PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi

PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi
PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi

ZONASULTRA.ID – Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pernah menjadi simbol harapan bagi warga Desa Saponda Laut, Pulau Saponda, Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk kehidupan yang lebih baik. Namun kini harapan itu telah sirna seiring energi listrik yang tak lagi dialirkan PLTS.

Kondisi ini menjadi cerminan nyata kelemahan transisi energi di Indonesia, di mana program yang seharusnya membawa perubahan dan keadilan energi justru terhenti karena absennya skenario jangka panjang untuk menjaga keberlangsungan teknologi yang telah dihadirkan.

Bermula pada tahun 2016 yang menjadi awal baru penuh harapan bagi warga Desa Saponda Laut, sebuah desa kecil di Pulau Saponda. Dalam kesunyian malam dengan penerangan terbatas, sebuah PLTS akhirnya beroperasi, menjadi tonggak perubahan yang telah lama dinantikan.

PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi
Kolase foto PLTS di Desa Saponda Laut, 4 Desember 2024. Komponennya masih berfungsi normal tapi semua aki sudah soak. (Foto: Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.ID)

Sebagai pulau terpencil di bawah administrasi Kecamatan Soropia-Kabupaten Konawe, Saponda Laut sejak dahulu kala terisolasi dari jaringan listrik PLN. Kehadiran PLTS dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi secercah harapan keadilan energi di tengah kegelapan.

Masyarakat menyambutnya dengan sukacita. Beberapa warga bahkan rela menjadi relawan tanpa bayaran untuk membantu instalasi listrik ke rumah-rumah, di bawah koordinasi pemerintah desa. Dari kelompok relawan ini, lahirlah sebuah tim khusus yang bertugas mengelola PLTS. Mereka bertanggung jawab atas perawatan, penagihan iuran warga, hingga memastikan semua komponen PLTS berfungsi dengan baik.

Lima tahun pertama berlalu dengan penuh dedikasi. Kelompok pengelola mampu menjaga keberlanjutan PLTS meskipun tanpa bantuan lebih lanjut dari pemerintah pusat setelah serah terima dilakukan.

Dengan kapasitas 20 kilowatt-peak (kWp), PLTS tersebut mengalirkan listrik ke 149 sambungan pengguna, dengan konsumsi masing-masing dibatasi hingga 240 watt-jam per hari, bergantung pada intensitas sinar matahari.

Namun, perjalanan ini tak lepas dari tantangan. Kisah ini membuka mata akan pentingnya pendekatan holistik dalam transisi energi. Tidak cukup hanya menyediakan teknologi; keberlanjutan jangka panjang juga jadi poin utama yang butuh perhatian.

Pada tahun kedelapan, 2023, masa pakai baterai PLTS yang menjadi inti dari sistem itu mulai habis. Panel surya yang setiap hari menyerap energi matahari tak lagi dapat menyimpan energi karena kapasitas baterai yang menurun drastis.

Upaya kelompok pengelola untuk mencari solusi terbentur keterbatasan dana dan akses teknologi. Akhirnya, keputusan pahit diambil: PLTS harus dihentikan sementara, dengan semua komponennya dijaga agar tetap utuh.

Warga di Tengah Krisis Listrik

Kunjungan penulis ke lokasi pada 4 Desember 2024, tampak modul-modul panel surya dan perangkat pendukung PLTS di Desa Saponda Laut masih mulus tersusun rapi di halaman unit PLTS. Di dalam bangunan sistem kontrol terdapat inverter dan puluhan baterai yang masih terjaga dengan baik.

Kendala dari PLTS dengan kekuatan 20 kilowatt-peak (kWp) itu hanya baterai yang soak. Saat ini PLTS tersebut masih bisa dihidupkan hanya untuk ruang sistem kontrol, itu pun hanya beberapa menit karena kekuatan aki yang sudah tidak bisa menampung energi listrik lagi. Warga pun tak dapat lagi menikmati aliran listrik untuk kehidupan mereka sehari-hari.

Yang paling terdampak tentu saja adalah kelompok rentan, khususnya lansia yang berstatus janda. Ibu Langka, seorang lansia yang tinggal seorang diri di rumah panggungnya, merasakan langsung keterbatasan ini.

PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi
Seorang lansia bernama Langka menunjukkan sumber listriknya dari energi surya dengan panel seukuran tablet, 6 Desember 2024.

Kondisi rumahnya saat ini kontras dengan ketika PLTS Desa Saponda Laut masih berfungsi.Dulu suasana malam di rumahnya cukup terang dengan beberapa lampu dan ia dapat menikmati hiburan dengan menonton televisi.

Kini, ia hanya mengandalkan sebiji lampu 3 watt yang sumber dayanya dari energi surya dengan panel seukuran tablet. Panel surya mini yang tersambung ke aki 50 amper ini tergolong kecil dan sangat bergantung pada sinar matahari. Dengan begitu, tak ada barang-barang elektronik dalam rumahnya yang bisa menemani di hari tuanya.

Dalam situasi tertentu, kadang membuatnya ketakutan. Seperti yang terjadi pada Kamis, 5 Desember 2024, siang itu langit mendung bergelayut, membuat aki tak terisi optimal. Ketika sore menjelang malam, hujan deras disertai petir dan angin kencang tiba-tiba melanda Pulau Saponda.

Ia jadi panik melewati malam itu seorang diri di rumahnya. Rumah panggungnya, yang berdiri tepat di tepi pantai, ikut bergoyang setiap kali angin kencang menerpa. Ketakutannya memuncak saat malam tiba.

Tepat pukul 19.00 Wita, di tengah guyuran hujan lebat, Ibu Langka memutuskan untuk meninggalkan rumahnya. Ia berlari menuju rumah anaknya yang berjarak beberapa meter, menembus hujan deras dan angin yang menggigilkan tubuh.

PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi
Ibu Langka menggunakan senter yang dicas di rumah tetangga sebagai alternatif penerangan di rumahnya

Keesokan paginya, Jumat, 6 Desember 2024, setelah hujan mereda, barulah ia kembali ke rumahnya. Meski rumahnya masih berdiri kokoh, pengalaman itu meninggalkan kekhawatiran mendalam tentang betapa rentannya hidup tanpa sumber listrik yang stabil.

Ibu Langka adalah potret masyarakat kecil di daerah terpencil. Sehari-hari Langka hanya seorang pencari rumput laut. Dengan bermodalkan perahu kecil tak bermesin dan kaca mata renang, ia menyusuri pesisir pulau dan kadang juga menyeberang ke pulau di sebelahnya demi mengumpulkan rumput laut.

Penghasilannya sangat tergantung dengan surutnya air laut yang jauh dari bibir pantai atau dikenal dengan istilah “meti”. Dalam sekali meti, Langka mengmpulkan rumput laut lalu menjemurnya selama dua atau tiga hari yang kemudian dijual dengan harga Rp100 ribu.

Namun penghasilannya itu tak menentu. Bila hanya sekali meti dalam sebulan maka penghasilannya hanya berkisar di Rp100 ribu tersebut. Kondisi ini membuatnya kesulitan membeli penerangan panel surya dan aki yang lebih besar untuk penerangan rumahnya.

Krisis listrik, membuat aktivitasnya pada malam hari sangat terbatas, hanya untuk penerangan ketika memasak dan makan. Bila pun lampunya kehabisan strom, ia hanya menggunakan senter yang rutin dicasnya ke tetangga.

Untuk mendapat penerangan yang demikian membutuhkan modal sekitar Rp800 ribu. Perangkat yang merupakan pemberian dari anak-anaknya itu berupa panel mini seukuran tablet, penghubung, dan dua buah aki.

217 PLTS Terancam Mangkrak

Tanpa skenario yang komprehensif dan berkelanjutan, PLTS lain di Sulawesi Tenggara (Sultra) juga terancam mengalami nasib yang sama dengan yang terjadi di Desa Saponda Laut. Padahal perannya, begitu krusial untuk memastikan kebutuhan listrik masyarakat, terutama di daerah terpencil.

PLTS Pulau Saponda: Cahaya yang Padam di Tengah Transisi Energi
Suasana Pulau Saponda sebagai kampung para nelayan.

Sejak program PLTS dimulai tahun 2015 sudah ada 217 PLTS di wilayah Sultra yang terdiri dari 113 PLTS terpusat, 100 PLTS tersebar, dan 4 PLTS rooftop. Dari jumlah sebanyak itu, terdapat 8 PLTS terpusat yang masuk kategori rusak atau sudah tidak difungsikan.

Sumber dana pembangunannya dari Anggaran dan Belanja Negara (APBN) Kementerian ESDM, APBN Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), APBN Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, APBN Kemendes PDT, APBN Kemenhub, dan APBD provinsi/kabupaten dari Dana Alokasi Khusus (DAK).

Pemerintah pusat yang secara langsung maupun tidak langsung (melalui DAK) membangun PLTS tersebut lalu menyerahkannya ke pemerintah provinsi/kabupaten. Namun sebagian PLTS yang kini tercatat sebagai aset Pemerintah Provinsi Sultra memiliki kendala utama pemeliharaan pasca pembangunan.

Sebanyak 217 PLTS tersebut menyuplai daya listrik untuk 300 lebih desa dengan total penerima manfaat atau yang menerima sambungan listrik 23.545 rumah. Selain untuk warga, pada setiap desa terdapat 5 sampai 10 fasilitas umum yang juga memanfaatkan aliran listrik dari PLTS seperti sekolah, puskesmas pembantu, masjid, kantor desa dan lainnya.

Dengan asumsi rata-rata ada 5 fasilitas umum di setiap desa maka total 1.085 fasilitas umum yang bergantung pada listrik PLTS. Jumlah ini bisa saja lebih karena belum ada data rinci terkait ini di Dinas ESDM Provinsi Sultra.

Dalam penggunaannya, proyek-proyek PLTS itu hanya memiliki masa garansi 5 tahun. Namun setelah melebihi usia itu, baterai akan bertahan paling lama 7-10 tahun dan panel surya sekitar 13 tahun. Berdasarkan kalkulasi ini, tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, ke depan PLTS lainnya tentu akan segera menyusul 8 PLTS yang tak lagi berfungsi.

Kepala Bidang Energi Terbarukan Dinas ESDM Provinsi Sultra, Dewi Rosaria Amin
Dewi Rosaria Amin

Kepala Bidang Energi Terbarukan Dinas ESDM Provinsi Sultra, Dewi Rosaria Amin mengatakan anggaran invetasi untuk PLTS tergolong besar, apalagi menyangkut kebutuhan dasar terutama di daerah terpencil. Misal biaya pembangunan PLTS adalah Rp150 juta per KWP, jadi semacam PLTS di Desa Saponda Laut 20 KWP maka biaya pembangunanya berkisar Rp3 Miliar.

Namun, dia menyayangkan tidak adanya dukungan anggaran pemeliharaan dari pemerintah pusat. Sementara pada anggaran daerah Pemprov Sultra sangat terbatas, pada tahun 2025, hanya menganggarkan sekitar Rp400 juta untuk pemeliharaan PLTS terpusat di Desa Taduasa, Buton Selatan. Ini menurut Dewi hanya cukup untuk desa tersebut, sedangkan desa lainnya harus menunggu penganggaran tahun berikutnya.

“Kami sudah punya data berapa yang rusak, berapa biaya perbaikan yang dibutuhkan, tapi itu tadi kami terkendala di penganggaran,” ujar Dewi.

Terkait peran pemerintah pusat, Dewi mengakui memang tidak aturan yang mendukung untuk pemeliharaan revitalisasi pasca pembangunan. Kecuali pemerintah pusat mau membuat undang-undang atau peraturan baru untuk revitalisasi.

Kelemahan Kritis Kebijakan Pemerintah

Kelemahan kritis dalam upaya transisi energi Indonesia salah satunya adalah soal kebijakan pemerintah yang tidak berkelanjutan. Hal ini menjadi sorotan Trend Asia dalam laporannya tentang “Banking on Renewables” atau pendanaan energi terbarukan.

“Pembangkit-pembangkit energi terbarukan ini beda sama PLTU yang langsung dipegang sama pemerintah, tapi cuma dipasang saja terus ditinggalin begitu saja. Jadi masalah energi terbarukan itu tidak pernah dipikirkan keberlanjutannya dan perencanaan pembangunannya tidak ada baik di APBD maupun APBN,” ujar Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian.

Untuk daerah-daerah seperti pulau yang terdiri hanya satu atau dua desa, keberlanjutan pasca pembangunannya hanya berharap dari APBD atau dana desa, bukan APBN. Hal ini membuat pembangunan PLTS tidak berorientasi jangka panjang meskipun usia pembakit listrik energi terbarukan bisa mencapai 15 sampai 25 tahun.

Selain tidak adanya pendanaan jangka panjang, PLTS juga dihadapkan pada kurangnya partisipasi masyarakat untuk mengelolanya dengan baik. Apalagi pengetahuan tentang energi ini pada dasarnya eksklusif dan tidak mudah untuk diketahui masyarakat.

Padahal partisipasi masyarakat atau kelompok masyarakat sangat penting dalam upaya demokratisasi energi. Ini dapat mendorong desentralisasi yakni pengelolaan energi secara lokal, terutama dari sumber energi terbarukan.

Beyrra mengamati pendanaan energi terbarukan hanya berfokus di awal untuk pengadaan alatnya saja. Jadinya kebanyakan program hanya untuk memenuhi target energi terbarukan tanpa melihat apakah berkelanjutan atau tidak.

Persoalan ini menjadi catatan serius, sebab bila tidak efektif maka sepatutnya anggaran energi terbarukan seperti PLTS dialihkan saja ke kebutuhan masyarakat yang lebih substansial seperti air bersih, kesehatan, atau pendidikan. Hal ini penting agar APBN dan APBD tidak terbuang sia-sia.

“Mengerikannya banyak bangat program-program kaya gini hanya untuk memenuhi target energi terbarukan tanpa melihat apakah targetnya ini memang bermanfaat untuk masyarakatnya atau tidak, berkelanjutan atau tidak, sesuai atau tidak, dan ini paling dibutuhkan masyarakat atau tidak. Itu pertanyaan paling besarnya,” ujar Beyrra.

Menurut Beyrra, bila program energi terbarukan tidak disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat maka tidak akan berjalan baik. Kalaupun sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memang butuh energi bersih, problem lainnya adalah tidak adanya pengelolaan berkelanjutan untuk pemanfaatan jangka panjang.

Sejauh pengamatannya, banyak sekali pemasangan energi terbarukan tanpa orientasi keberlanjutan dan berkesinambungan, paling lama dipakai setahun dua tahun karena baterai soak atau komponen-komponennya rusak. Hal ini menjadi kritikan Trend Asia dalam skala internasional terkait transisi energi terbarukan di Indonesia.

Terlepas dari problem yang ada, biaya energi dari PLTS menurut dia sudah kompetitif dengan pembangkit listrik dari energi fosil. Hanya saja energi fosil terkesan murah karena diberikan banyak insentif, sementara belum ada upaya yang sama untuk energi terbarukan sehingga terasa lebih mahal.

Masa Depan Energi Terbarukan dari PLTS

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menawarkan solusi tak hanya untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga menciptakan akses energi yang inklusif bagi daerah terpencil. Namun, keberhasilan PLTS tak hanya bergantung pada teknologinya, melainkan juga pada dukungan pendanaan, pengelolaan yang baik, dan memastikan manfaatnya terus dirasakan lintas generasi.

Kepulauan Indonesia terdiri lebih dari 17.299 pulau sangat potensial dalam penggunaan energi terbarukan, khususnya bagi pulau-pulau kecil terpencil. Sebab, kata Beyrra, kebanyakan pulau-pulau kecil ini tidak terjangkau oleh PLN.

Selain untuk transisi energi, hal itu penting demi memenuhi hak warga negara dalam mendapatkan energi berupa listrik untuk bisa menunjang kesejahteraan. Pemenuhan ini bagian dari demokratisasi energi yang manfaatnya menggenjot ekonomi kecil sebagai penguat ekonomi nasional.

Energi terbarukan adalah pilihan bagi Indonesia untuk sejahtera secara kolektif, artinya yang sejahtera tidak hanya di pulau besar saja. Di sisi yang lain juga perlu pengawasan dan penguatan dari semua instansi terkait untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkesinambungan.

