OPINI – “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Kalimat itu menggema di seantero ruangan. Yang mendengarnya tergetar. Sebuah sumpah yang begitu sarat tentang makna totalitas. Loyalitas. Kalimat sakral yang diucapkan dengan kesungguhan hati sebagai komitmen pengabdian untuk negeri. Sumpah seorang aparatur negara.
Sumpah seorang rakyat jelata yang garis takdir menuntunnya memuncaki tangga birokrasi pemerintahan sebuah negara bernama Kerajaan Majapahit. Sumpah seorang Gadjah Mada ketika dilantik menjadi mahapatih. Perdana menteri. Kepala pemerintahan.
“Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Bahwa Gadjah Mada tidak akan pernah memakan buah palapa hingga negeri-negeri itu berada di bawah kekuasaan Majapahit. Buah palapa –yang hingga berabad-abad lamanya– tidak ada seorang pun yang meyakini buah apa itu.
Para ilmuwan datang dengan berbagai tafsirnya atas sumpah itu. Ada yang memaknainya secara harfiah. Ada pula yang menerjemahkannya secara filosofis, bahwa Gadjah Mada tidak akan bersenang-senang sebelum Nusantara dipersatukan olehnya.
Tapi satu hal yang mereka sepakati bersama bahwa sumpah itu diucapkan dalam kerangka menjaga Nusantara dari pengaruh kerajaan lain dari luar kawasan. Pulau-pulau di Nusantara harus berada di bawah kerajaan Nusantara, dan itu adalah Majapahit.
Pendiri-pendiri bangsa begitu terinspirasi dengan sumpah ini, lalu membawa spiritnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Nusantara bernama Indonesia. Dan di sinilah kita. Menikmati kemerdekaan itu dengan cara dan selera yang berbeda-beda.
*** *** ***
Sekitar 2.000-an aparatur sipil negara lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara diambil sumpahnya di Selasa pagi yang cerah. Bagi banyak orang, ini sumpah yang ke sekian kalinya. Bagi sebagian lagi, ini sumpah perdana.
Memang terasa agak janggal mengingat banyak di antara mereka yang mengikuti prosesi sakral ini sudah berada di penghujung pengabdiannya. Sedikit lagi pensiun. Makna sumpah itu menjadi kurang begitu relevan. Tapi sudahlah, terlepas bahwa acara itu merupakan seremonial administratif, paling tidak ada harapan bahwa di antara ribuan orang itu terdapat yang memaknainya secara filosofis.
Tidak sembarang orang mau mengangkat sumpah. Dan tidak setiap hal perlu dilambari dengan sumpah. Gadjah Mada tidak begitu saja mengikrarkan sumpahnya. Kalimat yang terlontar dari mulutnya merupakan visi misi personalnya dalam mengabdi.
Sumpah tidak hanya semata perjanjian seorang aparatur terhadap institusi tempatnya mengabdi. Sumpah memiliki konektifitas dengan hal yang bersifat transendental. Sumpah adalah perjanjian seorang hamba dengan Tuhan-nya. Ikrar atas nama Tuhan adalah kesungguhan paripurna setiap jiwa atas kalimat yang diucapkan ragawinya. Dalam pemaknaan ini, hati siapa yang tak bergetar melafazkan sebuah sumpah?
Sumpah menjadi pegawai negeri sudah terikrar. Bahwa akan senantiasa setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Bahwa akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.
Bahwa akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, atau golongan. Bahwa akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan. Dan bahwa akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara.
Kabar buruknya adalah, dia bergaji cukup-cukupan. Maksudnya, kadang cukup, tetapi lebih banyak tidaknya. Dan jika dia berhasil kaya akan dicurigai, tetapi jika tetap miskin dianggap bodoh.
Baca Juga : Kata Orang Kendari: Ingat Itu!
Saya tidak heran jika seseorang dalam komunikasi personalnya ke saya mengungkapkan, tidak pernah sama sekali berniat menjadi pegawai negeri. Saya salut dengannya. Dia punya banyak pilihan untuk hidup dan berkehidupan.
Pegawai negeri sepeti lokomotif. Senantiasa di depan menyongsong bahaya, selalu terbakar dan dihembusi uap panas agar gerbong tetap bergerak. Pegawai negeri adalah pemimpin. Dan anda tahu apa itu pemimpin? Leiden is lijden, kata The Grand Old Man KH. Agus Salim. Pemimpin adalah menderita. Masih berani bersumpah? Masih dong, kata pelamar CPNS bareng-bareng. ***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial