ZONASULTRA.COM, KENDARI – Belakangan ini, orang gila atau orang dengan penyandang cacat mental tiba-tiba saja menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikannya hak untuk memilih atau mencoblos dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang.
Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Publik yang setuju menganggap penyandang cacat mental merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia, sehingga mereka memiliki seperti warga negara pada umumnya.
Sementara publik yang tidak setuju berpendapat, orang dengan status sebagai penyandang cacat mental dianggap tidak bisa berpikir secara sehat dalam menentukan pilihannya.
Dalam debat publik yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Tenggara (Sultra), perdebatan tentang polemik ini juga tidak memberikan rekomendasi yang bisa disetujui semua pihak.
Baca Juga : KPU Muna: Orang Cacat Mental Tak Punya Hak Suara
Ketua KPU Sultra, La Ode Abdul Natsir yang menjadi narasumber dalam debat itu memaparkan peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 mengenai penyusunan daftar pemilih dalam negeri. Satu yang menjadi poin penting dalam PKPU ini adalah pemilih yang dicatat dalam DPT dipastikan tidak terganggu jiwa dan ingatannya.
Disinilah problemnya. Orang yang dianggap terganggu jiwa dan pikirannya harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
“Semua berstatus pemilih. Kecuali dalam UUD menegaskan seperti anggota TNI Polri. Jadi sepanjang itu kita tidak berhak mengeluarkan sampai ada keputusan dokter yang mengatakan ini sedang terganggu jiwanya,” kata Abdul Natsir.
Secara singkat, menurut mantan Ketua KPU Kendari ini, KPU berkewajiban mencatat setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk memilih. Adapun bagi yang mengalami gangguan jiwa, bisa dicoret jika ada surat keterangan dokter.
“Kita kan tidak bisa langsung bilang bahwa orang itu gila. Yang berhak menentukan ini adalah ahli. Yah itulah dokter,” jelas Abdul Natsir.
Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sultra, dr Junada yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut menyebutkan bahwa orang berpenyakit mental dan gangguan jiwa diidentifikasi menggunakan Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-3) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1993.
Panduan itu mengkualifikasi penyandang gangguan kejiwaan dalam dua bagian. Ada yang masuk dalam kategori ringan, dan ada yang masuk kategori berat. Yang masuk kategori ringan inilah yang dianggap bisa difasilitasi oleh KPU untuk menyalurkan hak pilihnya.
Adapun yang masuk kategori berat adalah mereka yang tidak mampu lagi beraktifitas secara produktif. Bahkan bisa mengancam keselamatan jiwa orangb lain. Pengidap gangguan jiwa berat ini kata Junada ditandai dengan delusi, halusinasi, paranoid, ketakutan berat, yang biasanya disebut gejala psikosis.
Secara umum, kegilaan adalah sebuah spektrum kejiwaan yang terlihat, baik pada seorang manusia maupun sebuah kelompok manusia dengan gejala kondisi abnormal tertentu pada mental atau pola perilaku. Dalam bahasa Inggris, kegilaan disebut insanity, craziness atau madness.
“Kalau masih sanggup melaksanakan keseharian, itu masuk kategori ringan. Kalau berat itu ada halusinasi, lihat setan dan lain-lain yang mengakibatkan ketakutan yang membuat dia tidak bisa menjalankan aktifitas kesehariannya,” kata Junada.
Menurut Juanda, semua orang berpotensi mengalami gangguan jiwa. Pasalnya, stres atau depresi yang biasa dirasakan tiap orang itu juga masuk dalam ranah gangguan jiwa. Hanya saja, itu masuk dalam kategori gangguan jiwa ringan.
“Jadi saya kira orang yang mengalami gangguan jiwa ringan, itu sah-sah saja untuk memilih. Kecuali yang masuk kategori berat, ini yang tidak boleh,” ujarnya.
#Polemik Hak Pilih “Orang Gila” di Dunia Internasional
Masalah hak pilih “orang gila” memang cukup lama menjadi perdebatan di beberapa negara. Bukan hanya di negara maju, pada negara tetangga kita seperti Timor Leste pernah mengalami hal seperti ini.
Hak untuk memilih adalah hak penting yang menandakan kebebasan berpikir serta kewarganegaraan penuh dalam pengaturan apa pun. Hak untuk memilih diabadikan dan dilindungi oleh perjanjian hak asasi manusia internasional.
Hak semua individu untuk mengambil bagian dalam proses politik dan pemilihan umum didasarkan pada hak pilih yang universal dan azas kesetaraan.
Baca Juga : Mendata Orang Gila, KPU Muna Koordinasi dengan RSJ Kendari
Meskipun Konvensi Internasional tentang ini telah diratifikasi oleh sebagian besar Negara Anggota PBB, ternyata penerapannya di seluruh dunia sama sekali tidak universal.
Sebuah penelitian tentang ini juga sudah pernah dilakukan. Dari 167 Negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menjadi subyek penelitian ini, 21 negara diantaranya tidak menerapkan pembatasan pada hak pilih bagi orang-orang dengan masalah kesehatan mental.
Sementara lebih dari sepertiga dari negara-negara tersebut menolak hak pilih semua orang dengan masalah kesehatan mental tanpa kualifikasi apapun. Beberapa sikap diskriminatif ini tercermin dalam banyaknya istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang dengan masalah kesehatan mental.
Dikutip dari situs US National Library of Medicine National Institutes of Health menyebutkan, di banyak negara terjadi penolakan hak suara bagi “orang gila” alias para pemilih yang sedang menderita penyakit atau gangguan jiwa.
#KPU Butuh Bantuan IDI
Praktisi Hukum Sulawesi Tenggara, Asri Syarif menilai, jika KPU tidak hati-hati dalam pengkategorian gangguan jiwa, nantinya bisa jadi celah hukum untuk digugat. Olehnya itu, diperlukan penanganan sejak dini pada persoalan ini.
“Jangan menunggu ada sidang baru hadirkan ahli. Ini harusnya sejak awal kita hadirkan ahli untuk mengidentifikasi mana yang masuk kategori gangguan jiwa yang boleh memilih dan tidak,” ucap Asri Syarif.
Olehnya itu sambung dia, diperlukan pihak ketiga dalam persoalan ini. Orang ketiga itu tentunya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Pihak KPU sendiri mengaku telah berkoordinasi dengan pihak IDI untuk membantu mengidentifikasi mana yang pemilih yang terdaftar dalam DPT dan masuk dalam kategori gangguan jiwa berat.
“Jadi nanti itu dalam DPT ada kolom-kolomnya bagi penyandang disabilitas termasuk juga didalamnya disabilitas mental. Nah disitulah kita meminta peran dari IDI untuk membantu mengidentifikasi,” tutup Abdul Natsir.
Perdebatan tentang hak pilih bagi para penyadang cacat mental dan gangguan jiwa ini mestinya bisa disikapi lebih dini agar tidak menjadi ancaman serius terhadap penyelenggara Pemilu. (A+/SF)