ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Tim Percepatan Homestay akan menerapkan skema pengembangan Homestay Desa Wisata melalui konversi, renovasi, revitalisasi, dan bangun baru. Skema ini akan memanfaatkan kurang lebih 560 etnik suku budaya yang dimiliki Indonesia dengan beragam bentuk arsitektur tradisional yang berkembang dari Sabang sampai Merauke.
“Di Indonesia bagian barat Aceh memliki Rumoh Aceh, di Indonesia bagian tengah Toraja memiliki Rumah Tongkonan, dan di Indonesia bagian timur Papua memiliki Rumah Hanoi, dan banyak lainnya. Semua homestay akan berkembang dan menjadi ciri khas dari daerahnya masing-masing,” ujar Ketua Tim Percepatan Pembangunan Homestay, Anneke Prasyanti di Rakornas II Pariwisata: Homestay Desa Wisata di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (19/5).
Anneke menjelaskan, arsitektur tradisional ini berkembang bersama dengan kebiasaan, pola hidup, adat istiadat dan norma-norma yang berlaku pada komunitas tradisional. Oleh karena itu sejarah dan budaya melekat erat pada bentuk arsitektur tradisional.
“Nenek moyang kita itu hebat dalam hal arsitektur. Rumah tanpa jendela dan ventilasi, rumah pasti akan panas. Sementara, nenek moyang kita sudah merancang bangunan yang sangat kaya udara untuk bisa menopang langit. Ketika tidak ada lubang di dinding, tidak bisa udara nyaman di dalam ruangan. Ini ada di rumah lokal kita, terutama yang materialnya bambu dan kayu,” jelas Anneke.
Baca Juga : Tiga Kementerian Kompak Resmikan Program Pengembangan Desa Wisata Indonesia
Memang, lanjut Anneke, rumah tradisi banyak yang harus diinovasi untuk alasan kesehatan. Harus ada sinar matahari dan udara yang masuk, tapi bentukannya sudah menjadi wadah untuk bisa menangani cuaca di Indonesia.
“Atap miring untuk menangani hujan, lubang ventilasi untuk mengalirkan udara dingin, dan jendela besar untuk memasukkan cahaya matahari,” tambah Anneke.
Anneke menambahkan, modernisasi dan gaya hidup yang semakin kompleks kemudian ikut pula merubah arsitektur yang berkembang. Arsitektur bergaya modern berkembang pesat dan lebih banyak dijumpai saat ini dibandingkan arsitektur tradisional yang telah menjadi ciri khas daerah.
“Contohnya arsitektur Betawi yang seolah-olah hilang ditelan gedung tinggi dan perumahan mewah modern. Ini juga terjadi di daerah lain. Melalui desain tradisional pada homestay kita, ini mengembalikan nilai budaya dan kehebatan arsitektur nenek moyang kita,” kata Anneke.
Homestay bisa diartikan juga home sharing. Ketertarikan pengunjung wisatawan terhadap home sharing akan mengalami kenaikan dari 10% (2016) menjadi 15% (2020) di kota-kota besar dunia dan dari 2% (2016) menjadi 5% (2020) di kota-kota besar di Asia Tenggara.
Jenis akomodasi rumah tinggal yang dihuni oleh pemiliknya dan dimanfaatkan untuk disewakan dengan memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya, yang dimiliki oleh masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi lokal, ini semakin dicari wisatawan masa kini.
Baca Juga : Festival Dragon Boat Pertama Kali di Bali Diserbu Wisman 9 Negara
“Pengalaman homestay saya di Eropa. Kehidupan sehari-hari mereka yang biasa, buat kita jadi tidak biasa. Menembak rusa, main ski, memanah, dan sebagainya. Di Ubud, saya juga pernah tinggal di sana 2 tahun. Kehidupannya seperti ini; main sepeda di tengah sawah, melihat tradisi seni, panen kelapa, dan sebagainya. Di sini menjadi hal yang biasa tapi belum diangkat menjadi potensi wisata,” ungkap Anneke.
Bagi Anneke, target 20.000 homestay di 2017 akan menjadi keniscayaan bila Indonesia Incorporated berjalan. Kementerian Desa sampaikan di 2.000 desa akan dibangun 10.000 homestay bila di masing-masing desa bisa dibangun 5 homestay.
Selain bangun baru, tambah Anneke, banyaknya rumah masyarakat yang telah ditinggalkan pemiliknya karena merantau atau dianggap tidak trendy bisa dimanfaatkan.
“Rumah-rumah ini memenuhi kriteria homestay, namun belum dimanfaatkan untuk menjadi Homestay Desa Wisata. Semuanya memiliki daya tarik wisata khususnya wisata budaya dengan mengangkat kembali arsitektur tradisional Nusantara dan lokasinya yang berada di Desa Wisata sehingga wisatawan dapat berinteraksi dengan masyarakat lokal,” tukas Anneke.
Ketua Pokja Percepatan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Hiramsyah S. Thaib menambahkan, untuk Desa Wisata yang memiliki homestay akan mendapatkan pendampingan penuh dari pemerintah.
“Nanti akan ada pendampingan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dari Kementerian Pariwisata, lalu ada pendamping pelatihan Sumber Daya Manusia untuk pengelolaan operasional Homestay Desa Wisata dari Kementerian Desa melalui BUMDes. Panduan dan petunjuk teknis juga akan diluncurkan Kemenpar,” terang Hiram.
Baca Juga : Ini Dia Kampiun Morotai Underwater Photo Contest 2017
Hiram optimistis kunjungan wisatawan mancanegara akan meningkat pesat saat Homestay Desa Wisata ini sudah berjalan. Menurutnya, dengan melalui homestay desa wisata yang dimiliki Indonesia, wisman tidak akan menemukannya di negara lain.
“Kini saatnya kita kembalikan lagi arsitektur Nusantara sebagai wajah dan identitas Indonesia yang beragam, DNA asli daerah, melalui Homestay Desa Wisata demi keberlanjutan wajah bangsa Indonesia. Kita memiliki begitu banyak budaya dan adat di tiap-tiap daerah. Keberagaman ini tidak akan ditemukan di tempat lain saat berwisata,” kata Hiram.
Hiram mencontohkan, saat wisatawan berkunjung di sebuah negara, wisatawan tersebut hanya akan merasakan sensasi satu kebudayaan dan tradisi. Namun dibandingkan dengan Indonesia, untuk satu pulau saja, terdapat beragam adat dan budaya yang bisa dinikmati.
“Di 5 pulau utama yang dimiliki Indonesia saja budayanya berbeda, bahkan dalam satu pulau juga terdapat banyak adat dan budayanya. Ini akan sangat menarik minat masyarakat. Apalagi, masyarakat kita yang memiliki desa wisata sangat welcome dan ramah terhadap orang asing yang menjadi kekuatan bangsa ini,” pungkas Hiram. (*)