5 tahun ke depan. Upaya ini dilakukan menyusul penetapan anoa sebagai salah satu dari 25 jenis spesies target Kementerian Kehutanan tahun 2015 hingga 2019. (A/SF)