Mensyukuri Rezeki Lewat Tradisi Bhatandaa Buton

Mensyukuri Rezeki Lewat Tradisi Bhatandaa Buton
Tari bhatanda dalam tradisi bhatandaa yang dilakukan oleh pria dan wanita. (Gambar: Youtube @amransapati8871)

ZONASULTRA.ID – Pulau Buton merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menyimpan banyak keragaman budaya, tradisi, dan adat istiadat. Salah satunya adalah tradisi bhatandaa.

Bhatandaa berkembang dalam masyarakat etnis Cia-Cia Laporo di Kabupaten Buton. Pada zaman dulu, sambil menunggu jagung menguning, masyarakat setempat melakukan tradisi bhatandaa.

Setelahnya, baru dilaksanakan maatano mambio atau pesta panen jagung. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk syukur kepada Tuhan atas rezeki melimpah yang diberikan kepada para petani.

Bhatandaa dilaksanakan di dalam baruga atau rumah adat dan dilaksanakan 40 hari setelah menanam jagung. Tetapi pada masa sekarang, pelaksanaan bhatandaa hanya dilakukan empat kali sebulan pada setiap malam minggu. Pelaksanaannya setelah salat Isya hingga sebelum salat Subuh.

“Dulu itu pelaksanaannya tiap malam, tapi setelah perkembangan zaman dan banyak kesibukan, akhirnya dilaksanakan hanya malam minggu karena minggu itu libur,” ungkap penggiat seni di Buton, Muhamad Amran.

Menurut Amran, selain untuk menunggu waktu panen jagung, tradisi bhatandaa juga kerap dijadikan ajang mencari jodoh para muda-mudi zaman dulu. Pasalnya, para muda-mudi akan berkumpul di rumah adat dan bisa saja dari pertemuan tersebut ada yang saling jatuh cinta.

Bahkan bhatandaa bisa diartikan sebagai babado kotandano diatino anamohane maikalambe yang artinya pandangan pertama antara pemuda-pemudi yang dapat menumbuhkan benih-benih cinta.

Sebelum pelaksanaan bhatandaa, masyarakat adat suku Cia-Cia Laporo melakukan musyawarah terlebih dahulu untuk menentukan waktu pelaksanaan bhatandaa dan pesta panen jagung.

Setelah melakukan musyawarah dan waktunya telah ditentukan, masyarakat adat kemudian melakukan haroa atau baca doa. Di sinilah tokoh adat menunjuk tiga pasang muda-mudi yang akan berperan sebagai tokoh adat dan istrinya saat pelaksanaan bhatandaa, yakni satu pasang ditunjuk sebagai parabhela, satu pasang ditunjuk sebagai moji, dan satu pasang ditunjuk sebagai waci. Tiga pasang kaum muda-mudi ini dinamai kalemba-lemba.

BACA JUGA :  Kisah Istri Jurnalis Sodli Soleh yang Dipecat sebagai Honorer di DPRD Buteng

Pada tiap pelaksanaan tradisi bhatandaa, kalemba-lemba dari kaum laki-laki menjemput pasangannya terlebih dahulu untuk kemudian bersama-sama ke rumah adat.

Mensyukuri Rezeki Lewat Tradisi Bhatandaa Buton
Gerakan tari bhatanda yang ditampilkan oleh wanita. (Gambar: Youtube @amransapati8871)

Penjemputan dan pengantaran ke rumah adat dilakukan secara beramai-ramai oleh keluarga kalemba-lemba. Dari sinilah bisa saja ketiga pasangan tersebut ada yang benar-benar saling jatuh cinta.

Tari Bhatanda

Tari bhatanda merupakan pembuka dari tradisi bhatandaa. Tarian ini menjadi hal wajib yang harus ada dalam setiap pelaksanaan bhatandaa.

Tari bhatanda bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, namun tidak ditarikan secara bersamaan, melainkan secara individu, bergantian antara laki-laki dan perempuan hingga pagi hari. Tarian ini juga bisa dilakukan oleh anak-anak, anak muda, maupun orang tua.

“Misalnya laki-laki duluan baru setelah itu perempuan, istilahnya bergantian masuk. Terus perempuan itu bisa menari lebih dari satu orang, tapi laki-laki hanya satu orang saja,” terang Amran yang juga Ketua Sanggar Seni Sapati Buton.

Properti yang digunakan dalam tarian ini adalah selendang atau dalam bahasa setempat disebut samba. Setiap penari, baik laki-laki maupun perempuan dilengkapi dengan samba. Sementara busana penari adalah pakaian adat Buton yang bawahannya juga menggunakan sarung tenus khas Buton.

Adapun alat musik yang dipakai mengiringi tarian bhatanda ini yaitu gendang dan gong. Gerakan tari bhatanda dilakukan dengan 4 langkah kaki dan harus bersamaan dengan bunyi gendang dan gong.

Kemudian selendang atau samba diletakkan secara bergantian, yang pertama di depan, kedua di belakang dan ketiga dipunggung. Akan tetapi sebagian besar kaum laki-laki menambahkan dengan menggenggam samba.

Tari bhatanda juga diiringi oleh pantun atau kabhanci. Namun, dalam tradisi ini, orang yang melantunkan pantun adalah orang yang sama dengan yang memukul gendang. Mereka disebut Pande Mkaole.

Pande Mkaole melantunkan kabhancinya sebanyak tiga kali dengan kabhanci yang berbeda. Kabhanci pertama dilantunkan dari sekitar pukul 21.00 atau 22.00 s/d pukul 00.00 atau 00.30 WITA. Kabhanci kedua dilantunkan dari pukul 00.30 s/d pukul 02.00 atau 02.30 WITA. Sedangkan kabhanci ketiga dilantunkan dari pukul 02.30 s/d 04.00 WITA.

BACA JUGA :  Cerita Korban Selamat Fungka Permata V Asal Wakatobi

Tetapi pada prinsipnya tiap-tiap kabhanci yang dilantunkan harus diselesaikan baru kemudian masuk pada kabhanci berikutnya dan waktunya pun tidak menentu.

Menurut Amran, saat ini tari bhatando masih sering ditampilkan dalam berbagai event budaya, bahkan kerap juga diperlombakan untuk tetap melestarikan tarian tradisi ini.

Kabhanci sebagai Sarana Menyampaikan Gagasan

Kabhanci (nyanyian atau syair) yang dilantunkan ketika tari bhatanda hanyalah salah satu jenis kabhanci pada masyarakat Ciacia Laporo. Dua jenis kabhanci lainnya adalah kabhanci mangu-mangu yang dilantunkan ketika menari linda dan ngibi (pajoge) dalam tradisi maataa dan pesta perkawinan. Sementara kabhanci kambata dilantunkan ketika sesudah makan dalam tradisi maataa dan saat menanam jagung.

Mensyukuri Rezeki Lewat Tradisi Bhatandaa Buton
Gerakan tari bhatanda yang ditampilkan oleh pria. (Foto: Muhamad Amran)

Berdasarkan informasi dari prosiding seminar nasional “Pemberdayaan Bahasa dan Sastra Daerah Sultra dalam Membangun Karakter Masyarakat Multlkultur” yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Sultra, kabhanci dalam masyarakat Ciacia Laporo sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Nilai-nilai kearifan lokal itu kemudian menjadikan masyarakat Ciacia Laporo untuk menjadikan kabhanci sebagai media sosial untuk menyampaikan gagasan atau pemikirannya. Gagasan atau pemikiran itu diwujudkan dengan mengambil perumpamaan dari alam yang berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan makhluk lain yang ada di sekitar penutur atau komunitas masyarakat Ciacia Laporo.

Dalam menyampaikan nasihat, sindiran, dan fenomena sosial yang ada, masyarakat Ciacia Laporo tidak secara langsung disampaikan. Masyarakat Ciacia Laporo menggunakan sindiran lewat kabhanci yang kemudian siapa saja yang menjadi sasaran kabhanci merenung dan merefleksi dirinya. Bagaimana dalam keseharinnya ia bersikap.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kabhanci juga dijadikan oleh masyarakat Ciacia Laporo sebagai petunjuk oleh siapa saja dalam menentukan calon pendamping hidupnya. Termasuk bagaimana membina persaudaraan, kebersamaan, dan keadilan. (*)

 


Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini