ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Projo Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) menemukan dugaan pelanggaran dalam pembentukan dan pendefinitifan 8 desa yang ada di Kecamatan Anggatoa, serta 2 Desa di Kecamatan Wawotobi.
Projo menduga, Peraturan Daerah (Perda) nomor 79 tahun 2017 yang digunakan untuk mendefinitifkan desa baru itu cacat administrasi, sebab peraturan tersebut diduga kuat tidak pernah ada alias bodong
Kesepuluh desa tersebut adalah desa Ohothay dan Desa Amasara, Kecamatan Wawotobi, kemudian Desa Laloato, Tonganggura, Anaosu, Wula Mokuni, Manggialo, Lawuka, Wowanario, dan Desa Wowaporesa, Kecamatan Anggatoa.
Baca Juga : Masuk Daerah Relokasi, Projo Minta APBDes 7 Desa di Konawe Ditinjau Ulang
Ketua DPC Projo Konawe, Irvan Umar mengaku sudah mengecek keabsahan perda nomor 79 tahun 2017 tentang pendefinifan desa tersebut di Bagian Hukum Setda Konawe, hasilnya ia menemukan fakta bahwa Perda tersebut tidak pernah ada dan tidak memiliki nomor registrasi.
“Kita sudah cek, tidak ada Perda itu. Fakta lain yang kita temukan adalah Perda pendefinitifan kesepuluh desa itu keluar setelah adanya Perda tentang pembentukan Kecamatan Anggatoa, dan nomor Perda dengan nomor SK itu sama-sama 79,” kata Irvan kepada sejumlah awak media, Jum’at (23/8/2019).
Kata dia, dengan adanya fakta terkait proses pendefinitifan delapan desa di Kecamatan Anggatoa dengan menggunakan perda palsu, maka secara otomatis Perda nomor 1 tahun 2017 tentang pemekaran Kecamatan Anggatoa juga cacat hukum dan harus dibatalkan.
Dengan bukti dan fakta yang ada, DPC Projo Konawe berencana menggugat Perda nomor 79 tahun 2017 tentang pendefinitifan 10 desa dan Perda nomor 1 Tahun 2017 tentang pemekaran Kecamatan Anggatoa, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
“Nanti kita kaji lagi, rencananya kita akan menggugat Perda ini di TUN. Ini kebiasaan buruk Pemerintah Daerah (Pemda) Konawe, mereka keluarkan aturan yang asal-asalan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Sekertariat Daerah (Setda) Konawe, Badaruddin mengaku tidak mengetahui tentang Perda tersebut. Ia menyebut nomor Perda tentang pendefinitifan 10 desa terlalu tinggi.
Baca Juga : Kasus Dana Desa di Konawe, Ini Penjelasan Wakil Ketua KPK
“Kenapa terlalu besar itu nomor, saya tidak tau itu kenapa terlalu besar itu nomor. Masa mau ada dalam satu tahun prodak hukum yang keluar sampai 79 nomor Perda. Paling tinggi itu 33 dalam satu tahun,” ujar Badaruddin via selulernya.
Setau dia, dalam rentan waktu 2017 lalu, dirinya tidak pernah meregistrasi Perda nomor 79. Prodak hukum terakhir yang ia registrasi di tahun itu adalah Perda nomor 34 tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
“Kenapa sampai 34, karena sudah gabung antara Perda inisiatif dewan dan usulan eksekutif. Kalau sampai 79 saya tidak tau itu, dan saya merasa tidak pernah ada,” tutupnya.(A)
Kontributor : Restu Tebara
Editor : Abdul Saban