Refleksi Keberanian dan Jiwa Kesatria dalam Tari Mangaru

165
Refleksi Keberanian dan Jiwa Kesatria dalam Tari Mangaru
Tari mangaru (Facebook: Sanggar Seni Sapati Buton)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Tari mangaru merupakan salah satu warisan budaya leluhur pada masa Kesultanan Buton yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat di wilayah Kepulauan Buton.

Tarian tradisional ini bercerita tentang keberanian dua orang laki-laki yang sedang berada dalam medan peperangan. Kedua penari memperagakan gerakan-gerakan saling beradu kekuatan.

Sebagai tarian yang menggambarkan keberanian dalam perang dan jiwa kesatria maka masing-masing penari wajib membawa senjata. Adapun senjata yang digunakan berupa keris, badik, dan belati.

Penari akan memasuki arena tari seperti akan bertarung. Saat musik pengiring dimainkan, mulailah keduanya saling serang menggunakan keris atau senjata tajam lainnya seperti hendak menusuk.

Tari mangaru khusus untuk laki-laki dan bisa dimainkan oleh dua atau tiga orang laki-laki, tergantung dari konteks kegiatannya.

“Kalau dalam pesta adat, tari mangaru ditampilkan oleh dua penari, sedangkan dalam kegiatan di luar pesta adat bisa dilakukan oleh tiga penari,” terang Muhamad Amran, Penggiat Seni di Buton.

Pada mulanya tarian mangaru merupakan kesenian wajib pada zaman kesultanan. Para penari merupakan orang-orang pilihan yang memiliki keberanian.

Sebelum pertunjukan mangaru, terlebih dahulu dipersiapkan ritual kakanu yang berarti persiapan lahir batin dengan membaca mantra ilmu kebal. Sebab, konon, pada zaman dulu para penari saling menyerang sungguhan menggunakan senjata tajam.

Dengan berkembangnya zaman, tarian ini kini didesain menjadi suatu hiburan untuk masyarakat. Tarian mangaru masih tetap menggunakan senjata tajam, tetapi tidak lagi saling menikam secara serius seperti yang dilakukan pada zaman dulu. Para penari hanya sekadar berperan dengan mimik serius seakan dilakukan dalam peperangan nyata.

Menurut Amran yang juga Ketua Sanggar Seni Sapati Buton, tari mangaru ini sudah mengalami berbagai pengembangan dan kreasi, namun tetap menjadikan semangat keberanian saat berperang sebagai dasarnya. Kini tarian ini lebih sering ditampilkan saat ada penyambutan tamu.

Gerakan Tari Mangaru

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini (2022) oleh Henny, tarian mangaru terdiri atas tiga bagain. Pertama bagian pembuka. Pada bagian ini penari memasuki arena pertunjukan kemudian memberikan penghormatan kepada para orang-orang tua adat dengan menundukkan kepala dan juga memberikan penghormatan kepada sesama pemain.

Kedua bagian isi. Tarian mangaru mengutamakan kaki, gerakan tangan, serta kepala, karena tari ini dilakukan dengan pola berdiri tidak sejajar sehingga gerak kaki, tangan dan kepala harus seirama.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih
Refleksi Keberanian dan Jiwa Kesatria dalam Tari Mangaru
Gerakan dalam tari mangaru. (Facebook: Amran Sapati)

Keterpaduan dari ketiga gerakan yang ditata dengan berbagai pola dan tingkat kerumitan serta pengendalian emosi untuk tetap kompak menciptakan satu tarian yang dinamis.

Pada tarian mangaru masing-masing penari memegang keris untuk dijadikan senjata. Saat musik dimainkan mulailah mengambil posisi kuda-kuda untuk kaki digerakkan dua langkah ke kanan dan ke kiri membentuk lingkaran. Gerakan ini digunakan pada saat bertahan maupun menyerang.

Untuk posisi sebelum menyerang, keris diputar-putar di tangan seperti memamerkan kekuatan, lalu mereka mereka saling menyerang dan berpura-pura menusuk menggunakan keris.

Terakhir bagian penutup. Bagian ini sama halnya dengan bagian pembuka atau penghormatan.

Seperti jenis tari tradisional lainnya, tari mangaru juga diiringi beberapa alat musik tradisional, seperti mbololo atau gong, kandi-kandi serta dua buah gendang terbuat dari kulit hewan.

Musik yang dimainkan bertempo cepat dan membangun suasana suka cita agar membuat penari dan penonton lebih semangat saat menyaksikan pertunjukan tarian mangaru ini.

Dalam pementasan tarian mangaru, tak ada nyanyian seperti tari tradisional lainnya. Yang ada hanya suara “hah hah hah” dari para penari untuk memberi semangat.

Adapun busana penari mangaru menggunakan kampurui atau ikat kepala khas Buton, jubah tenun, dan sarung khas Buton.

Menurut Amran, hingga saat ini tak ada yang tahu makna pasti di balik tarian ini. Namun, karena tari mangaru digunakan untuk penyambutan tamu, beberapa sumber menyebut tari mangaru untuk mengusir roh-roh jahat.

Jika ada roh jahat yang berada di tubuh tamu kehormatan, dengan dijemput tari mangaru maka roh jahat tersebut akan hilang sehingga tamu tersebut masuk ke dalam kampung dalam keadaan bersih.

Amran juga menyebut tari mangaru ini mengajarkan untuk bekerja keras dan semangat menjalani kehidupan. Sebab, gerakan tarian ini agak cepat dan membutuhkan fisik yang kuat.

Di Buton, selain untuk menyambut tamu, tari mangaru kerap ditampilkan dalam tradisi adat mataano sata. Tradisi ini diadakan hampir di tiap-tiap kampung. Waktu pelaksanaannya tergantung tokoh adat.

“Tidak menentu (waktu), tergantung tokoh adat. Tapi setiap ada pesta adat di satu kampung, pasti akan bersambung-sambung terus dengan kampung-kampung lainnya,” terang Amran yang menunjukkan bahwa tari mangaru ini masih tetap eksis.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Tarian ini juga sekaligus dijadikan ajang oleh warga setempat untuk berkumpul.

Nilai-Nilai dalam Tari Mangaru

Berdasarkan informasi dalam penelitian “Nilai-Nilai Tarian Mangaru pada Aspek Perkembangan Anak Usia Dini” yang dilakukan oleh Henny dari Universitas Muhammadiyah Buton, tradisi tari Mangaru merupakan salah satu warisan budaya leluhur pada masa kesultanan Buton yang masih dilestarikan oleh sebagian daerah di Kepulauan Buton.

Tarian tersebut pada mulanya menggabarkan sikap patriotism, nasionalisme dan solidaritas para pemangku kepentingan pada masa kesultanan Buton. Selain itu, tarian ini menanamkan sikap gigi dan berani mengambil resiko serta mengandung nilai-nilai kesenian sehingga masyarakat dapat menikmati pertunjukkan tradisi Tari Mangaru dengan sangat baik.

Dalam hasil penelitian yang terbit di “MURHUM : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini” tersebut, Henny mengemukakan tiga nilai dalam tarian mangaru yakni nilai budaya, nilai etika, serta nilai agama dan moral.

Nilai budaya adalah suatu konsep mengenai apa yang hidup dalam jiwa dari warga suatu masyarakat. Nilai budaya yang terdapat pada tarian mangaru yakni tarian mangaru yang merupakan suatu warisan leluhur secara turun temurun yang tetap dilestarikan sampai sekarang dari generasi ke generasi selanjutnya.

Nilai etika adalah suatu tindakan atau keputusan yang harus dilakukan tentang benar-salah, baik buruknya suatu perilaku manusi. Nilai etika yang terdapat dalam tarian mangaru ialah saat proses maupun sebelum pertunjukan Tarian Mangaru adanya sikap saling menghargai dan menghormati antara penari dan orang tua adat yang ada di Desa Wakalambe dan juga sesama penari Mangaru seperti pada saat pembukaan Tarian Mangaru.

Lebih lanjut dijelaskan, nilai-nilai moral dan agama adalah kemampuan seorang anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan berlatih. Nilai agama dan moral pada tari mangaru sangat kental dengan kepercayaan masyarakat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Sebelum kegiatan dilakukan terlebih dahulu para tokoh adat dan tokoh agama memohon doa kepada yang Maha Kuasa agar dalam proses pelaksanaan kegiatan adat tidak terjadi hal-hal yang kurang baik sehingga berpengaruh pada keadaan masyarakat. Selain itu, para petuah mendoakan akan keselamatan dan kesejahteraan serta kedamaian masyarakat sebagai makhluk sosial yang penuh dengan problematika kehidupan. (***)

 


Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini