ZONASULTRA.COM, KENDARI – Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) tengah merancang revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dalam salah satu pasalnya, KPU melarang seseorang yang punya catatan melanggar kesusilaan mencalonkan diri sebagai gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota. Pelanggar kesusilaan yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, dan berzina. Aturan itu dimuat dalam pasal 4 huruf j.
“Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang meliputi satu, judi, kedua adalah mabuk, ketiga pemakai atau pengedar narkoba, keempat berzina dan atau melanggar kesusilaan lainnya,” kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik, saat uji publik revisi PKPU Pilkada 2020 di kantor KPU, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Baca Juga : Ketua KPU Sultra Optimis Anggaran Pilkada Disepakati Paling Lambat 1 Oktober
Wacana revisi PKPU ini, walaupun masih dalam tahap penggodokan ternyata sudah menuai kritikan. Salah satunya dari Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Sulawesi Tenggara (Sultra), Hidayatullah.
Menurutnya, KPU memang salah satu lembaga yg didelegasikan untuk menyusun atau membuat peraturan pelaksanaan tentang Pemilu dan Pilkada karena memang ahli di bidang ini.
Hanya saja, untuk menghindari improvisasi dan stigma KPU mencari sensasi walau menabrak Undang-Undang (UU), maka KPU perlu membuka ruang publikasi, diseminasi maupun konsultasi publik dalam menyusun sebuah peraturan teknis.
Kata dia, kurangnya konsultasi publik, publikasi dan diseminasi bisa mengakibatkan ketentuan yang dibuat KPU dalam peraturan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada berpotensi menyimpangi, memperluas, atau mempersempit materi undang-undang.
“Kenapa peraturan teknis dibawah UU itu tidak boleh improvisasi atau keluar dari norma UU. Hal ini agar mencegah pihak yang diberi delegasi menyusun peraturan teknis di bawah UU dapat menyelenggarakan kelembagaannya secara terkendali,” kata lelaki yang akrab disapa Dayat ini melalui pesan Whatsapp-nya, Jumat (4/10/2019).
Dayat mengatakan, adanya delegasi kewenangan kepada KPU untuk membuat regulasi teknis pelaksanaan UU Pemilu dan Pilkada seperti PKPU seharusnya tidak boleh melampaui kewenangan diatas UU atau tidak diatur UU agar terhindar dari improvisasi hukum yang tidak tepat dalam menyelanggarakan pemilu dan melanggar hak konstitusional warga negara.
Baca Juga : Melihat Metode Baru KPU dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu
“Kenapa sebenarnya peraturan teknis dibawah UU itu tidak boleh melanggar UU diatasnya, sebab untuk memudahkan apabila ada perubahan, karena seringkali kebijakan teknis termaksud PKPU perlu diubah sehingga akan lebih cepat mengubah peraturan pelaksanaan daripada mengubah UU-nya,” jelasnya.
Tapi kalau peraturan dibawahnya tidak diatur dalam UU atau ada improvisasi, tak pasti secara hukum atau tidak ada contoh lain di UU, maka akan menyita waktu baik publik, legislatif, pemerintah, pihak yudikatif, maupun KPU itu sendiri akan dibuat kerepotan dan mencari-cari dalil pembenaran.
“Jadi seharusnya bagian KPU yang perlu improvisasi itu soal-soal teknis sosialisasi, voter education, distribusi logistik, tata kelola kelembagaan. Kalau terkait penyusunan peraturan teknis diperlukan konsistensi dan harmonisasi hukum dalam menyusunnya selain konsultasi publik, publikasi dan diseminasi agar KPU terukur, dapat dipandang sebagai ahli Pemilu bukan ahli wacana Pemilu. Jadi seharunya komentar dan wacana ditahan dulu sebelum melahirkan kepastian,” katanya. (B)
Kontributor : Ramadhan Hafid
Editor : Abdul Saban