ZONASULTRA.COM, KENDARI – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) baru saja merilis data terkait angka kemiskinan di Bumi Anoa.
Data BPS itu menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin secara umum bulan September 2018 mengalami penurunan 11,32 persen.
Kepala BPS Sultra, Mohammad Edy Mahmud mengatakan, selama periode Maret hingga September 2018, penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang 8,9 ribu orang, sementara di daerah perkotaan bertambah 3,6 ribu orang.
Selama periode Maret – September 2018, persentase penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 0,31 poin, dari 11,63 persen menjadi 11,32 persen.
Lanjut Edy, pada bulan September 2018, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan 6,87 persen, naik 0,31 poin terhadap Maret 2018 6,56 persen.
Sementara di daerah pedesaan pada September 2018 persentase penduduk miskin sebesar 14,07 persen turun 0,70 poin terhadap Maret 2018 (14,77 persen).
(Baca Juga : BPS: Jumlah Penduduk Miskin Sultra Berkurang)
Pengamat ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Syamsir Nur menilai salah satu aspek yang menyebabkan jumlah penduduk miskin di Kota lebih besar dibandingkan di desa, yakni adanya pengangguran di usia produkif akibat lapangan kerja yang minim.
Belum lagi, banyaknya orang desa masuk ke kota untuk mencari kerja sehingga terjadi urbanisasi. Urbanisasi meningkat, tentu jangka pendeknya yakni pengangguran di kota akan bertambah. Pengangguran yang berasal dari desa, juga berdampak pada meningkatkan jumlah penduduk miskin.
“Jika pengangguran banyak di Kota, maka secara otomatis tingkat kemiskinan di kota akan meningkat dibandingkan dengan di desa,” ungkap Syamsir Nur saat ditemui sejumlah awak media di Kota Kendari, Jumat (18/1/2019) lalu.
Lebih lanjut Dosen Ilmu Ekonomi Sosial dan Pembangunan (IESP) Ini mengungkapkan karakteristik penduduk miskin di kota dan di desa itu sangat berbeda, penduduk miskin yang ada di kota berasal dari kelompok usia produktif. Sementara, di desa banyak usia poduktif bisa melakukan pekerjaan disektor informal.
“Usia produktif di desa meninggalkan desa dan masuk kota, kemudian kerja disektor konstruksi misalnya kerja bangunan. Buktinya bahwa di kota, sektor konstruksi perumahan sudah tumbuh positif dan menyebabkan daya tarik orang desa untuk bekerja,” ujarnya.
Kemudian aspek lain yang juga menyebabkan kemiskinan di kota yakni tingginya biaya kebutuhan kesehatan dan pendidikan, sanitasi yang buruk serta air ketersedian air bersih yang tidak baik.
Olehnya itu, jika pemerintah ingin mengambil kebijakan kemiskinan yang bisa tepat sasaran dapat dilakukan dengan pendekatan indikator kemiskinan.
Untuk parameter kemiskinan sendiri dapat dilihat dari berbagai aspek misalnya, dapat dilihat pada angka kedalaman dan keparahannya.
“BPS juga mengeluarkan data terkait indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan. Baik kedalaman maupun keparahan itu sebetulnya masih tinggi di desa,” ucapnya.
Indeks keparahan kemiskinan dapat dilihat dari seberapa mampu penduduk miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara jika kedalaman kemiskinan yakni seberapa besar pendapatan penduduk miskin dalam sebulan.
Dalam rilis BPS pun dijelaskan, Angka Garis Kemiskinan (GK) pada periode Maret – September 2018 naik sebesar 4,32 persen, yaitu dari Rp 303.618 per kapita per bulan pada Maret 2018 menjadi Rp 316.729 per kapita per bulan pada September 2018.
Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin di pedesaan cenderung makin mendekati garis kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin mengecil atau menyempit.
Sedangkan di perkotaan berlaku sebaliknya yakni semakin menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin membesar atau melebar.
Pada periode Maret – September 2018, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perkotaan bertambah sedangkan di pedesaan menurun. (a)
Reporter : Ilham Surahmin
Editor : Kiki