ZONASULTRA.COM, KENDARI – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) menemukan fakta terjadi aktivitas penambangan ilegal di blok Matarape, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara sejak Maret 2020.
Blok Matarape sendiri merupakan kawasan yang kini berstatus quo dan tidak ada satu pun perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di lokasi yang dulunya milik PT Inco atau PT Vale Indonesia itu.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra Saharuddin membeberkan, akibat aktivitas ilegal di sana, hutan seluas 100 hektar digunduli untuk mengeruk bijih nikel oleh dua perusahaan.
Meski, wilayah itu sudah diberi garis polisi oleh Markas Besar Polri pada Februari lalu. Tapi, kata Walhi, dua perusahaan itu tetap saja berani melakukan penambangan ilegal.
“Sudah ada dua perusahaan yang kami kantongi dalam proses jual beli dokumen. Selama ini sudah jadi rahasia publik, semua orang tahu tapi untuk membuktikannya susah. Ternyata kalau itu dicoba bisa ditemukan,” ungkap Saharuddin di Kendari, Kamis (16/7/2020).
Kedua perusahaan itu melakukan penambangan ilegal dengan menggunakan dokumen surat keterangan verifikasi (SKV) dari IUP perusahaan lain yang dibayar senilai 3 dolar Amerika per ton. Ore nikel itu telah diangkut sebanyak lima kali pengapalan.
“Tidak mungkin (ore) bisa keluar kalau tidak menggunakan dokumen lain. Bagaimana bisa keluar pelabuhan kalau dia tidak punya dokumen legal sumbernya. Maka dia pake dokumen lain yang punya kuota tambang,” kata dia.
Walhi menyatakan, dari hasil investigasi itu negara telah dirugikan. Sebab tak ada pendapatan finansial. Sementara, lingkungan telah rusak dan bahkan telah terjadi bencana banjir di Konawe Utara yang akan berkepanjangan.
Dua Oknum Polisi Diduga Jadi Beking
Saharuddin mengaku mendapatkan sejumlah teror dan intimidasi berupa larangan untuk bersuara mengenai penambangan ilegal di blok Matarape dari dua orang oknum polisi berinisial Kombes H dan Iptu MT.
MT, menurut Saharuddin diperintahkan oleh H untuk melakukan komunikasi dengannya melalui mantan Direktur Walhi berinisial H. Keduanya juga mencoba memfasilitasi untuk bertemu dengan disebut sebagai ‘orang istana’ berinisial BC dan beberapa pihak yang terlibat dalam masalah di Matarape.
“Karena kan mereka bekerja di sana. Dia menawarkan untuk bekerja di blok Matarape. Walhi disuruh kerja di sana, untuk menambang, luar biasa. Tapi saya tolak mentah-mentah, dia terus memaksa bertemu,” kata Saharuddin.
Dirinya meminta Propam dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Markas Besar Polri untuk memeriksa oknum polisi yang diduga membekingi penambangan ilegal di wilayah eks Inco.
Instansi Terkait Diduga Lakukan Pembiaran
Walhi menuding sejumlah instansi terkait yang berwenang sengaja membiarkan aktivitas pertambangan di blok Matarape. Salah satunya Polda Sultra. Pasalnya, polisi menurut Udin, mengetahui terjadinya penambangan ilegal namun tak satu pun dalang yang ditangkap.
Pembiaran juga dilakukan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra yang tidak melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi atas aktivitas ilegal di sana. Berikutnya dinas kehutanan karena seharusnya mempertahankan kawasan hutan itu untuk tidak dibuka tanpa izin.
“Ada aktivitas ilegal logging di sana. Karena kita menemukan banyak bunyi sensor (mesin penebangan) dan banyak sekali tumpukan kayu yang diambil dari atas,” ujarnya.
Dinas berikutnya adalah dinas pendapatan daerah (Dispenda), kata Udin seharusnya mengetahui ada royalti yang harus keluar dari aktivitas itu ke instansinya. Bagi Walhi, tidak adanya pendapatan yang diperoleh daerah merupakan praktik yang sangat merugikan.
“Kami mendesak semua aktivitas itu dihentikan. Apalagi Mabes Polri sudah memasang garis polisi di wilayah itu. Itu peringatan juga supaya tidak melakukan aktivitas, tapi faktanya tetap ada aktivitas yang terjadi. Itulah yang harus dibuka saja ke publik,” tukas dia.
Jurnalis zonasultra berupaya melakukan konfirmasi dengan menemui Kapolda Sultra Irjen Pol Merdisyam di ruangannya, Jumat (17/7/2020). Namun, menurut seorang anggota spripim, jenderal bintang dua itu enggan diwawancarai sebelum membuat janji terlebih dahulu.
Kabid Humas Polda Sultra Kombes Pol Ferry Walintukan mengaku belum menanyakan hal tersebut ke Direktur Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Dirreskrimsus).
“Saya belum tanyakan ke Dirkrimsus, jadi saya tidak komentar dulu,” kata Kombes Pol Ferry Walintukan melalui sambungan telepon, Sabtu (18/7/2020).
Terpisah, Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM Sultra Yasmin menyampaikan bahwa pihaknya sudah melakukan pengawasan dengan meninjau lokasi itu. Pihaknya melarang aktivitas pertambangan di blok Matarape.
“Blok Matarape tidak boleh ada penambangan, makanya saya hanya minta data yang kalian dapat dari Walhi bahwa ada SKV yang keluar dari dinas, sementara tidak ada IUP di situ,” kata Yusmin.
Blok Matarape seluas 1.681 hektar ini merupakan lokasi bekas wilayah konsesi PT Vale Indonesia (dulu Inco) yang diciutkan. Pada 2018, PT Antam memenangi lelang blok ini di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Akan tetapi, Ombudsman RI menilai ada kesalahan administrasi dalam proses lelang. Kesalahan administrasi tersebut mulai dari status wilayah yang merupakan bekas lokasi kontrak karya hingga penentuan pemenang. Hingga pertengahan 2019, Kementerian ESDM belum mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) di lokasi ini. (A)