Peneliti dari Universitas Halu Oleo, Dr. Asminar
Dr. Asminar

Peneliti dari Universitas Halu Oleo, Dr. Asminar menjelaskan Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan dari tenaga surya, terutama karena posisinya yang berada di garis khatulistiwa. Indonesia menerima sinar matahari sepanjang tahun yang sangat ideal untuk pengembangan PLTS.

Namun memang kendala utama pada PLTS saat ini terletak pada baterai yang seiring penggunaan terus-menerus, akan mengalami penurunan performa hingga akhirnya soak. Selain soal pemeliharaan, salah satu solusi teknis untuk memperpanjang usia baterai adalah dengan mengatur pola pemakaian energi.

Desain penggunaanya adalah mengalihkan sebagian energi dari modul panel surya langsung ke rumah warga pada waktu sinar matahari sedang maksimal, sementara sisanya disimpan di baterai untuk digunakan saat tidak ada sinar matahari.

Dengan mengontrol pengisian (charging) dan pemakaian (discharging) tersebut dapat menambah panjang usia pemakaian baterai. Pada dasarnya baterai semakin sering diisi dan digunakan maka semakin berkurang “nyawanya”.

“Dalam merancang pembangkit, sudah bisa diperkirakan baterai untuk jenis dan kapasitas ini berapa lama bisa dipakai, seumpama usia pakai hanya lima tahun, kita bisa bikin kontrol agar usianya bisa sampai tujuh tahun,” ujar Asminar.

Jalan lain adalah dengan menggabungkan PLTS dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/angin (PLTB). Konsep secara hybrid tersebut memanfaatkan keunggulan masing-masing sumber energi terbarukan untuk membuat pasokan listrik yang lebih stabil dan efisien.

PLTS akan menghasilkan listrik dari sinar matahari, yang biasanya maksimum pada siang hari tapi produksinya menurun saat cuaca mendung. Sedangkan PLTB dapat menghasilkan listrik dari angin, yang sering kali lebih kencang pada malam hari atau saat cuaca tertentu.

Dalam risetnya tentang model hybrid, sumber energi terbarukan yang juga dapat dikombinasikan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBG). Namun ini disesuaikan dengan potensi daerah/pulau di mana pembangkit berada, misalnya jika ada kotoran sapi yang menjadi sumber biogas.

Cara kerjanya adalah sistem utama terdiri dari PLTS dan PLTB yang dihubungkan secara paralel dengan baterai utama. Sementara PLTBG sebagai pendukung yang memiliki baterai backup yang akan terhubung ke beban ketika baterai utama melemah atau terputus dari beban.

Kombinasi tiga pembangkit dengan model demikian adalah salah satu konsep hybrid mikrogrid. Sistem ini menggabungkan dua atau lebih sumber energi yang berbeda dengan rangkaian peralatan konversi energi listrik yang saling terintegrasi untuk saling mengatasi keterbatasan satu sama lain.

Menurut Asminar sistem mikrogrid inilah yang menjadi solusi membangun kawasan mandiri energi dengan menggunakan sumber energi terbarukan lokal di setiap kawasan. Skalanya tidak hanya terbatas untuk satu desa terpencil, tetapi tergantung besarnya daya yang dihasilkan.

“Bukan terkait kombinasi (pembangkit) tapi berapa daya yang dihasilkan, ini yang menentukan apakah dia skala kecil atau skala besar satu pulau naik jadi satu kota, bahkan satu provinsi mungkin,” ujar Asminar.

Dalam skala yang lebih luas lagi dikenal dengan konsep smartgrid yang dapat diimplementasikan untuk satu negara. Integrasi energi terbarukan ini mencakup jaringan utama (grid) dan mengoptimalkan interaksi antara pembangkit listrik, distribusi, dan konsumen.

Dalam konsep smartgrid, jaringan listrik turut mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan pasokan listrik. Asminar memprediksi ke depan orang akan beralih dari pola pemakaian energi konvensional ke model smartgrid ini. (*)

 

Reporter: Muhamad Taslim Dalma