ZONASULTRA.COM,KENDARI- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terus mengupayakan formula kebijakan untuk meningkatkan persentase literasi keuangan di masyarakat.
Kepala Bagian Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) OJK Sultra Maulana Yusup mengatakan bahwa literasi keuangan merupakan pengetahuan, keterampilann dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.
“Sederhananya bagaimana masyarakat bisa paham menggunakan layanan jasa keuangan dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya,” ungkap Mualana saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (22/10/2019).
Pada masa kini, perkembangan produk perbankan pun terus bertranformasi seiring dengan perkembangan teknologi. Misalnya, adanya mobile bangking dan SMS banking yang tidak mengharuskan nasabah ke bank atau ATM untuk melakukan transaksi keuangan.
(Baca Juga : SMS Hadiah dan Tawaran Pinjaman Dana Marak, Ini Cara Melaporkan)
Bahkan tak hanya perbankan saja, sejumlah perusahaan penyedia layanan jasa pun mengeluarkan aplikasi uang elektronik yang artinya masyarakat kemana-mana tak perlu membawa uang tunai.
Mulai dari lahirnya layanan transaksi non tunai seperti OVO, Gopay, Link Aja dan masih banyak lagi. Hal ini pun harus memaksa masyarakat untuk paham dan mengerti cara menggunakannya karena lambat laun sistem transaksi keuangan dengan cara digital akan menjadi pilihan.
Berdasarkan data terakhir OJK Sultra tahun 2016, tingkat literasi keuangan masyarakat baru mencapai 26,55 persen. Sedangkan inklusi keuangan sudah mencapai 66,91 persen.
Inklusi keuangan sendiri merupakan persentase masyarakat yang sudah menggunakan produk dari lembaga jasa keuangan.
Dengan kata lain bahwa data itu menunjukkan ada perbedaan yang sangat jauh antara literasi keuangan dan inklusi keuangan. Banyak masyarakat sudah menggunakan produk jasa keuangan, tapi secara umum mereka belum memahami manfaat dan kegunaan layanan tersebut.
Kepala Subbagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sultra Ridhony M. H. Hutasoit menjelaskan bahwa salah satu dampak dari kurang pahamnya masyarakat terkait layanan lembaga jasa keuangan membuat mereka mudah tertipu. Sebab, literasi keuangan sejatinya bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam memilih produk atau layanan industri dari jasa keuangan dan sebagai bentuk tindakan preventif atas praktik penipuan yang saat ini marak terjadi.
Modus penipuan yang banyak bermunculan cukup banyak mulai dari multi level marketing (MLM) hingga yang booming saat ini yakni pinjaman online dan investasi ilegal.
(Baca Juga : Ini Ciri Investasi dan Pinjaman Online Ilegal)
Di Sultra pun tidak sedikit yang menjadi korban dari modus penipuan tersebut. Data zonasultra, investasi yang diduga ilegal marak di Wakatobi salah satunya EXP Asset.com, sudah beranggotakan ribuan orang padahal investasi itu tidak berada dalam pengawasan OJK.
Kemudian korban pinjaman online ilegal yang diterima oleh OJK Sultra sendiri sekitar lima laporan. Ada korban yang sudah mengalami dampaknya, diteror melalui pesan singkat, telepon tak kenal waktu hingga fotonya disebarluaskan oleh pelaku.
Melihat kondisi ini, OJK pun secara masif melakukan kegiatan edukasi literasi keuangan mulai dari lingkup pelajar, mahasiswa, masyarakat hingga pemerintah dengan tujuan mereka bisa terhindar dari praktik penipuan.
Upaya penguatan hukum juga dilakukan oleh OJK dengan mendorong pemerintah dan DPR RI untuk segera menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang layanan keuangan berbasis teknologi atau pinjaman online (fintech peer to peer landing).
Dengan adanya aturan ini akan memperkuat pengawasan dan penindakan OJK terhadap pinjaman online yang tidak terdaftar dan sudah meresahkan masyarakat.
Meski demikian bahwa kesadaran masyarakat sangat perlu untuk mewaspadai praktik penipuan tersebut dengan berlandaskan pada legal dan logis atau 2 L.
Legal artinya bahwa masyarakat harus mengecek apakah fintech atau pemberi layanan jasa keuangan tersebut terdaftar di OJK dan memiliki surat izin serta dokumen kelengkapan lainnya. Sementara logis, masyarakat harus paham apakah tawaran yang diberikan itu masuk akal. Misalnya, perihal iming-iming hadiah besar dan bunga rendah serta persyaratan mudah salah satu ciri dari tindak penipuan.
(Baca Juga : OJK Terima Laporan Korban Pinjaman Online di Kendari)
“Artinya ini peran semua pihak pemerintah, OJK dan masyarakat itu sendiri, kami selalu ingatkan setiap saat kegiatan literasi keuangan,” ungkapnya.
Pengamat Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Syamsir Nur mengatakan timpangnya antara literasi dan inklusi keuangan disebabkan sejumlah faktor mulai dari kesadaran masyarakat hingga kurangnya peran aktif industri jasa keuangan.
Kurangnya kesadaran masyarakat bisa disebabkan karena perbedaan jenjang pendidikan setiap lapisan masyarakat sehingga pemahaman akan industri jasa keuangan tidak merata kemudian perbedaan jenis pekerjaan formal dan informal.
Menurutnya, pekerja formal memungkinkan akan lebih mudah menerima perkembangan industri jasa keuangan dan memahami manfaat dan kegunaannya sedangkan sektor informal belum tentu.
Peran aktif industri jasa keuangan menjadi salah satu hal penting karena sosialisasi tidak boleh hanya sebatas menawarkan produk tapi lebih jauh pada apa manfaat dari produk tersebut. Sehingga kelompok masyarakat yang literasinya rendah itu dapat memahami dan menggunakan produk jasa keuangan dengan baik.
“Misalnya kita masih banyak masyarakat hanya sebatas menabung di bank, kemudian ada pula masyarakat yang punya uang tapi masih menyimpan di rumah. Artinya pemahaman akan industri jasa keuangan masih rendah,” ujarnya melalui sambungan telepon seluler.
Rendahnya literasi keuangan pun menjadi gambaran dan kekhawatiran bahwa ekspansi bisnis ekonomi di daerah ini belum berjalan maksimal dan bisa dikatakan masih sulit untuk maju.
Dengan kata lain bahwa perkembangan industri jasa keuangan terus tumbuh tetapi tidak sejalan dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk jasa keuangan terlebih memahami manfaatnya.
“Sosialisasi biasa kepada masyarakat tidak akan cukup, harus dilakukan pendekatan yang lebih oleh industri jasa keuangan kepada kelompok masyarakat yang memang literasinya rendah,” Syamsir menjelaskan.
Sebagai contoh, masyarakat di pedesaan akan memilih investasi uangnya dengan membeli tanah dan emas ketimbang harus menabung atau deposito padahal dua produk tersebut sudah cukup lama dikenal sebagai layanan perbankan.
Tak hanya itu, kesadaran masyarakat juga untuk manajemen penggunaan uang masih sangat rendah dan lebih banyak bersifat konsumtif. Tidak ada rencana kedepan bahwa uang tersebut bisa diinvestasikan terhadap produk jasa keuangan atau hal lainnya.
Perihal banyak aktivitas praktik penipuan yang merugikan masyarakat, dikatakan Syamsir itu merupakan salah dampak dari rendahnya literasi keuangan dan harus menjadi perhatian pemerintah. (A)