Menyimak Sisi Gelap Kehidupan Nelayan Mandiodo, Dampak Aktivitas Tambang PT Wanagon dan PT Sangia

Menyibak Sisi Gelap Kehidupan Nelayan Mandiodo, Dampak Aktivitas Tambang PT Wanagon dan PT Sangia
PENCEMARAN LINGKUNGAN – Seorang warga desa Mandiodo menunjukkan bangkai seekor ikan yang ditemukan di pinggi pantai di desanya. Bangkai ikan putih ini terlihat sudah berubah warna kemerahan setelah terpapar sedimentasi bahan galian tambang milik PT WAI dan PT Sangia. (Jefri Ipnu/ZONASULTRA.COM)

Menyibak Sisi Gelap Kehidupan Nelayan Mandiodo, Dampak Aktivitas Tambang PT Wanagon dan PT Sangia PENCEMARAN LINGKUNGAN – Seorang warga desa Mandiodo menunjukkan bangkai seekor ikan yang ditemukan di pinggi pantai di desanya. Bangkai ikan putih ini terlihat sudah berubah warna kemerahan setelah terpapar sedimentasi bahan galian tambang milik PT WAI dan PT Sangia. (Jefri Ipnu/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, WANGGUDU – Panas mentari siang itu menyengat kulit. Semilir angin laut yang berlomba dengan sapuan ombak di pasir, terasa tak mampu mengusir hawa panas. Di bawah pohon ketapang laut, tampak sejumlah nelayan tengah bermasalan. Sebagian diantara mereka bertelanjang dada.

Jika tak hujan, bersenda gurau di bawah pohon ketapang menjadi rutinitas baru bagi nelayan di desa Mandiodo, kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut).

Bukannya enggan melaut, tapi mereka memang tak tau kemana lagi harus melempar jaring. Wilayah kelola mereka tergerus aktivitas tambang yang akhirnya mencemari sumber air dan pesisir laut di desa itu.

Kini, nasib ratusan nelayan di desa Mandiodo seakan tergadai akan kepentingan sesaat. Keinginan mereka akan hasil tangkapan ikan yang melimpah, kini mereka diperhadapkan pada kenyataan pahit, hampir semua wilayah pesisir di desa itu sudah tak ada ikan yang bisa mereka tangkap.

“Air laut keruh. Sepertinya, semua ikan sudah tidak ada di dekat sini,” kata Yunus, nelayan di Mandiodo, Sabtu (5/8/2017).

Yunus, menggeluti hidupnya dengan mengandalkan penghasilan dari menangkap ikan di laut. Sejak usia muda, ia telah mamantapkan dirinya menjadi nelayan. Tak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan sebagai sumber penghasilan.

Di masa muda, pria paruh baya itu melakoni kehidupan nelayan dengan sempurna. Pagi atau sore hari menangkap ikan. Kemudian ia jual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menangkap ikan pun saat itu, sangat mudah. Cukup melempar jaring di hamparan laut yang ada di depan rumahnya, ia sudah akan mendapatkan ikan.

Menyimak Sisi Gelap Kehidupan Nelayan Mandiodo, Dampak Aktivitas Tambang PT Wanagon dan PT Sangia“Dulu, mau cari ikan gampang sekali. Lempar saja jaring di depan rumah, pasti dapat ikan,” kenangnya.

Kini, kenikmatan hidup Yunus seolah dirampas. Sejak satu terakhir, ia menyadari, kalau peluang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak, harus dilakukan di areal laut terbuka. Tempatnya sangat jauh dari desanya.

Ia harus mendayung perahu menuju Pulau Meong dengan jarak tempuh hingga 3 jam dari desanya. Padahal, dulunya para warga nelayan hanya memasang pukat sekiter 50 meter dari air laut dan hasilnya sangat melimpah.

Ramang, rekan Yunus, juga mengakui itu. Sekarang mereka sudah menggunakan perahu motor (katinting) untuk menangkap ikan. Tapi, tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong. Tak ada ikan yang nyangkut dijaring mereka.

Dulu, dari ikan hasil tangkapannya, Ramang mampu mendapatkan uang hingga Rp. 3 juta setiap hari. Seringkali ia tak memiliki hasl sama sekali.

Jika sudah begitu, maka ia akan semakin bingung memikirkan cara ia bisa membayar bahan bakar yang dihutangnya sebelum berangkat mencari ikan.

“Menderita pak kita mau cari ikan di pingggir laut, karena sudah tidak adami. Gara-garanya itu air laut merah. Pas akitf tambang untuk makan saja susah,” keluh Ramang.

Ia menyadari, perubahan jarak tangkap itu dimulai sejak adanya aktivitas penambangan nikel di blok Mandiodo milik PT Wanagon Anoa Indonesia (WAI) dan PT Sangia.

Aktivitas dua perusahaan tambang itu dinilia menjadi sebab tercemarnya perairan laut desa Mandiodo. Bahkan, air sungai Watiwa sebagai sumber air minum warga setempat juga sudah tercemar. Airnya menjadi merah.

Ramang dan Yunus merupakan dua contoh nasib ratusan warga Mandiodo lainnya yang menjadi korban aktivitas PT WAI dan Sangia.

Kondisi mereka kian terupuruk, karena para nelayan ini kebingungan mencari lapangan kerja. Ini harus mereka lakukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup anak dan isrtinya.

Mirisnya, bantuan untuk masyarakat nelayan yang diharapkan dari dua perusahaan tambang itu juga tak ada.

“Anak saya satu pak, dulu kalau saya melaut sekitar pinggir pantai kalau kita pasang pukat banyak kita dapat. Kalau dijul bisa dapat uang Rp 400 sampai 600 ribu. Selama ada tambang, kami mulai kesusahan. Untuk makan saja, susah mi kita dapat ikan. Kalupun dapat ikan dan dijual, harganya paling tinggi Rp 20 ribu saja,” keluh Anton, tetangga Ramang.

Melaut adalah sumber mata pencaharian 60 persen masyarakat Mandiodo. Sejak turun terun ratusan warga diwilayah itu menggantungkan hidupnya dari hasil laut hingga untuk membiayai sekolah anak mereka.

Sejumlah warga mengajak awak ZONASULTRA.COM untuk melihat air laut yang sudah dicemari oleh kedua perusahaan itu. Jaraknya hanya 100 meter dari perumahan warga. Di tempat itu, terlihat satu ekor ikan putih dalam keadaan mati. Bangkai ikan ini sudah berubah warna menjadi kemerah-merahan.

“Lihatmi ini ikan mati, ini salah satu contoh dampak yang ditimbulkan akitfitas penambangan ini. Air laut merah dan keruh. Padahal, ini belum pernah terjadi sebelum ada tambang di atas sana,” sebut Ramang.

Desa Mandiodo terletak di bagian timur kecamatan Molawe, kabupaten Konawe Utara (Konut). Desa ini dihuni oleh 193 kepala keluarga (KK). Sebagian diantara mereka adalah nelayan

Banyak warga menilai, aktivitas PT WAI dan Sangia telah merusak sumber air minum mereka di Sungai Watiwa serta menghilangkan sumber mata pencaharian nelayan, karena pesisir laut di desa itu kini dipenuhi lumpur merah bercampur tanah.

Perubahan warna air yang terjadi diduga akibat penambangan lahan gunung yang dilakukan oleh dua perusahaan itu dengan mengeruk tanah dan mengambil bijih nikelnya.

Namun dalam praketknya, rupanya kedua perusahaan ini tidak menerapkan prinsip penambangan yang baik. Sebab, di sepanjang jalan dari areal penambangan hingga di pelabuhan pengangkutan, banyak dijumpai tanah merah yang tertumpah dari atas kendaraan tambang.

Tak hanya itu, karena pengelolaan tambang yang buruk oleh dua perusaan itu, air sungai Watiwa kini dipenuhi sedimentasi lumpur yang berasal dari lahan pertambangan.

Menyimak Sisi Gelap Kehidupan Nelayan Mandiodo, Dampak Aktivitas Tambang PT Wanagon dan PT SangiaIni diperkuat dengan pendapat Imam, warga desa Mandiodo. Menurutnya, sumber sedimentasi itu berasal dari lahan tambang PT WAI dan PT Sangia. Letaknya di perbukitan, tepat diatas pemukiman warga desa

Di musim hujan, kondisi air akan semakin keruh. Tak bisa digunakan, walau untuk mencuci pakaian. Air hujan yang jatuh dari atas perbukitan kini langsung turun melalui sungai, hingga ke pesisir.

“Disana pak dibawa pohon tempatnya dulu warga berkumpul untuk mengambil air. Sungai itu digunakan oleh warga desa Mandiodo dan Mowundo. Dulu, airnya jernih sekali, bisa lagnsung diminum tanpa dimasak dulu,” terang Imam.

Namun kondisi itu tentu tak bisa berulang lagi. Air sungai Watiwa kini tak bisa dikonsumsi sama sekali, walau dimasak sekalipun. Dan itu terjadi akibat ulah dua perusahaan itu.

Selain sumber air dan pesisir laut tercemar, fasilitas jalan umum di desa itu juga dirusak oleh hilir-mudik kendaaran perusahaan tambang. Ruas jalan sepanjang puluhan kilo meter, rusak parah. Di atas badan jalan dipenuhi lumpur. Belum lagi di sana-sini terdapat lubang setinggi betis orang dewasa.

Dua buah jembatan yang menghubungkan desa Mandiodo dengan dunia luar juga rusak parah. Kondisnya rapuh dan nyaris roboh.

Kata sejumlah warga, kedua jembatan itu mulai rusak setelah kendaraan tambang mulai lalu lalang setiap hari. Walau rusak, namun tak ada inisiatif kedua perusahaan tambang itu untuk memperbaiki jembatan tersebut.

Namun yang jauh memprihatinkan, sikap penerimaan Slamet Riyadi sebagai Kepala Desa Mandiodo kepada kedua perusahaan tambang itu sangat besar.

Kata dia, seluruh masyarakatnya sudah mendapat bantuan CSR senilai Rp 7,5 juta per satu kapal tongkang ore nikel yang menjual pihak perusahaan. Dari nilai itu, Slamet membaginya ke 193 KK yang ada di desanya.

“CSR itu dibagi merata per KK dapat Rp 39 ribu saja,” kata Slamet.

Lalu, kapan derita warga Mandiodo akan berakhir? Kini wilayah kelola dan sumber air masyarakat desa itu telah rusak. Praktis, ancaman kemiskinan mulai mengintip mereka. Belum lagi bahaya banjir dan tanah longsor yang sewaktu-waktu akan merusak rumah warga. (A)

 

Penulis: Jefri Ipnu
Editor: Abdul Saban

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini