ZONASULTRA.COM,BAUBAU– Panci-panci dijejer. Di atas karpet lesehan itu duduk para pelayan. Tiap kali tamu datang, pelayan akan menjelaskan jenis masakan dan bahan pokok yang digunakan.
Para pengunjung bukan sekadar diberitahu jenis dan nama masakan, tapi juga dipersilakan untuk mencicipi pangan lokal itu. Begitulah gambaran gelaran Festival Kampughuni 1000 panci di Karya Baru Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Festival ini merupakan cara memperkenalkan makan khas masyarakat Cia Cia. Selain itu merupakan ajang kampanye akan kesadaran pangan lokal karena didukung dengan tidak adanya nasi dalam masakan yang dihidangkan.
Kampughuni sendiri merupakan makan khas masyarakat Cia Cia. Sajian ini dibuat dari jagung campur santan kelapa yang di atasnya dilumuri kacang merah. Sajian dari jagung itu sekaligus menjadi menu utama dalam ivent tersebut yang disediakan dalam 1000 panci.
(Baca Juga Silat dan Permainan Tradisional Ramaikan Festival Budaya Tua Buton)
Tidak hanya itu, ada juga Ka Keokeo. Makanan dari singkong yang sudah sejak lama diletakkan dalam tempat penyimpanan makanan kemudian diparut, lalu dikukus dalam cetakan berbentuk kerucut. Sajian lainya adalah ubi jalar dan singkong rebus.
Hal menarik lainnya soal sayur-sayuran yang disajikan. Ada bunga pepaya yang ditumis, kelor rebus, pepaya rebus tanpa dikupas, serta labu rebus. Lauk favorit dalam festival itu adalah kaholeo, yakni ikan teri yang dikeringkan. Tinggal jenis penyajianya yang berbeda-beda. Selain kaholeo juga ada ikan habar.
Terlihat para pengunjung antrean demi mendapatkan makanan lokal. Seperti yang dirasakan Aisyah (20). Pengunjung wanita asal Batauga, Kabupaten Buton Selatan ini rela mengantre demi dapat mencicipi kampurui dan kaholeo. “Seru, makananya juga enak, tidak banyak bumbunya,” ujarnya.
Aisyah menghabiskan dua porsi hidangan. Setelah Kampurui dan Kaholeo, ia juga mencicipi Kasuami dan Ikan Balar.
*Kampanye Pangan Lokal dari Warga Lokal
Festival kampughuni 1000 panci di Karya Baru Kota Baubau, melibatkan masyarakat Cia-Cia di Kelurahan Karya Baru dan Kelurahan Bugi. Gelaran ini pertama kalinya dilaksanakan tahun 2019 ini.
Inisiasinya adalah pemuda dibantu oleh ibu-ibu dasa wisma di dua kelurahan itu. Mereka mencari sponsor swasta demi realisasi kegiatan. Para pemuda juga kumpulkan dana dengan patungan. Tujuanya sederhana, memasyarakatkan kembali pangan lokal.
Edi Asmar selaku Ketua Panitia, menuturkan ivent ini akan diupayakan menjadi rutinitas tahunan. Masuk dalam rangkaian Hari Ulang Tahun Kelurahan Karya Baru dan Kelurahan Bugi, tujuannya mengkampanyekan ketahanan pangan lewat mengkonsumsi pangan lokal.
(Baca Juga : 5 Makanan Khas Sulawesi Tenggara Yang Membuat Anda Ketagihan)
“Tujuan kami, untuk memasyarakatkan kembali makanan tradisional. Karena saat ini banyak masyarakat yang mengkonsumsi makanan modern dan sudah lupa dengan sumber pangan tradisional,” jelas Asmar.
“Seandainya saja misalkan, masyarakat Cia-cia, dua kelurahan ini, mengkonsumsi pangan lokal, tidak mengkonsumsi beras, hitung berapa nilai sumbangsih kita untuk ketahanan pangan beapa ton beras yang kita sumbangkan untuk orang lain,” lanjutnya.
Untuk menarik minat para pengunjung, panitia menampilkan berbagai pertunjukan. Sebelum proses mencicipi makanan, pertunjukan silat, tari, hingga kisah monolog juga ikut dipersembahkan buat para pengunjung.
Dengan semua tontonan itu, festival yang dimulai sejak pukul 14.30 hingga 16.00 Wita tidak terasa telah berakhir. Masing-masing sumringah meninggalkan tempat itu.
“Kami berharap di tahun berikutnya kegiatan ini bisa lebih meriah lagi,” harap Asmar.
Berbagi Pada Musim Kemarau
Cerita menarik lainya dari festival kampughuni 1000 panci di Karya Baru Kota Baubau, yakni soal berbagi pada musim kemarau. Mana kala hasil petani menurun karena kemarau panjang, masyarakat Cia-Cia di dua kelurahan itu tetap suka rela menyediakan santapan bagi para pengunjung.
Makanan yang dihidangkan dalam festival pun bukan hasil panen yang baru diperoleh. Melainkan, pangan yang disiapkan untuk membuka lahan baru pada misim penghujan mendatang.
“Sekarang bukan musim panen, tapi makan ini semuanya persiapan untuk membuka atau merabas lahan baru,” jelas Asmar.
(Baca Juga : Pakandeana Anaana Maelu, Tradisi Masyarakat Buton Membina Anak Yatim)
Bagi masyarakat Cia-Cia berbagi dengan sesama merupakan keharusan. Hal itu yang dikatakan Wa Ema seorang perempuan yang menjaga hidangan.
“Makan saja, semua ini kita siapkan untuk pengunjung, kenapa harus sungkan,” ujarnya kepada Zonasultra.com, Minggu (21/9/2019).
Wa Ema merupakan petani di Desa Karya Baru. Katanya, pangan yang ia siapkan untuk buka lahan kebun baru nantinya masih cukup.
“Memang sudah disiapkan untuk buka lahan baru. Yang dibawa disini itu cuma sebagian saja,” urainya.
Selain Wa Ema, ada puluhan ibu-ibu dari Kelurahan Karya Baru dan Kelurahan Bugi yang siapkan hidangan. Masing masing membawa puluhan panci dan wadah lain berisi hidangan.
Junudin, salah satu pembina adat masyarakat Cia-cia di Kelurahan Bungi dan Kelurahan Karya Baru, mengatakan, konsep menyimpan makanan ini sudah lama dilakukan. Ini untuk mempersiapkan jika waktu berikutnya panen gagal atau terjadi paceklik.
Agar pangan tetap tidak rusak, baik pengaruh kutu maupun jamur, orang Cia-cia memanfaatkan asap sebagai pengawet. Jagung maupun ubi disimpan di loteng tepat di atas tungku. Loteng itu sendiri dibuat dari bambu anyaman bercelah kecil agar asap bisa langsung mengenai pangan tersebut.
Teknik lain, khusus untuk umbi-umbuan, masyarakat Cia-cia menggunakan memanfaatkan kolong rumah. Karena tanahnya kering, digalilah lubang lalu dasarnya ditaburi abu dapur kemudian umbi-umbian itu ditanam.
“Konsep itu sudah dilakukan sejak sejak ratusan tahun. Sejak masyarakat cia-cia masih tinggal di Bugi lama, ditengah gunung yang jauh dari jalan,” jelas Junudin yang juga mantan ketua adat masyarakat Cia-cia.
Masyarakat Cia-cia sendiri merupakan sebuah rumpun di Pulau Buton. Mereka memiliki bahasa sendiri. Sebelum tinggal di Kelurahan Bugi dan Kelurahan Karya Baru tahun 1969 hingga sekarang, mereka dulunya bermukim di suatu lokasi yang jauh dari akses jalan. Junudin menyebutnya di tengah hutan.
“Itu kita lakukan untuk menghindari perompak. Nanti setelah ada instruksi Pemerintah (orde baru) Indonesia pada waktu itu, bahwa masyarakat harus tinggal dekat laut atau yang dekat dengan akses jalan. Barulah kita pindah lokasi tempat tinggal,” urainya. (b)