Prosesi Kansoda’a di Wakatobi, Simbol Kebanggaan Memiliki Anak Perempuan

100
Prosesi Kansoda'a di Wakatobi, Simbol Kebanggaan Memiliki Anak Perempuan
Prosesi Kansoda’a di Wakatobi. (Foto: Istimewa)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) tak hanya kaya dengan keindahan bawah lautnya, tetapi juga memiliki ragam tradisi dan budaya yang unik. Salah satunya adalah kansoda’a.

Kansoda’a merupakan tradisi masyarakat Wakatobi mengarak remaja perempuan menggunakan tandu. Tradisi ini menyimbolkan kebanggaan keluarga Wakatobi memiliki anak perempuan yang sudah beranjak dewasa.

Setiap anak perempuan di Kabupaten Wakatobi pasti akan melalui proses kansoda’a. Lewat kansoda’a ini, para orang tua ingin menunjukkan bahwa anak perempuan kebanggaan mereka telah tumbuh dengan baik.

H. La Ane Puru, tokoh adat Kadie Wanse, salah satu wilayah adat di Kabupaten Wakatobi, mengatakan, kansoda’a merupakan prosesi adat yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Wakatobi, terutama di Pulau Wangiwangi. Tradisi ini diyakini sudah ada sejak zaman Kesultanan Buton sekitar tahun 1918.

“Proses kansoda’a adalah hal yang sakral bagi masyarakat Wakatobi, terutama para gadis yang menjelang dewasa serta gadis yang sudah dewasa,” terang La Ane Puru, Kamis 16 November 2023.

Selama berlangsungnya acara kansoda’a, kata La Ane, para remaja perempuan duduk di atas tandu kayu. Keluarga mereka yang laki-laki kemudian mengangkat dan mengarak tandu tersebut keliling kampung.

Mereka juga mengguncangkan tandu tersebut ke segala arah. Sementara perempuan yang mereka angkat tidak boleh menunjukkan rasa takut sebagai simbol kedewasaan. Penonton pun tampak memadati prosesi ini.

Menurut La Ane, kansoda’a ini awalnya dilaksanakan sekali setahun yaitu pada bulan Syawal atau setelah Idulfitri. Namun, kini bisa sampai dua kali setahun, yaitu pada bulan Syawal, Zulhijah (setelah Iduladha) atau Syakban.

Adapun pelaksanaan kansoda’a berdasarkan wilayah adat masing-masing. Wakatobi sendiri memiliki empat wilayah adat, yaitu Kadie Liya, Kadie Wanse, Kadie Mandati, dan Kadie Kapota.

“Proses kansoda’a sampai sekarang masih terpelihara sebagai kekayaan khasanah budaya kearifan lokal masyarakat Wakatobi,” ujar La Ane Puru.

Kansoda’a Bagian dari Karia

La Ane Puru mengatakan, berbicara kansoda’a maka tak lepas dari karia’a. Kansoda’a merupakan rentetan dari prosesi adat karia’a.

Prosesi Kansoda'a di Wakatobi, Simbol Kebanggaan Memiliki Anak Perempuan
Para remaja perempuan duduk di atas tandu kayu pada prosesi kansoda’a. (Foto: Istimewa)

Karia’a merupakan upacara sunatan bagi anak laki-laki dan perempuan ketika beranjak dewasa. Puncak dari tradisi ini, remaja perempuan akan diarak keliling kampung menggunakan tandu yang disebut kansoda’a, sedangkan laki-laki berjalan kaki.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Setiap usungan bisa berisi tiga atau lima anak perempuan dan diusung oleh empat hingga sepuluh laki-laki dewasa. Maksud dan tujuan diarak keliling kampung agar majelis sara dan masyarakat tahu bahwa anak tersebut sudah dikaria’a.

Dalam arak-arakan karia’a ini, barisan depan adalah barisan majelis sara (pemangku) adat sebagai penunjuk jalan, barisan kedua adalah peserta karia laki laki (lengko), dan terakhir adalah barisan kansoda’a, yaitu peserta karia perempuan yang dipikul di atas tandu.

Bagi lengko atau laki-laki, berjalan kaki mengandung makna bahwa dalam menaungi kehidupan ia mampu berdiri dengan kakinya sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain.

Sementara perempuan ditandu mengandung sebuah makna filosofi bahwa perempuan itu harus dimuliakan dan dilindungi kehormatan dan kesuciannya oleh kaum laki laki.

Selama diarak keliling kampung, para ibu-ibu yang mendampingi peserta karia bersorak-sorak sebagai luapan kegembiraan serta melakukan tarian makanjara diiringi tabuhan irama gendang.

Para lengko pun memperlihatkan ketangguhannya sebagai laki-laki yang kadang mencabut keris di pinggangnya sebagai lambang kesatria.

Proses Karia’a

Prosesi adat karia’a ini diawali dengan Wehayi (yang punya hajatan) meminta kepada majelis sara (pemangku) adat untuk melaksanakan karia’a.

Prosesi Kansoda'a di Wakatobi, Simbol Kebanggaan Memiliki Anak Perempuan
Masyarakat tampak memadati prosesi Kansoda’a. (Foto: Istimewa)

Setelah disepakati oleh majelis sara maka ada beberapa proses adat yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum tiba hari pelaksanaan karia’a. Proses adat ini disebut hoporukua.

Dalam acara hoporukua ada beberapa rangkaian adat lagi, seperti anak-anak yang akan dikaria’a, baik laki-laki maupun perempuan dimandikan oleh bisa (perangkat adat) terlebih dahulu pada sore hari.

Setelah dimandikan, rangkaian adat berikutnya adalah hakoroku. Acara ini adalah menuntun anak yang dikaria’a dengan berbaris menghadap kiblat lalu digoyang 3 kali dan menghadap ke timur.

Setelah selesai proses ini maka para peserta karia dituntun untuk mengucapkan salawat dengan maksud semoga semua anak-anak yang dikaria’a mengikuti akhlak Nabi Muhammad SAW.

Setelah itu dituntun untuk bertobat dan membersihkan diri. Terakhir, mereka dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat yang mengandung makna resmi memasuki Islam.

Dalam prosesi ini, terdapat lagi rangkaian adat yang menjadi sebuah ritual, yaitu tobea nubansa. Para bisa dari kaum wanita membelah bunga pinang dan bunga kelapa dengan prosesi adat yang sakral dan khusyuk.

BACA JUGA :  Dorong Peningkatan Kualitas Event Pariwisata, Dispar Sultra Launching KEN 2024

Setelah terbelah, bunga pinang dan bunga kelapa ini menurut kepercayaan masyarakat Wakatobi akan terlihat jodoh dan rezeki peserta karia’a dengan menghitung buah yang ada pada bunga itu.

Bunga pinang dan bunga kelapa ini kemudian disimpan dalam sebuah wadah dengan rendaman air untuk dimandikan kepada peserta karia’a setelah salat Subuh.

Setelah tiba hari karia’a, seluruh peserta akan dipakaikan pakaian adat karia’a oleh pihak-pihak yang telah ditunjuk, baik dari sara ataupun pemerintah daerah. Kegiatan ini disebut hopohepakea.

Pakaian yang dikenakan oleh peserta karia disebut tandaki dan di atas kepala mereka disimpan tandapungo, yaitu mahkota Sultan Buton di zaman dulu dengan berbagai macam aksesoris berwarna warni yang bernuansa keemasan.

Setelah semua peserta karia’a memakai pakaian kebesaran yang dianalogikan sebagai raja dan ratu sehari maka seluruh peserta berkumpul di sombonga (rumah tuan rumah) untuk melakukan persiapan mengarak peserta karia keliling kampung.

Setelah semua peserta karia berkumpul di sombonga maka setelah ada komando dari sara maka seluruh peserta karia’a diarak keliling kampung.

Selama arak-arakan, tarian makanjara dan alunan lagu kadandio dilantunkan dan sesekali usungan kansoda’a digoyang ke atas sebagai luapan kegembiraan.

Setelah selesai arakan-arakan maka semua menuju kembali ke sombonga untuk melakukan prosesi doa selamat dan bersalaman dengan semua majelis sara dan pemerintah yang hadir.

Pesta adat karia’a ini diakhiri dengan makan bersama atau mangan pogaga’a. Setelah itu peserta boleh pulang ke rumah masing-masing.

Rangkaian tradisi ini ditutup dengan membawa boti, yaitu penghasilan baik hasil laut maupun perkebunan kepada sara maupun pejabat pemerintah yang telah memakaikan anak mereka pakaian karia’a sebagai ungkapan syukur dan terima kasih.

Prosesi adat karia’a dan kansoda’a ini selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu, tidak hanya bagi masyarakat Wakatobi tapi juga bagi wisatawan yang berkunjung ke Wakatobi.

Pemerintah Kabupaten Wakatobi kerap menampilkan kansoda’a dalam event-event budaya di daerah itu untuk menarik minat wisatawan. (*)

 


Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini