ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pada era reformasi saat ini, kepala daerah jadi jabatan yang begitu diperebutkan lewat pemilihan langsung oleh rakyat. Tak puas dengan hasil pemilihan, gugat menggugat hasil pemungutan suara adalah hal biasa sebagai upaya merebut kekuasaan sekaligus tanda bahwa kedudukan itu begitu sangat diinginkan.
Makanya setiap perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu diramaikan oleh banyak kontestan, seperti pada 9 Desember 2020 nanti. Kegiatan ini, selalu jadi ajang pesta lima tahunan bagi tim sukses, juga bagi pemilih.
Namun demikian, jabatan kepala daerah kini tak hanya lekat dengan kekuasaan dan kemasyhuran, kebanyakan justru yang lebih mengemuka ke publik karena kasus hukum, tak terkecuali di wilayah Sultra. Kasusnya pun sama, semua yang mengantarkan mereka ke jeruji besi adalah korupsi.
Tindak pidana korupsi di wilayah ini melibatkan kepala daerah dari tingkat gubernur hingga bupati/wali kota. Mereka pun pada akhirnya mesti berurusan dengan penegak hukum. Ada yang masih menjalani pidana penjara dan ada juga yang kini sudah bebas.
Sejumlah nama kepala daerah yang tengah menjabat tersandung kasus korupsi adalah Bupati Kolaka Buhari Matta, Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman, Bupati Buton Umar Samiun, Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat, Gubernur Sultra Nur Alam, dan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra (ADP). Sementara Asrun, mantan Wali Kota Kendari yang tersandung kasus korupsi saat menjadi Calon Gubernur Sultra.
Buhari Matta
Buhari Matta adalah Bupati Kolaka dua periode (2003-2013) yang terjerat kasus korupsi jual beli nikel berkadar rendah dengan PT Kolaka Mining International. Korupsi ini merugikan keuangan negara senilai Rp24 miliar.
Perkaranya mulai masuk pengadilan pada 21 Maret 2013. Ia yang ketika itu masih memiliki sisa masa jabatan 6 bulan langsung dinonaktifkan sebagai bupati. Pada putusan 2 September 2013, Buhari Matta divonis penjara 4 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan 6 bulan.
Masih pada tahun 2013, Buhari Mata langsung melakukan banding, yang hasilnya justru menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri (PN) Kendari Nomor 04/Pid.Tipikor/2013/PN.Kdi. Lalu, berlanjut lagi ke tingkat kasasi dengan putusan pada 25 Maret 2015 bahwa permohonan kasasi dari Buhari Matta ditolak.
Setelah adanya putusan kasasi itu Buhari Matta sempat buron. Ia akhirnya ditangkap oleh tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka di kediamannya Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Sabtu 7 Desember 2019.
Aswad Sulaiman
Aswad Sulaiman menjabat Bupati Konawe Utara (Konut) hanya satu periode dari hingga 2011 hingga 2015. Sebelum itu ia pernah menjabat Penjabat Sementara (Pjs) Bupati Konut 2007-2009. Ia terjerat kasus korupsi pembangunan kantor Bupati Konut tahun 2010-2011 sesuai Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra tertanggal 20 Januari 2016.
Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai senilai Rp2,3 miliar. Pada 24 Februari 2016 Aswad Sulaiman mengembalikan uang kerugian negara senilai Rp2,3 miliar dari total anggaran proyek sebesar Rp15,8 miliar di kejaksaan, tapi kasusnya tetap berlanjut.
Pada 7 April 2017 Aswad diputus tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, hakim pun membebaskannya dari semua dakwaan penuntut umum. Sementara barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp2,3 miliar dikembalikan kepada Aswad.
Namun angin kebebasan untuk Aswad hanya sementara, mana kala jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Konawe melakukan kasasi. Berdasarkan putusan kasasi 11 Desember 2017 Aswad dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Aswad untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2,3 miliar yang dikonpensasikan dengan uang yang telah diserahkan oleh Aswad melalui penyidik.
Sebelum putusan kasasi itu keluar, tepatnya pada 3 Oktober 2017, Aswad Sulaiman ditetapkan sebagai tersangka atas korupsi dalam kasus Izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dari Pemda Konut tahun 2007–2014.
KPK menduga, Aswad menyalahgunakan wewenang selama dia menjabat sebagai Bupati Konut periode 2007-2009 dan 2011-2016. Dugaan korupsi yang dilakukan Aswad terbilang cukup besar dan sebanding dengan kasus lain yang ditangani oleh KPK. Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya mencapai Rp2,7 triliun mengalahkan kasus korupsi proyek E-KTP yang hanya mencalai Rp2,3 triliun.
Saat menjadi Pjs Bupati Konut periode 2007-2009 Aswad diduga menerima uang senilai Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan. Hingga kini kasus itu masih terus bergulir di KPK.
Umar Samiun
Umar Samiun bernama lengkap Samsu Umar Abdul Samiun. Dia menjabat untuk periode 2012-2017, lalu terpilih lagi untuk masa jabatan 2017-2022. Namun di periode keduanya ini, usai dilantik Umar langsung dinonaktifkan sebab saat pelantikan ia sudah berstatus terdakwa.
Umar Samiun jadi terdakwa pemberi suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Buton tahun 2011 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam persidangan perkara Akil Mochtar, Akil terbukti menerima uang sebesar Rp1 miliar dari Umar Samiun. Pada 27 September 2017 Umar divonis pidana penjara 3 tahun 9 bulan dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan.
Umar kemudian mengajukan PK pada 25 Maret 2019. Hasilnya, pada 12 Desember 2019 Umar Samiun mendapat pemotongan masa hukuman dari 3 tahun 9 bulan menjadi 3 tahun oleh Mahkamah Agung (MA). Kini Umar telah bebas dan kembali melakukan aktivitas politik.
Agus Feisal Hidayat
Agus Feisal Hidayat adalah Bupati Buton Selatan (Busel) yang dilantik pada 22 Mei 2017. Satu tahun kemudian, tepatny pada pada 23 Mei 2018 KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Agus di rumah jabatannya. Dalam kegiatan tersebut KPK mengamankan sejumlah uang sekitar Rp400 juta.
Agus kemudian menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kendari. Dalam tuntutan jaksa KPK, Agus dinyatakan terbukti melakukan praktik suap dengan menerima uang fee proyek dari pengusaha Tony Kongres alias Achucu dan Simon Liong alias Chencen dengan total Rp578 juta.
Berdasarkan putusan hakim pada 20 Februari 2019, Agus divonis penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp700 juta subsider kurungan 6 bulan. Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp372.647.000. Selain itu, Agus dicabut haknya untuk menduduki jabatan publik selama 2 tahun terhitung sejak selesai menjalani masa pemidanaan.
Nur Alam
Nur Alam adalah Gubernur Sultra dua periode yang menjabat sejak tahun 2008. Memasuki periode kedua masa jabatannya, Nur Alam ditetapkan tersangka oleh KPK pada Agustus 2016. KPK menemukan tindak pidana korupsi terkait izin usaha pertambangan di Sultra tahun 2009-2014.
Kasus itu terkait tindakan Nur Alam mengeluarkan Surat Keputusan (SK) persetujuan wilayah cadangan pertambangan, persetujuan izin usaha pertambangan, eskplorasi dan SK persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barokah (AHB), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana.
Selain soal izin, Nur Alam juga didakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp40,26 miliar dari perusahaan Richorp Internasional Ltd. Gratifikasi tersebut diterima Nur Alam pada saat menjabat sebagai Gubernur. Gratifikasi ini juga masih terkait dengan penyalahgunaan kewenangannya, yang mana Richorp Internasional Ltd adalah pembeli nikel PT AHB.
Richorp mengirim uang kepada Nur Alam secara bertahap hingga totalnya mencapai Rp40 miliar. Kemudian uang itu dipecah ke dalam tiga polis asuransi masing-masing Rp10 miliar. Sedangkan Rp10 miliar sisanya diarahkan ke Nur Alam di Bank Mandiri yang ada di Kendari.
Pada 28 Maret 2018, hakim memvonis Nur Alam pidana penjara selama 12 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan, serta pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar subsider 1 tahun pidana penjara. Selain itu hakim mencabut hak politik selama 5 tahun sejak Nur Alam selesai menjalani hukuman.
Proses hukum lalu berlanjut ke tingkat banding berdasarkan permohonan pihak jaksa dan pihak Nur Alam. Pada tingkat banding ini, Nur Alam tetap dinyatakan bersalah, bahkan masa hukuman pidana dari 12 tahun jadi 15 tahun.
Dalam kasus ini, negara dirugikan Rp2,728 triliun berdasarkan keterangan Basuki Wasis, seorang ahli lingkungan dan kerusakan tanah yang dihadirkan oleh KPK di persidangan. Basuki kemudian digugat oleh kuasa hukum Nur Alam di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong tapi ditolak.
Adriatma Dwi Putra dan Asrun
Adriatma Dwi Putra merupakan anak Asrun yang kena OTT KPK dalam kasus yang sama. ADP saat itu sebagai Wali Kota Kendari sedangkan Asrun Wali Kota Kendari dua periode (2007-2017) yang sedang mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur.
ADP dan Asrun terjaring OTT KPK pada 27-28 Februari di Kendari. Dalam OTT ini turut terjaring mantan Kepala BPKAD Kota Kendari Fatmawati Faqih dan Direktur PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah. Dalam perkembangannya mereka menjadi terdakwa dan diputus bersalah.
Lewat persidangan diketahui bahwa ADP dan Asrun menerima suap sebesar Rp2,8 miliar dari Hasmun Hamzah selaku direktur PT Sarana Bangun Nusantara (SBN). Suap tersebut rencananya akan digunakan untuk membiayai kebutuhan politik Asrun yang pada saat itu maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Hugua.
PT SBN sendiri telah memenangkan lelang pekerjaan multi years pembangunan Jalan Bungkutoko–Kendari New Port tahun 2018-2020. Selain itu dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat unsur penerimaan fee Rp4 miliar yang diterima ADP dan Asrun melalui Fatmawati telah terpenuhi.
Uang senilai Rp4 miliar tersebut berasal dari fee proyek masing-masing Rp2 miliar setiap proyek yang digarap PT SBN. Adapun kedua proyek yang dikerjakan yakni pekerjaan multi years pembangunan gedung kantor DPRD Kota Kendari tahun 2014-2017 senilai Rp49,2 miliar, serta pembangunan Tambat Labuh Zona III Taman Wisata Teluk (TWT) – Ujung Kendari Beach tahun 2014-2017 dengan nilai proyek Rp19,9 Miliar.
Pada 7 April 2017, majelis hakim memvonis ADP dan Asrun dengan pidana penjara masing-masing selama 5 tahun dan 6 bulan, serta pidana denda masing-masing sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan penjara. Hakim juga mencabut hak ADP dan Asrun untuk dipilih dalam jabatan publik masing-masing selama 2 tahun, terhitung setelah masing-masing terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Dalam perkembangannya, Asrun dan ADP melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Pada September 2019 Mahkamah Agung (MA) mengurangi 1 tahun 6 bulan pidana penjara bagi mereka berdua. (*)
Baca Selanjutnya : Para Kepala Daerah yang Berakhir di Jeruji Besi (Bagian-2)
Reporter: Muhamad Taslim Dalma
Referensi:
– Data Pemberitaan Zonasultra.com
– Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan