ZONASULTRA.COM, KENDARI – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buton Raya mengungkit kembali kasus tambang nikel di Kota Baubau. Tambang itu dalam kendali perusahaan swasta PT Bumi Inti Sulawesi (BIS) yang sejak masuk di Baubau hingga kini masih penuh problematika.
Kawasan pertambangan berada di Blok Sorawolio Baubau. Blok ini terletak di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Lokasi itu dikenal sebagai kawasan “Buso”, akronim dari dua kecamatan yang masuk daerah lingkar tambang yaitu Kecamatan Bungi (wilayah hilir) dan Kecamatan Sorawolio (daerah hulu). Secara geografis lokasi tambang itu tepat berada di Kelurahan Kaisabu Baru, Kecamatan Sorawolio.
Ketua Dewan Pendiri LBH Buton Raya Erwin Usman mengatakan, kasus itu terkait penggunaan kawasan HPT yang tidak sesuai tata ruang, masuknya lokasi tambang dalam kawasan hutan lindung, dan problematika lainnya. LBH Buton Raya dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra pernah melaporkan kasus itu di Kepolisian Daerah (Polda) Sultra pada 8 Agustus 2011.
“Laporan ini pada prinsipnya terjadi dua hal, pertama terjadi praktek illegal logging (pembalakan liar) di kawasan HPT seluas 1.700 hektar oleh PT BIS atas legalisasi dari pemerintah termasuk pemerintah provinsi saat itu mulai transisi Ali Mazi ke Nur Alam (2007-2008). Di Baubau waktu itu, wali kotanya pa Amirul Tamim,” ujar Erwin di Kendari, Selasa (10/4/2018).
Kejanggalan Proses Izin
Awalnya PT BIS mengajukan surat permohonan kepada Wali Kota Baubau Amirul Tamim pada 21 Maret 2007 untuk mendapatkan kuasa pertambangan eksplorasi nikel pada lokasi Kecamatan Sorawolio dengan luas kuasa 1.796 hektar. Lalu pada 9 Agustus 2007 mengajukan lagi surat ke Wali Kota Baubau tentang permohonan izin rekomendasi pinjam pakai kawasan hutan.
Amirul langsung merespon dua surat itu dengan mengeluarkan SK pembentukan tim identifikasi lokasi kawasan pertambangan. Hasilnya menyebutkan bahwa kasawan Blok Sorawolio berada dalam Hutan Produksi Terbatas seluas 1.796 hektar dan oleh karena itu maka menjadi kewenangan menteri kehutanan.
PT BIS diberikan kuasa pertambangan (KP) eksplorasi nomor 545 /62/EUD/2007 tertanggal 23 Mei 2007 yang masa berlakunya 2 tahun. KP ekplorasi ini ditandatangani Amirul Tamim selaku Wali Kota Baubau.
Amirul lalu mengirim surat usulan kepada Ali Mazi selaku gubernur terkait rekomendasi untuk penggunaan kawasan hutan seluas 1.796 hektar. Atas dasar itu, Ali Mazi kemudian meresponnya dengan mengeluarkan surat rekomendasi nomor 522/4288 tentang rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan namun hanya seluas 1.257 hektar yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan. Pengurangan itu karena dalam kawasan HPT yang diusulkan ada yang masuk kategori hutan lindung.
Pada 17 Maret 2008 Departemen Kehutanan RI mengirimkan surat tentang persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas atas nama PT BIS. Izin itu berlaku dua tahun sejak ditandatangani.
Kejanggalan terjadi saat Amirul mengeluarkan keputusan Wali Kota Baubau pada 23 Mei 2009 tentang persetujuan izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi kepada PT BIS. Surat ini didasarkan pada surat Direktur Utama PT BIS tertanggal 18 November 2008 perihal permohonan kuasa pertambangan eksplorasi terhitung untuk masa 20 tahun hingga 23 Mei 2029.
“IUP yang dikeluarkan oleh Amirul ditambah luasnya 500 hektar jadi sekitar 1.700 hektar lebih padahal yang direkomendasikan Ali Mazi hanya 1.257 hektar. Selain itu anehnya belum selesai izin eksplorasi (2 tahun), Amirul sudah mengeluarkan IUP operasi produksi itu,” ujar Erwin.
Parahnya lagi lanjut Erwin, meski sudah ada izin eksplorasi dan izin operasi produksi namun belum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan RI saat itu. Terkait ini Gubernur Nur Alam baru mengeluarkan surat rekomendasi nomor 522/4862 pada 16 Desember 2010 tentang izin pinjam pakai kawasan hutan yang ditujukan kepada menteri kehutanan.
Erwin mengatakan PT BIS pernah mengklaim sudah mendapat izin pinjam pakai dari Kementrian Kehutanan pada 2013 namun tidak pernah ditunjukkan dan tidak penah ditemukan dokumen tentang itu. Olehnya sampai saat ini LBH Buton Raya mengangap izin pinjam pakai itu belum ada.
Skandal Perubahan Tata Ruang
Mengenai rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Baubau diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2004. Dalam perda ini, wilayah yang saat ini dikuasai PT BIS tidak ada satupun pasal yang menyebut kawasan itu sebagai peruntukan lokasi pertambangan.
Namun perda yang semestinya hanya bisa direvisi setiap 20 tahun malah diubah lebih cepat. Amirul bersama DPRD Kota Baubau melakukan revisi terhadap Perda Nomor 2 tahun 2004 tersebut tentang RTRW Kota Baubau menjadi Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang RTRW dengan menambahkan fungsi kawasan pada blok Sorawolio yang sebelumnya sebagai kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan.
“Jadi ada penyusupan pasal yang membolehkan jadi kawasan tambang. Prosesnya tidak benar, kenapa? Proses penyusunan perda berdasarkan undang-undang harus ada naskah akademik, tapi tidak ada padahal sudah berkali-kali diminta LBH bahkan sampai demo. Tidak pernah ada konsultasi publik dan juga tidak pernah ada panitia kerja lintas komisi di DPRD,” ungkap Erwin.
Dokumen-dokumen yang wajib ada dalam penyusunan perda itu sudah dicek tidak ada di lingkup Baubau. LBH sudah meminta dokumen itu secara patut melalui undang-undang KIP namun tidak ada satupun dokumen legalitas tentang perubahan perda tersebut.
Hal itu dianggap sebagai skandal dan yang bertanggung jawab adalah 25 anggota DPRD periode tersebut bersama pemerintah daerah. Sebab perubahan atas perda tersebut untuk mengakomodir PT BIS merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPRD.
Dampak dari perubahan tata ruang dan masuknya tambang sudah mulai kelihatan sejak tahun 2011, di antaranya terjadi banyak penutupan aliran sungai, perambahan hutan, dan masalah lingkungan lainnya. Kata Erwin, saat ini yang paling terasa adalah bencana banjir di wilayah hilir (Kecamatan Bungi).
Kasus Mandek di Polda
Laporan masuk di polda yakni atas nama Erwin Usman selaku Direktur LBH Buton Raya dan Hartono selaku Direktur Walhi Sultra pada 8 Agustus 2011. Laporan itu ditangani oleh Hotlank Damanik yang saat itu menjabat Kasubdit II Tipiter Ditreskrimsus Polda Sultra. Hotlank di kemudian hari menjadi Kapolres Wakatobi.
Yang dianggap bertanggung jawab atau terlibat dalam kasus tersebut adalah Pemerintah Kota Baubau termasuk Wali Kota Amirul Tamim, 25 anggota DPRD Baubau periode tersebut, dan pihak PT BIS.
Pada 30 September 2011 Polda Sultra melalui Direktur Reskrimsus Kombes Pol Nurfallah melayangkan surat balasan kepada Direktur Walhi. Balasan itu intinya pada poin F, Polda menyatakan bahwa IUP PT BIS di Kecamatan Sorawolio Baubau diduga masuk dalam kawasan untuk itu perlu pendalaman lidik dan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT) Provinsi Sultra.
“Namun tidak dilakukan (pendalaman lidik). Kita berkali-berkali menyurat, ada puluhan kali LBH menyurat dan ada tanda terimanya namun tetap tidak ada perkembangan,” ujar Erwin yang juga Anggota Walhi pusat.
Direktur Eksekutif LBH Buton Raya saat ini, La Ode Syarifuddin mengatakan, Rabu (11/4/2018) hari ini pihaknya akan kembali datang ke Polda. Mereka akan meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) tentang laporan (yang masuk 2011) terkait tindak pidana korupsi kehutanan dan ilegal mining PT BIS.
“Permintaan SP2HP ini adalah adalah permintaan untuk yang ketiga kalinya, namun hingga hari ini sejak dilaporkan oleh LBH Buton Raya sudah kurang lebih 7 tahun Polda Sultra belum menyampaikan perkembangan secara resmi atas laporan kasus tersebut,” ujar Syarifuddin.
Bila Polda tidak sanggup atau menyerah menangani kasus tersebut diharapkan tetap memberikan pemberitahuan meskipun kasusnya sudah lama agar lebih mudah kalau diambil alih KPK. Kata Syarifuddin, sebagai langkah lanjutan dalam waktu dekat ini kasus tersebut tetap akan dilaporkan ke KPK.
Hingga berita ini ditulis, konfirmasi dari PT BIS masih berupaya didapatkan begitu pula Amirul Tamim yang saat ini menjabat Anggota DPR RI (dari PPP). Nomor handphone Amirul yang dihubungi belum dapat tersambung. (A)