Tari Lariangi, Seni Menyambut Tamu dengan Rasa Hormat

Tari Lariangi, Seni Menyambut Tamu dengan Rasa Hormat
TARI LARIANGI - Gerakan tari lariangi yang ditampilkan oleh para penari dari Sanggar Seni Ana Sepu Sorume. (Foto: Istimewa)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Pada masyarakat Tolaki terdapat tari penjemputan atau penyambutan tamu yang disebut Tari Lariangi. Tari ini sudah ada sejak zaman kerajaan Konawe. Tari Lariangi kerap ditampilkan saat menyambut tamu kehormatan yang berkunjung ke Sulawesi Tenggara (Sultra), seperti pejabat atau petinggi negara.

Tokoh adat masyarakat Tolaki Ajemain Suruambo menjelaskan “lariangi” memiliki arti kata gerakan yang lincah atau bergerak secara lincah. Oleh karena itu, penari harus lincah gerakannya dengan mengikuti irama gendang dan tabuhan gong.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tari lariangi adalah nilai kesopanan yang ditunjukkan dalam setiap gerakan dan nyanyian dalam tari lariangi. Misalnya pada lirik pembuka lagu larinagi “Tabea nggomasima, mongoni paramesi” yang artinya “Kami permisi, dengan segala hormat”.

“Tari lariangi itu bagaimana kesopanan kita dalam menyambut tamu, artinya menampilkan gaya yang berirama dalam menyambut tamu, termasuk dalam berutur kata. Makanya bahasanya itu penuh kesopansantunan,” ujar Ajemain, 15 November 2023.

Memang pada masyarakat Tolaki, selain Tari Laringi, juga terdapat tari mondotambe yang memiliki kemiripan. Meski sama-sama tarian penjemputan tamu, Tari Lariangi dan Mondotambe memiliki perbedaan. Tari Lariangi ditampilkan khusus di dalam gedung sedangkan Tari Mondotambe di luar gedung.

“Jadi ketika ada tamu datang, masih di luar gedung tempat acara, disambut sama Tarian Mondotambe. Nah, tamu masuk di dalam gedung, setelah sang tamu duduk di kursi, barulah disambut lagi dengan Tari Lariangi,” terang H. Darma, saat ditemui di sanggar Ana Sepu Sorume miliknya, di Kendari pada akhir Oktober 2023.

Menurut pemerhati tari tradisional suku Tolaki ini, pada zaman Kerajaan Konawe, Tari Lariangi ditampilkan saat menyambut kepulangan raja usai berperang dengan membawa kemenangan.

“Ketika raja pulang dari berperang disambut Tari Umoara, malam harinya barulah ditampilkan Tari Lariangi,” ujar H. Darma.

Selain menyambut kepulangan raja, Tari Lariangi juga ditampilkan untuk menyambut tamu raja sebagai bentuk rasa syukur atas kedatangan tamu tersebut.

Lanjut H. Darma, Tari Lariangi sendiri terbagi menjadi dua versi, yaitu Lariangi Mombesara dan Lariangi Lamarambi.

Penggunaan kedua tarian ini pun berbeda. Lariangi Mombesara diperuntukkan khusus untuk menyambut tamu kehormatan, sedangkan Lariangi Lamarambi selain untuk penyambutan tamu, juga bisa ditampilkan di acara-acara lain seperti acara pengislaman anak atau acara 40 hari orang yang meninggal.

Adapun properti yang digunakan dalam Tari Lariangi adalah sapu tangan berwarna putih. Sapu tangan putih ini menjadi simbol kesucian hati saat menyambut sang tamu. Sehingga sapu tangan berwarna putih ini menjadi ciri khas Tari Lariangi.

Tari Lariangi biasanya dibawakan oleh gadis remaja berjumlah 8-12 orang, dengan diiringi musik dari tabuhan gendang dan gong.

Saat menampilkan Tari Lariangi, para penari memakai kostum kebaya tolaki, sarung adat tolaki, dan hiasan kepala yang di atasnya diselipkan daun pinang dan daun sirih. Baik daun pinang maupun daun sirih melambangkan kekeluargaan.

Gerakan Tari Lariangi

Menurut H. Darma, gerakan Tari Lariangi sangat sederhana. Hanya ada tiga gerakan, yaitu megili, meputara dan losa-losa.

Tari Lariangi, Seni Menyambut Tamu dengan Rasa Hormat
Para penari dari Sanggar Seni Ana Sepu Sorume menampilkan tari lariangi. (Foto: Istimewa)

Megili adalah gerakan memutar badan 30 derajat ke kanan dan kedua tangan melayang ke depan dan kebelakang sambil menoleh ke jari belakang yang menjepit sapu tangan berwarna putih.

Meputara yaitu gerakan memutar sambil membentuk lingkaran kalo sara (adat) sebagai lambang persatuan yang kokoh dan tidak bisa terpisahkan.

Sedangkan losa-losa adalah gerakan tangan dan kaki secara serentak sebagai lambang kebersamaan dan kegotongroyongan dalam bekerja. Losa-losa juga dianggap sebagai ekspresi kegembiraan.

H. Darma melanjutkan, di dalam gerakan Tari Lariangi Mombesara sudah terdapat kreasi, sedangkan Lariangi Lamarambi memang masih sangat tradisional, belum ada sentuhan kreasi sama sekali.

Gerakan Lariangi Lamarambi pun hanya berputar sambil menyanyi. Nyanyiannya berbahasa Tolaki yang disesuaikan dengan momen acara.

Misal, jika ditampilkan di acara pengislaman maka nyanyian yang ditampilkan berisi pesan kepada sang anak untuk tumbuh menjadi anak baik, berbakti kepada orang tua, dan bermanfaat bagi orang banyak.

Jika di acara peringatan kematian maka nyanyiannya juga berisi kebaikan-kebaikan orang yang meninggal tersebut sewaktu masih hidup. Begitupun pada momen penyambutan tamu, nyanyiannya berisikan pujian kepada sang tamu sebagai bentuk menghargai dan menghormati serta mengagungkan tamu.

Menurut H. Darma, kesamaan gerakan Tari Lariangi Mombesara dan Lariangi Lamarambi terletak pada gerakan megili dan losa-losa, yang memang menjadi ciri khas Tari Lariangi.

Untuk Tari Lariangi Mombesara diawali dengan suguhan adat, ditandai dengan adanya properti sapu tangan berwarna putih dan diakhiri dengan gerakan losa-losa.

Sedangkan Lariangi Lamarambi hanya gerakan megili atau memutar dan mulai menyanyikan lagu yang juga diakhiri dengan losa-losa.

Cara menyanyinya dimulai dari satu orang, kemudian semua penari menyanyi bersama. Selanjutnya satu orang lagi yang menyanyi, kemudian kembali menyanyi bersama. Begitu seterusnya hingga lagu yang dinyanyikan selesai.

Eksistensi Tari Lariangi

Ajemain optimis tari lariangi akan terus eksis karena tarian ini selalu ditampilkan dalam acara seperti perkawinan dan penyambutan tamu. Selain itu, berbagai sanggar seni di Kendari dan Konawe juga mengajarkan tarian Lariangi.

Tari Lariangi, Seni Menyambut Tamu dengan Rasa Hormat
Para penari dari Sanggar Seni Ana Sepu Sorume usai menampilkan tari lariangi.

Ajemain sendiri mengasuh Sanggar Seni di Konawe yakni Forum Pemuda Adat Tolaki (Fordati) di Kecamatan Puriala dan Sanggar Seni Wulele Ndinundu di Kecamatan Meluhu. Kedua sanggar seni sering menampilkan tari lariangi.

Senada dengan itu, H. Darma optimistis, seperti Tari Mondotambe, Tari Lariangi juga akan tetap eksis. Apalagi beberapa pemerintah daerah kerap mengadakan lomba Tari Lariangi.

Saat ada lomba, katanya, banyak yang datang ke sanggarnya untuk berlatih sekaligus menyewa kostum.

Menurut H. Darma, saat ini banyak penari Tari Lariangi, terutama Lariangi Lamarambi justru bukan dari etnis Tolaki itu sendiri. Meski begitu, ia tetap bersyukur masih ada generasi muda yang mau mempelajari Tari Lariangi dan melestarikannya.

Oleh karena itu, ia berharap para pemangku kepentingan tetap berupaya agar tarian-tarian tradisional yang di Sulawesi Tenggara tetap lestari dan tidak tergerus zaman. (***)

 


Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini