Para Kepala Daerah yang Berakhir di Jeruji Besi (Bagian-2)

397
Para Kepala Daerah yang Berakhir di Jeruji Besi

Penyebab Kepala Daerah Korupsi

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kasus-kasus para kepala daerah di Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki dimensi yang berbeda-beda. Ada yang berkaitan dengan tambang, anggaran pemerintah, hingga penyuapan hakim. Kasusnya pun dapat dibedakan yakni yang terjadi sebelum menjabat (Umar Samiun), tengah menjabat (Nur Alam, Aswad Sulaiman, Buhari Matta, Adriatma Dwi Putra), dan setelah menjabat (Asrun).

Pengamat Hukum, Hariman Satria melihat memang ada kerawanan moral dalam diri seorang kepala daerah. Mereka tidak memiliki kewajiban moril untuk patuh dan taat aturan dengan tak melakukan korupsi. Rendahnya standar moral ini memungkinkan para kepala daerah dengan mudah melakukan korupsi.

Kemudian kata dia, penyebab korupsi itu bisa jadi berkaitan dengan aktivitas politik kepala daerah. Apalagi, aktivitas politik membutuhkan ongkos yang tinggi. Pada titik ini, biasanya kepala daerah berpikiran pendek sehingga menjual kewenangan untuk mendapatkan uang.

“Karena standar moralnya rendah, di kewenangan itu mudah disalahgunakan kepala daerah. Misalnya dalam kasus Nur Alam, mungkin beliau tidak pernah berpikir bahwa kerusakan lingkungan itu begitu masif, dan itu bisa mempengaruhi masa depan masyarakat Bombana sekian puluh tahun,” ujar Hariman, Selasa 17 November 2020.

Para Kepala Daerah yang Berakhir di Jeruji Besi (Bagian-2)
Hariman Satria

Penyebab korupsi lainnya, lanjut dia, adalah karena kepala daerah rakus harta. Meski sudah memiliki rumah mewah, mobil mewah, apartemen, dan lain-lain tapi tidak puas dengan terus menambah kekayaan. Dalam kondisi ini berapapun gaji dan uang yang masuk di kantong tidak akan pernah cukup karena sudah mengikuti selera hawa nafsu.

“Pejabat tidak punya konsep yang pas tentang bagaimana membangun daerah. Kalau punya konsep yang cocok untuk membangun daerah maka sang kepala daerah akan fokus menuntaskannya tanpa lagi menjual kewenangan. Kepala daerah yang menjual kewenangan karena sudah tidak punya konsep lagi, dengan hanya berpangku tangan saja,” ujar dia.

Kata Hariman, bagaimana pun dimensinya kasus korupsi yang dilakukan seorang kepala daerah membuktikan bahwa mereka tidak memiliki konsep yang baik untuk membangun daerah sehingga mereka akhirnya dengan mudah menyalahgunakan kewenangan atau dengan gampang melakukan tindak pidana korupsi.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Namun kata Hariman, yang perlu dipahami adalah kadang kepala daerah mengalami tekanan politik. Misalnya ketua partai politik A di daerah maka ada tugas-tugas partai politik yang mesti dilakukan. Kalau ada kongres di daerah maka sebagai gubernur atau bupati adalah orang nomor satu yang dimintai bantuan.

“Kalau mau dihitung gajinya sebagai gubernur atau bupati tidak akan cukup. Maka di situlah dia mulai jual kewenangannya. Jadi ini ada pertautan banyak masalah sehingga muncul ke permukaan. Ibarat puzzle ini baru satu potongan saja yang kelihatan, tapi yang lainnya banyak,” ujar Hariman.

Di sisi lain, kata Hariman, yang mengkhawatirkan adalah pers sudah tidak tidak terlalu kritis, kalaupun kritis ada kadarnya. Pers yang dulu dikenal begitu tajam memberikan komentar kepada kepala daerah, tiba-tiba kini tidak lagi. Begitu juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak bisa lagi diharap karena lembaga itu juga hanya mencari hidup.

Masalah lain adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang seharusnya mengawasi, tidak bisa diharap karena merupakan rekan-rekan politik kepala daerah itu sendiri. Selain itu, pengawas atau inspektur di inspektorat daerah diangkat oleh masing-masing kepala daerah, ini melemahkan pengawasan. Semua hal itu kata Hariman, membuka peluang kepala daerah untuk melakukan korupsi karena tidak ada yang awasi dengan maksimal.

Solusi Penanganan Korupsi

Untuk solusi meminimalisir terjadinya korupsi kepala daerah maka pemerintah daerah (pemda) harus memiliki Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RADPK) yang terhubung dengan KPK. Ini sebagai bukti bahwa pemda memiliki rencana yang matang dan tata kelola yang siap agar terbebas dari jeratan korupsi.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Hariman menjelaskan penerapan RADPK ini dapat dimulai sejak pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) antara Pemda dan DPRD, sampai pada pelaksanaannya. Ini untuk memastikan bahwa tidak ada yang bermain-main dengan anggaran.

Selama ini kata dia, sudah jadi rahasia umum pembahasan APBD itu hanya persoalan perbedaan kepentingan antara legislatif dengan eksekutif. Eksekutif mendorong proyek A yang jumbo, sementara DPR minta bagian yang lebih sehingga seringkali pembahasan anggaran deadlock.

“Kenapa deadlock? Persoalannya mereka bukan memikirkan nasib rakyat dengan proyek itu tapi berapa bagian masing-masing. Nah kenapa ini terjadi? Karena tidak ada yang awasi mereka,” ucap Hariman.

Dengan adanya RADPK maka pengawasan dapat lebih ketat mulai dari pembahasan anggaran di DPRD. Organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap korupsi bisa dilibatkan untuk memantau sehingga bisa dilihat kepentingan-kepentingan para anggota DPRD, apakah terjadi penyimpangan atau tidak.

Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara, Hariman memastikan belum ada model RADPK yang diterapkan sehingga menyebabkan masifnya korupsi. Selain pada anggaran pemerintah, lanjut dia, RADPK juga tidak terdapat pada tata kelola sektor izin usaha pertambangan.

Soal pertambangan ini, kalau dipahami sebagai kekayaan alam yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat maka kepala daerah harus memiliki konsep bahwa tambang hadir untuk masyarakatnya. Caranya kata dia, setiap izin usaha pertambangan dirilis ke publik.

“Misalnya hari ini saya baru saja menandatangani tiga izin usaha pertambangan ke perusahaan A, B dan C, silakan masyarakat pantau. Tapi itu tidak dilakukan. Itu bergerak di bawah meja. Nanti kalau sudah jadi masalah baru ketahuan. Misalnya di Wawonii, nanti sudah terjadi masalah antara masyarakat dan korporasi tambang baru ditahu ada izinnya,” terang Hariman. (*)

Baca Sebelumnya : Para Kepala Daerah yang Berakhir di Jeruji Besi (Bagian-1)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini