ZONASULTRA.COM, BAUBAU – Namanya Kampung Sulaa atau biasa disebut kampung tenun atau kampung warna-warni. Kampung ini merupakan salah satu destinasi wisata budaya yang dimiliki Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra)
Tim zonasultra.id berkesempatan mendatangi lokasi yang berada di Kelurahan Sulaa, Kecamatan Betoambari ini, tidak jauh dari wisata Pantai Nirwana.
Saat menginjakkan kaki di Kampung Tenun pada Sabtu, 5 Januari 2019, terlihat rumah warga dipenuhi dengan lukisan bermotif seseorang yang sedang menenun, kemudian lukisan penari, fauna maupun flora.
Sebanyak 107 rumah, 50 mural serta puluhan perahu di sana telah dicat warna-warni demi menyukseskan destinasi wisata Kampung Tenun Warna Warni ini oleh perusahaan cat PT Pacific Paint Colouring Glotex melalui dana CSR.
Penetapan dan pencanangan Kelurahaan Sulaa sebagai Kampung Wisata Tenun dilakukan oleh mantan Plt Gubernur Sultra Saleh Lasata, pada Desember 2017 bersama pemerintah setempat. Kemudian kembali diresmikan sebagai kampung wisata warna-warna Juli 2018 lalu oleh mantan Pj Wali Kota Baubau Hado Hasina.
Pengrajin Tenun
Zonasultra.id menemui dua orang ibu rumah tangga yang sehari-hari menenun sarung bermotif khas Pulau Buton, yang sudah menjadi warisan leluhur mereka.
Wa Ode Saami (55) mengatakan, semenjak ditetapkan sebagai kampung warna-warni, daerahnya menjadi lebih dikenal oleh masyarakat lokal maupun luar. Apalagi, di wilayah ini 75 persen adalah pengrajin kain tenun khas Buton.
Ia menjelaskan, dalam kurun waktu satu bulan ia bisa menghasilkan 3 buah sarung untuk stok dan kemudian menunggu pembeli yang datang ke Kampung Sulaa itu.
“Kalau 3 buah itu, untuk model standar dan motif yang standar. Kalau motifnya banyak tingkat kerumitan juga agak sulit itu lumayan lama,” ungkapnya.
Saami sendiri menjual sarung miliknya dengan harga bervariatif mulai Rp225 ribu paling murah tanpa lapisan benang emas hingga Rp400 ribu menggunakan benang emas.
Dirinya mengakui, dengam pencanangan kampung tenun ini banyak yang membeli dan memesan sarung dari luar wilayah Sultra, seperti dari Pulau Jawa.
“Alhamdulilah, semenjak ini rame kita banyak yang kenal dan mau membeli kain di sini,” ujarnya.
Warga lain Zuhunia (57) yang sudah menenun sejak tahun 1982 hingga saat ini mengakui, dengan adanya kampung tenun ini dirinya lebih mudah memasarkan kain tenun hasil karyanya.
Meskipun penghasilan dari penjualan kain itu tidak menetap setiap bulan. Namun, perubahan tetap ia rasakan semenjak adanya kampung warna-warni ini.
Untuk menghasilkan satu buang sarung tenun ia membutuhkan waktu 1 minggu dari proses pemisahan benang, pemasangan benang ke jangka, kemudian penyusunan benang pada papan serta dimasukan ke alat tenun.
Ia mengaku, tingkat kesulitan dalam menenun lebih kepada pembuatan motif. Jika motifnya lebih banyak, maka akan lebih sulit pembuatannya. Sebab harus teliti dan tidak boleh ada kesalahan.
“Salah sedikit motifnya bisa beda dan garisnya tidak sejajar atau banyak hal lain, intinya mengurangi keindahan dari kain,” jelas Zuhunia.
Satu buang sarung ia jualkan dengan harga Rp350 ribu paling murah hingga Rp500 ribu per lembar. Dalam satu bulan, ia bisa menjual 2 hingga 5 lembar kain dengan modal pembuatan satu buah kain sekitar Rp120 ribu.
Menurut Zuhunia, pemerintah setempat cukup aktif melibatkan mereka dalam acara pameran yang digelar di tingkat provinsi ataupun nasional. Bahkan, menurut pengakuanmu Zuhunia dinas perdagangan setempat rutin mengadakan kegiatan pelatihan bagi pengrajin tenun.
Kedua pengrajin tenun ini pun berharap agar generasi muda saat ini mau meneruskan kegiatan menenun sarung sebagai bentuk pelestarian budaya lokal yang sudah menjadi warisan turun-temurun.
Spot Foto
Selain berjelajah untuk melihat aktivitas tenun, Anda pun dapat mengabadikan momen di sejumlah spot yang ada di Kampung Tenun Sulaa itu.
Pasalnya, beberapa spot memilik mural yang cukup unik dan kreatif sehingga baik untuk diabadikan dalam satu jepretan.
Nah, bagi kamu yang berkunjung ke Kota Baubau, lokasi ini dapat menjadi pilihan alternatif untuk mengisi list kunjungan wisata Anda. (a/SF)
Reporter : Ilham Surahmin
Editor : Jumriati