Judulnya kayak skripsi ya? Hehehe… Tidak apa-apa. Supaya mirip-mirip judul sinteron: Gara-gara sering joget di acara pesta adat sambil mabuk-mabukan, jenazah susah masuk kubur… Halah…
Kita lanjut. Serius.
Sebagai orang yang mengetahui bentrok antara kepolisian dengan warga di Desa Lawele, Kecamatan Lasalimu, Kab. Buton, hanya melalui pemberitaan media, maka sebenarnya tidak banyak yang bisa dikomentari. Alih-alih memberikan kontribusi positif, justru bisa keliru dan menimbulkan persoalan baru.
Karenanya, saya akan melihatnya dari perspektif fungsi pers. Sejauh mana media massa memberikan informasi sekaligus mengedukasi publik, yang bertujuan memberikan kejelasan atas persoalan ini sehingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran.
Dari pemberitaan, terdapat sejumlah “fakta” yang secara kronologis dapat kita cermati. Bahwa ada konsentrasi massa yang dikemas dalam bentuk pesta panen. Media lain menyebutnya pesta adat.
Bagi pembaca, kita akan mengambil kesimpulan bahwa pesta panen ini digelar dalam nuansa adat. Sayangnya, tidak satu pun media yang menjelaskan siapa penyelenggara kegiatan ini.
Hal ini penting diinformasikan agar dapat mengetahui siapa yang bertanggungjawab atas kegiatan ini. Informasi itu akan menggiring kita pada pertanyaan, bagaimana sesungguhnya konsep acaranya sehingga kemudian ada permintaan untuk berjoget –yang tidak mendapatkan ijin dari kepolisian.
Berikutnya, media tidak mengedukasi kita dengan memberikan latar mengenai seperti apa idealnya pesta panen yang (biasanya) digelar masyarakat setempat.
Penjelasan tersebut akan menggiring kita bahwa acara joget itu memang bagian dari pesta adat atau sekadar “sisipan” yang tidak perlu karena bukan bagian dari adat.
Jika memang acara joget ini adalah bagian dari pesta adat atau –katakanlah–bagian dari rundown acara yang disusun penyelenggara, maka pihak kepolisian sebenarnya tidak perlu repot menghalang-halanginya. Berarti joget itu adalah hal lumrah dan tidak perlu dikhawatirkan bakal memicu keributan.
Sebaliknya, jika joget ini adalah acara tambahan yang sifatnya insidentil. Atau dengan kata lain, hanya terbawa euforia keramaian, lalu adrenalinnya terpicu untuk bergoyang, maka wajar jika kepolisian melarangnya.
Apalagi, “fakta” yang dipaparkan media massa, ada yang mabuk-mabukan karena miras. Polisi memang perlu melarang.
(Baca Juga : Paksakan Joget di Pesta Adat, 10 Unit Kendaraan Polisi di Buton Dibakar)
Apa maknanya? Bahwa betapa pentingnya sebuah media atau seorang wartawan menuliskan background atau latar dari sebuah peristiwa yang terjadi. Bukan semata mengumpulkan informasi seputar kejadian.
Berita yang tidak memiliki background atau latar atau bingkai, akan kehilangan makna. Berita itu hanya mesin 5W+1H. Dalam konsep jurnalisme modern, berita 5W+1H baru sekadar mengemukakan “what happen”. Apa yang terjadi.
Belum masuk pada wilayah yang lebih edukatif, yakni “what does it mean”. Apa makna berita itu bagi pembaca.
Kita hanya disodori laporan peristiwa tanpa diberi ruang untuk mencerna apa di balik peristiwa itu. Sesuatu yang akan memupuk rasa kearifan kita dalam menyikapi setiap kejadian.
Dengan demikian, betapa mulia kerja jurnalistik bukan? Jangan seperti judul sinetron: sering menulis yang tidak benar, wartawan itu kena azab, kedua tangan kena penggori… Eh… ini sinetron apaan…***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial